Cinderella 6

485 79 18
                                    

Kenapa dia seberani itu-ah, sejak kapan dia takut melakukan sesuatu.

Defandra memejamkan mata, berusaha mengalihkan pikirannya soal Resa siang tadi. Namun, dia tetap heran bagaimana Resa punya keberanian semacam itu, mengajak orang yang pernah dia sakiti menikah tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Ah." Dia mendesah pelan begitu merasakan pikirannya terlalu aktif di waktu selarut ini. Seharusnya dia terima saja permintaan itu sehingga tidak perlu lah dia menyesalinya sekarang.

"Kenapa?"

Defandra menoleh ke lelaki yang sudah memejamkan mata dengan selimut sampai leher itu. Adiknya yang menggemaskan dan diam-diam perhatian, pasti dia menyadari bahwa pikirannya terganggu sekarang.

"Pramita pernah ngajak kamu nikah?" tanya Defandra. Dia bisa melihat Radeva langsung membuka mata, lalu mengangguk dengan mata menatap langit-langit. "Kapan?"

"Waktu kita skripsian."

"Nggak kamu terima?"

"Enggak." Radeva berdecak, lalu memberi penjelasan singkat. "Dia impulsif, merasa aku bisa menyelesaikan semua masalahnya cuma karena aku membantu skripsinya. Keinginannya menikah waktu itu datang bukan karena dia ingin menjalani kehidupan bersamaku."

"Wah, sejak kapan kamu dewasa begini."

Radeva melirik kakaknya malas, lalu bertanya serius. "Ada yang ngajak nikah? Siapa? Resa?"

Defandra mengangguk kecil, lalu menghela napas dan menjelaskan kalem. "Dia juga impulsif, merasa aku bisa membebaskan dia dari keluarganya. Sepertinya siapa pun yang bisa mengeluarkan dia dari rumah dan menjadikan dia orang biasa, akan tetap diajak nikah."

Ah, pasti sedih menyadari hal itu. Padahal pernikahan bukan alat untuk membebaskan diri dari apa pun; bukan membebaskan diri dari pertanyaan 'kapan nikah', bukan pula dari masalah yang terjadi saat lajang, bukan membebaskan diri dari keluarganya, atau masalah lainnya. Pernikahan adalah langkah baru setelah seseorang siap menjalani kehidupan yang lebih kompleks.

"Mau bawa Resa ke pernikahanku?" tanya Radeva, mengalihkan pikirannya. Defandra segera menoleh dan menatap adiknya bingung. Lantas Radeva mengatakan maksudnya. "Ada tambahan satu baju perempuan, bukan buat Resa?"

"Memangnya aku yang minta tambahan?"

"Jadi orang lain?"

Defandra ingin mentakan iya, orang lain, tetapi rupanya dia tidak kuasa berbohong dan berakhir berdecak kesal.

"Nggak akan aku bawa dia kalau nggak suka."

"Aku nggak ngalarang."

"Jadi kenapa tanya-tanya?"

Radeva menatap abangnya tak mengerti. Kenapa lelaki ini sensitif sekali hanya karena ditanya, sudah seperti perempuan saja.

"Cuma tanya," jawabnya diikuti menarik selimut sampai kepala, memiringkan badan, lalu memejamkan mata. Badannya sedang sangat kelelahan dan butuh istirahat cepat sebab besok dia harus bekerja lembur lagi.

***

Matahari sudah menyusup lewat jendela kamar dan nada dering panjang yang tak berhenti-berhenti membuat Defandra susah payah meraih ponselnya di nakas. Dia mengerjap beberapa kali membaca nama yang tertera. Dean. Kenapa lelaki ini sering menghubunginya beberapa hari terakhir.

Defandra menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinganya, suara Dean langsung terdengar nyaring.

"Def, lo beneran mau nikahin Rere?"

Seketika dia tersadar, lalu memilih duduk dan bertanya.

"Barusan ngomong apa Bang?"

Terdengar decakan keras sebelum Dean kembali bertanya. "Lo beneran mau nikahin Resa?"

Bukan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang