Chap.5

6 1 0
                                    

"I miss you more, Ms.Rield." 

......

Setelah berbincang cukup lama dengan Ralvas, Arel melihat jam di ponselnya. Ia merasa sudah waktunya untuk pulang, dan memutuskan untuk berpamitan.

"Gue pulang dulu," ucapnya pada Ralvas.

"Biar gua antar sampe depan, ayo."

"Nope, gue mau pamit ke ayah dulu."

Arel pun berbalik badan. Namun, saat hendak melangkahkan kaki, pergelangan tangannya dicekal oleh Ralvas.

"Gua temenin."

Ia menatap Ralvas sejenak, lalu dengan lembut namun tegas, ia melepaskan cekalan tangan Ralvas yang erat di pergelangan tangannya. Dengan senyum tipis, ia berkata, "Gue bisa sendiri, jangan khawatir."

Setelah itu, ia melangkah pergi, meninggalkan Ralvas yang masih berdiri di tempatnya.

Arel melangkah perlahan di antara kerumunan tamu yang meramaikan pesta pernikahan ayahnya dan ibu tirinya. Suara musik yang merdu dan tawa yang riang mengisi udara, menciptakan atmosfer kebahagiaan yang menyelimuti semua orang.

Namun, di tengah keramaian ini, Arel hanya punya satu tujuan: menemukan ayahnya untuk berpamitan pulang.

Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang dikenalnya dengan baik. Ia berjalan melewati meja-meja yang penuh dengan hidangan lezat dan tamu-tamu yang berinteraksi dengan penuh semangat.

Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bahagia melihat ayahnya memulai babak baru dalam hidupnya dan perasaan canggung di tengah keramaian ini.

Setelah beberapa saat, akhirnya ia melihat ayahnya berdiri di dekat panggung, bercakap-cakap dengan beberapa tamu. Dengan napas yang sedikit tertahan, Arel melangkah mendekat. Ayahnya tampak begitu bahagia, wajahnya bersinar dengan senyum yang tulus.

"Ayah," panggil Arel dengan suara yang cukup jelas agar terdengar di tengah kebisingan pesta.

Ayahnya menoleh, dan senyumannya melebar ketika melihat Arel.

"Arel, Ada perlu apa lagi?"

Arel tersenyum, meski ada sedikit keraguan dalam hatinya.

"Aku senang melihat ayah bahagia. Tapi, sepertinya sudah waktunya aku pulang."

Jane tampak sedikit terkejut, tetapi segera memahami. "Sudah mau pulang? Kenapa tidak tinggal lebih lama? Padahal mamih ingin sekali mempertemukanmu dengan anak-anak mamih."

"Tidak sayang, jangan menunda kepergian orang lain, itu tidak baik. Ada bagusnya Arel pergi, bukan begitu, nak?"

Arel menggangguk pelan. "Ya ayah, aku masih punya beberapa hal yang harus dilakukan. Hanya ingin berpamitan dulu."

Jane mengangguk, meski ada sedikit kekecewaan di matanya. "Baiklah, tapi jangan lupa untuk selalu ingat bahwa kamu selalu diterima di sini, kapan pun kamu mau."

"Benar. Berhati-hatilah di jalan," timpal Liam.

Arel tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. "Terima kasih, Ayah. Aku senang bisa melihat ayah bahagia. Sampai jumpa lagi."

Setelah memberikan pelukan singkat kepada ayahnya, Arel berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan keramaian pesta. Di belakangnya, suara musik dan tawa masih terdengar, mengiringi langkahnya yang semakin menjauh.

Meskipun ia meninggalkan pesta lebih awal, hatinya merasa lega telah menyampaikan perpisahan dan melihat ayahnya bahagia dalam babak baru hidupnya.

Arel sudah meninggalkan tempat pernikahan ayahnya. Perasaannya campur aduk, antara bahagia dan sedikit sendu. Di jalan pulang, ia memikirkan banyak hal, mengenang masa lalu dan merenungkan masa depan.

Saat mobilnya berhenti di lampu merah, matanya tertuju pada seorang anak kecil di pinggir jalan yang sedang menjajakan aneka bunga. Pandangannya terpaku pada bunga matahari yang dijajakan oleh anak kecil itu, mengingatkannya pada suatu hal yang begitu hangat di hatinya.

Bunga matahari itu mengingatkannya pada nenek dari pihak ibunya. Neneknya yang selalu ceria dan penuh kasih sayang, sering mengajaknya berjalan-jalan di kebun bunga matahari saat kecil. Kenangan itu membuat Arel tersenyum samar.

Ia pun memanggil anak kecil tersebut, "Dek, sini sebentar."

Anak kecil itu berlari mendekat, membawa buket bunga matahari yang begitu segar dan cerah.

"Halo kakak cantik!" sapa anak kecil dengan senyum yang merekah di wajahnya.

Arel membeli beberapa tangkai bunga matahari, merasakan kehangatan nostalgia yang menyeruak di hatinya.

Sambil membayar, ia berbincang sedikit dengan anak itu, menanyakan namanya dan mendengarkan cerita singkat tentang kehidupannya yang sederhana namun penuh semangat.

"Makasih ya kak, udah mau beli dagangan aku, akhirnya aku sama adik nggak makan garem lagi."

"Jangan lupa beli makanan juga buat orang tuamu."

"Mm, orang tua ku udah meninggal semua, hihi," ucapnya sambil tersenyum lebar, menampakkan giginya yang putih berseri. Ia seperti tahu perasaan yang dirasa oleh Leo.

Ia menepuk pelan kepala Leo, dengan senyum hangat.

"Kalau ketemu Leo lagi, kakak janji bakal ajak Leo dan adik jalan-jalan, okay?"

Leo terdiam sejenak, terkesan dengan kebaikan hati Arel.

"Nih, buat jajan sama adik, untuk bunganya, kakak beli semua ya."

Leo terkejut, "WAH, makasih banyak ya, kak—"

"Arel," sela Arel dengan senyuman lembut, memperkenalkan dirinya.

Setelah memberikan uang dan menerima aneka bunga, Arel segera melanjutkan perjalanannya.

Namun, bukan ke rumah, melainkan ke tempat yang lain. Ia merasa terpanggil untuk mengunjungi makam neneknya. Perjalanan itu membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi Arel merasa harus melakukannya.

Di sepanjang perjalanan, ia memegang erat bunga matahari itu, merasakan setiap kenangan bersama neneknya mengalir kembali ke dalam pikirannya.

Setiap tawa, setiap nasihat, dan setiap momen kebersamaan terasa begitu hidup.

Arel merasa seolah neneknya sedang bersamanya, menemani setiap detik perjalanannya menuju tempat peristirahatan terakhir sang nenek.

Saat tiba di makam, Arel turun dari mobil dengan hati yang penuh rasa syukur dan rindu. Ia berjalan perlahan, mendekati pusara neneknya, dan meletakkan bunga matahari di atasnya.

Sejenak ia terdiam, mengenang dan berdoa, merasakan kedamaian yang tak terlukiskan.

Hari itu, Arel bukan hanya pulang ke rumah, tapi juga pulang ke kenangan terindah dalam hidupnya.

.......

TBC

Published, 11 July 2024.

ARELIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang