welcome to the next part
🪐
•
•
•
•
•
happy reading
∞
"Minggir lo babi!!" ucap seorang yang tak tau etika sembari mendorong tubuh ringkih Hilal. Gerombolan siswa itu berjalan melewati Hilal sembari tertawa-tawa mengejek lelaki dengan tas hitam di bahunya itu. Hilal masih terpaku ditempat dengan hati yang seakan tertusuk. Sebuah kalimat singkat yang dapat membuat hati pendengarnya merasa tersayat.
"Aku bukan hewan tersebut," ucapnya dalam batin. Hilal tersenyum kecut melihat dirinya yang sangat tiada harganya dalam pamdangan orang lain hingga mereka memanggilnya dengan sebutan hewan. Ia mencoba menepis pikirannya dan melanjutkan rajutan langkah kakinya. "Tidak apa-apa Hilal. Kamu punya Rabb-mu yang selalu menganggapmu berharga." Kalimat yang menjadi penyemangat hidupnya kembali ia ucapkan dalam hatinya. Sembari ia melangkah mantap menuju kelasnya, Hilal terus memberi semangat pada dirinya sendiri.
∞
Mata pelajaran hari ini dimulai. Seseorang yang disebut-sebut sebagai guru berdiri didepan kelas. Memulai kegiatan mengajarnya. Sesekali beliau melontarkan pertanyaan pada anak didiknya. Tepat setelah seorang gadis menjawab pertanyaan darinya, ia tidak sengaja melihat kearah bangku Hilal.
"Dengerin kalau temennya jawab, bukan malah hadap bawah. Tidur ta kamu, Hilal?" Sontak Hilal yang sedari tadi fokus mendengar sesi tanya jawab sembari mencatat hal-hal penting dalam bukunya mendongakkan kepalanya melihat ke arah wanita paruh baya tersebut. Jantung Hilal berdegup kencang seketika. Banyak pasang mata menatap tajam penuh kebencian kepadanya.
"Ti-tidak, Bu," jawab Hilal seadanya. Hilal menghentikan kegiatannya dan fokus mendengarkan materi yang dijelaskan. "Bahkan seorang guru tampak tidak menyukaiku," batinnya tersenyum getir.
Bunyi bel berdering menandakan waktu belajar telah selesai. Saatnya mereka mengistirahatkan otaknya selama satu jam. Dan selama satu jam ini Hilal hanya berdiam di sudut kantin. Tiada satupun orang yang bisa ia ajak bicara di sini. Hilal hanya bisa memainkan benda pipih yang dikeluarkannya dari saku seragamnya.
Hilal menatap dirinya di dalam pantulan ponsel. Tatapan sendu itu selalu terpancar dari bola mata indahnya. Hilal memutar alunan musik dari salah satu aplikasi ditelepon selulernya. Menikmati melodi-melodi indah dengan setiap bait lirik yang tersusun rapi.
"Tiada yang meminta seperti ini."
"Tapi menurutku tuhan itu baik."
"Merangkai ceritaku sehebat ini."
"Tetap menunggu dengan hati yang lapang."
Lagu milik Feby Putri ia nyanyikan. Suara merdunya membuat salah seorang gadis di sana terpukau akannya. "Wehh enak banget suaranya. Suara siapa sih?" Gadis tersebut bersama seorang temannya mengubah arah pandangnya menuju asal suara.
Hilal yang mengetahui dirinya dilihat oleh seseorang lantas menundukkan kepalanya. Tatapan tajam gadis yang semula mengagumi suaranya itu membuatnya takut. Memang benar setelah gadis itu mengetahui siapa yang melantunkan lirik tadi, raut wajahnya seketika berubah. Seolah ia berkata 'oh si cupu sialan itu yang nyanyi.'
Hilal lantas melenggang dari tempatnya. Ia memilih kembali ke ruang kelasnya. Hilal kembali tanpa membeli makanan atau minuman apapun. Lebih baik ia membeli jajanan diluar daripada di kantin sekolah pikirnya. Ia takut berhadapan dengan orang-orang itu. Bukan ibu atau penjaga kantin lain. Namun siswa-siswa warga sekolah yang tidak memiliki etika seperti yang diajarkan disekolah. Tidak semua, namun kebanyakan. Bahkan beberapa pengajar pun juga sama. Bagai anjing yang dengan seenak jidatnya menjahati hewan-hewan kecil yang tak bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Me and Destiny
Novela JuvenilBetween Me and Destiny Terkadang takdir tak selalu tepat dengan apa yang kita inginkan. Bukan. Bukan berarti kita harus membenci takdir yang telah ditetapkan. Kadang kala, kita memang diharuskan untuk berjuang demi mendapatkan sebongkah b...