3. hasil ujian

104 88 19
                                    

welcome to the next part
🪐





happy reading


     Dengan detak jantung yang tidak berirama menandakan kegelisahan Hilal memasuki rumahnya. Membawa barang-barang yang ia belanjakan menuju dapur. Ia mendapati kedua insan yang sedari tadi menunggu kedatangannya. "Ini, Yah." Hilal meletakkannya di atas meja makan. Setelahnya ia langsung melenggang dari tempat tersebut.

     "Kemana aja kamu?" tanya Hendra ketus. Langkah Hilal terhenti kala mendengar pertanyaan dari ayahnya. Tatapan tajam dan menghunus tertuju pada dirinya. "DARI MANA AJA??" Sekali lagi Hendra bertanya dengan menaikkan oktaf suaranya.

     "Tadi mas-" Belum sempat selesai dengan kalimatnya, ucapannya terhenti saat Hendra secara tiba-tiba menampar pipi kirinya hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Hilal memegang bekas tamparan ayahnya yang terasa pedih. Pipinya memerah ber-cap tangan Hendrawan. "Lagi," Batin Hilal yang hanya bisa didengar oleh hatinya.

     Kalimat-kalimat amarah terlontar dari mulut Hendra. Ia tak memberi sela bicara terhadap anak lelaki di depannya. "Harus digimanain lagi kamu ini, Hilal. Cuma beli ini doang lo," kata Hendra seraya menunjuk benda di atas meja makan. "Ada aja kelakuanmu yang buat ayah marah. Coba sekali aja kamu itu jangan bikin ayah marah. Ayah capek Hilal."

     Dengan senyum getir yang terukir di wajahnya, Hilal menitikan cairan bening yang mengalir dari pelupuk matanya. "Ayah tidak memberi ku ruang bicara mengapa aku pulang lama. Ayah hanya bisa mencerca ku dengan kalimat-kalimat yang dibaluti emosi." Lagi-lagi Hilal hanya bisa berkata dalam hatinya tanpa ada sedikit yang ia keluarkan. Dan lagi-lagi yang terucap dari bibirnya hanya kata, "maaf." Sebuah kata yang belum tentu bisa meredam amarah sang ayah, namun tetap ia ucapkan. Kepala yang senantiasa tertunduk menyembunyikan tetesan air matanya. "Hilal masuk dulu, permisi." Hilal membalikkan badan dan melangkahkan kakinya menaiki tangga.

     Tangannya membuka kenop pintu kamarnya. Kakinya terajut melangkah memasuki ruangan yang menjadi tempat paling favorit baginya. Tempat yang menjadi saksi bisu dimana ia bercurah, bercerita tentang hari-harinya. Tempat yang selalu setia menemani dirinya dalam keadaan apapun.

     "Mengapa aku selalu salah dimata ayah? Mengapa lagi-lagi bagian tubuhku harus merasakan sakit? Maaf jika aku harus mengeluarkan cairan ini lagi."

     Dua minggu berlalu begitu cepat. Ujian di sekolah Hilal akan berlangsung mulai pagi ini. Hilal mempersiapkan semuanya dan segera berangkat. Sudah dua minggu juga Hilal berusaha keras untuk bisa mendapatkan nilai yang orang tuanya inginkan. Hilal berusaha membuat mereka bangga dengan nilai-nilainya nanti.

     "Ingat, nilaimu harus bagus. ibu ga mau tau," ucapnya setelah membersihkan meja makan. Hilal menghampirinya untuk berpamitan. Ayahnya sudah berangkat lebih awal pagi tadi.

     "In syaa Allah, Ibu. Do'akan semoga Hilal mendapat nilai yang bagus," sahutnya dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Hilal merasa cukup yakin akan nilai akhirnya nanti.

     Sesampainya di sekolah Hilal langsung memasuki ruang ujian. Ia membuka buku mata pelajaran yang akan diujikan hari ini. Membacanya berulang kali hingga paham.

     Fokus Hilal teralihkan saat seseorang menjambak rambutnya dari belakang. Dengn mudahnya tangan tersebut terulur menggapai surai Hilal lalu menariknya hingga sang empu tersentak. "Argh sshh."

     "Beliin minum cepet." Lagi-lagi dia. Zidan Aldiano. Seseorang yang digadang-gadang sebagai preman sekolah. Entah mengapa Hilal tertakdir berada satu kelas dengannya. "Lama banget tinggal berdiri doang."

Between Me and Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang