Chap.4

15 2 0
                                    

"Are you okay, Arelion?"

..........

Mendengar suara bariton melingkup di samping telinganya, Arel sontak menoleh. Keningnya berkerut bingung ketika dia mengenali sosok yang begitu dikenal di ingatannya. 

Seolah-olah dia mampu melihat raut wajah gadis itu di hadapannya, dia pun tidak bisa menahan diri untuk berucap.

"Gua Ralvaska Scout."

"Remember me, Arelion Rield?"

Arel masih terdiam, berusaha menggali ingatannya. Nama itu, Ralvaska Scout, terdengar samar namun tidak asing.

Seketika, bayangan masa kecilnya di rumah lama bersama teman-temannya mulai muncul di benaknya.

Mereka bermain di taman, berlarian tanpa beban, dan tertawa bersama. Salah satu wajah dalam ingatannya mulai terlihat lebih jelas, wajah seorang anak laki-laki dengan rambut acak-acakan dan senyum ceria yang tak pernah pudar.

"Vaska...," lirihnya, seraya menatap ocean eyes atau mata yang tenang seperti lautan.

Mendengar namanya diucapkan oleh bibir ranum gadis yang begitu dirindukannya akhir-akhir ini, senyumnya perlahan mengembang, menawan dalam keheningan malam.

"Gua kaget lu bisa datang ke pernikahan ini."

Arel mengangguk, senyumannya memudar sedikit. "Iya, gue juga. Rasanya campur aduk."

Ralvas menepuk bahu Arel, lebih hangat. "Gua ngerti. Pasti nggak gampang ngeliat orang tua menikah lagi."

"Hm."

"Lu selalu jadi anak yang kuat, Rel. Gua ingat betapa lu dulu selalu berdiri teguh, bahkan ketika kita masih kecil."

"Nyatanya, gue nggak sekuat itu."

Arel menatap Ralvas dengan mata berkaca-kaca, sambil menunjuk dadanya dengan jemari gemetar.

"Di sini, Vas. Sakit. Sakit yang tak tertahan selama bertahun-tahun," katanya lirih, suaranya pecah oleh beban luka yang belum terobati.

Ralvas yang mendengar itu, hatinya terenyuh, dihantui oleh rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya karena telah meninggalkan Arel sendirian melawan kejamnya dunia.

Dunia bahkan tak adil kepada, Arel.

Dalam hati, Ralvas berbisik penuh tekad, "Gua janji, Rel, bakal ngembaliin tawa dan senyum indah lu seperti dulu lagi. Gua janji."

"Stt, masih ada gua, sahabat lu. Lu nggak sendirian lagi dan gua nggak bakal pergi lagi."

Mereka berdua terdiam sejenak, mengenang masa lalu yang penuh kenangan manis dan pahit. Suara musik pernikahan mengalun lembut di latar belakang, menambah suasana hangat namun penuh emosional di antara mereka.

Di tengah keramaian pesta, mereka berdua menemukan kembali ikatan persahabatan yang pernah hilang, mengingatkan Arel bahwa di tengah perubahan hidup yang tak terduga, selalu ada hal-hal baik yang bisa ditemukan.

"Udah 3 taun, lo apa kabar?" tanya Arel tanpa menatap lawan bicaranya.

"Sorry....," balas Ralvas seraya menundukkan kepala.

Ralvas tak pernah menyangka bahwa rasa penyesalan bisa begitu mendalam, menusuk hati dan pikirannya setiap kali ia mengingat Arel, sahabat kecilnya.

Mereka tumbuh bersama, berbagi tawa dan tangis, melewati berbagai rintangan hidup yang kadang terasa begitu berat. Ralvas tahu setiap sudut dan lekuk kehidupan Arel, mengenal segala suka dan dukanya.

Namun, ketika waktu memaksa mereka untuk berpisah, Ralvas meninggalkan Arel sendirian menghadapi kerasnya hidup. Kehidupan yang pahit tak pernah memberikan keadilan kepada Arel.

Pahitnya kehidupan tidak pernah adil kepada Arel.

Ralvas selalu membayangkan betapa beratnya perjuangan Arel tanpa ada dirinya di sisi. Setiap kenangan yang mereka ciptakan bersama kini menjadi bayangan kelam yang terus menghantui pikiran Ralvas.

Baginya, Arel adalah sosok yang kuat, tetapi tidak ada yang bisa menghindari rasa sakit saat harus menghadapi dunia sendirian. Ralvas menyesal tidak ada di sana untuk mendukung dan menghibur Arel, seperti yang selalu mereka lakukan satu sama lain.

Penyesalan ini menghantui Ralvas setiap hari, membuatnya merasa seolah-olah telah mengkhianati persahabatan mereka.

Arel mengernyit, alisnya terangkat dengan tajam, seolah berkata tanpa suara, "Untuk apa mengucapkan kata maaf?"

"For what?"

Tanpa kata-kata, Ralvaska segera memeluk gadis rapuh di depannya dengan kelembutan yang mendalam.

"I wasn't by your side when you needed me," ucapnya penuh penyesalan.

Arel yang mendengar itu hanya tersenyum tipis, "It's okay, Vaska. Lo sendiri kan yang bilang gue kuat, walaupun kenyataannya nggak sekuat itu," katanya sambil menepuk pelan punggung Ralvas.

"I miss you," bisik Arel tepat samping telinga Ralvas.

Ralvas perlahan melepaskan pelukannya dan menatap mata Arel yang selalu memberikan ketenangan di hatinya.

"I miss you more, Ms.Rield." 

.......

TBC

Published, 1 July 2024.

ARELIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang