Resa membuang napas setelah terdiam beberapa lama. Di hadapannya, satu kartu yang mungkin sana berisi banyak uang, dan di sebelah kartu itu adalah beberapa lembar uang cash yang boleh digunakan kapan saja.
Ya, boleh.
Boleh bukan berarti bisa. Namun di sini dia boleh dan katanya bisa memakainya sesukanya. Untungnya Resa cukup tahu diri dan menyadari bahwa tidak semua orang mendapatkan uang melimpat setiap menit seperti ayahnya. Beberapa orang harus bekerja keras untuk mendapatkan selembar uang, dan oleh sebab itu Resa harus menghormati uang apa lagi jika itu bukan miliknya.Lebih lagi, jika uang itu adalah milik mantan yang pernah dia sakiti dan sekarang berbaik hati menolongnya.
Resa bisa menelepon Gyuri dan minta dibawakan uang berapa pun, tapi dia sedang sangat malas menghubungi siapa pun sekarang. Namun di sisi lain perutnya kelaparan dia dia butuh makan. Makan butuh uang. Sungguh kombinasi yang menyebalkan, tetapi membuat Resa mengambil keputusan pasrah dengan mengambil dua lembar uang pemberian Defandra.
"Kamu nggak bawa apa pun selain badan. Meskipun uang nggak ada artinya lagi buatmu, tapi kamu tetap butuh uang untuk bertahan hidup."
Kalimat cowok itu masih terngiang sampai sekarang, membuatnya tambah kagum dengan kemampuan Defandra yang selalu detail pada hal-hal kecil meskipun tingkahnya terkenal slengekan. Dan mengagumkannya lagi, Defandra tidak perlu menunggu diminta melakukan sesuatu.
Resa membuang napas sekali lagi, lalu bergumam pada diri sendiri.
"Tenang, kita balikin uangnya nanti."
Seolah, Defandra mau saja menerimanya.
***
"Gimana bisa kamu kepikiran dia bakalan ke sana?"
Defandra hanya menuju tempat yang dia ingat, dan sesungguhnya tidak begitu yakin dengan instingnya sendiri. Siapa sangka Resa betul-betul ada di sana, mendirikan tenda bintang lima dan memancing di tepian danau.
"Bahkan kami nggak kepikiran dia bakalan ke sana."
"Tanpa uang dan tanpa apa pun dia nggak bakalan pergi jauh dari rumah." Defandra mengedik. "Tapi aku masih penasaran gimana caranya dia dapat tenda semacam itu."
"Apa pentingnya gimana caranya. Yang terpenting dia selamat dan punya tempat tidur malam itu."
Memang benar, tapi tetap saja Defandra penasaran.
"Sekarang bagaimana? Kamu kasih dia uang yang cukup buat hidup beberapa hari?"
Defandra langsung melengos kesal. "Memangnya aku harus diberi tau buat hal-hal semacam itu?"
"Berapa yang kamu kasih? Banyak? Pas-pasan?"
"Kenapa nggak sekalian tanya ke Resa sendiri?"
Lelaki di sebelahnya, Dean, cengengesan saat itu juga. Dia menepuk bahu Defandra dan bernasihat bijak.
"Nikahlah sama dia."
"Kenapa?" tanya Defandra, tak terlihat begitu tertarik.
"Kamu masih suka sama Resa."
Defandra melebarkan senyuman di bibirnya sambil menggeleng. "Menikah itu dua orang. Maka nggak bisa hanya salah satunya yang mencintai."
"Makanya aku sarankan kamu menikah sama dia."
"Apa maksudnya?"
Dean menatap lelaki itu lelah. Daripada menjawab dia memilih membuang napas dan melepaskan telapak tangannya untuk memukul kepala Defandra.
"Kenapa?!" keluh Defandra panjang sambil memegangi kepalanya yang pening.
"Itu lah kenapa kalian dulu nggak pernah berhasil. Kalian akhirnya putus hanya karena hal nggak masuk akal."
"Apanya yang nggak masuk akal? Jelas-jelas dia ngaku lebih suka Radeva daripada aku."
Defandra memekik saat kepalanya menjadi korban untuk kali kedua. Belum sempat dia membalas—meskipun tidak akan berani juga—Dean sudah melangkah meninggalkan lokasi pertemuan mereka yang kali ini disponsori oleh Dean sebagai bentuk rasa terima kasih telah menyelamatkan Resa.
Namun tetap saja, akhirnya Defandra tidak selamat juga. Akan tetapi, apa maksud Dean?
***
Hari ini terlalu berat untuk Resa. Bukan karena dia harus mengikuti perintah ayahnya, tetapi karena Defandra. Setelah berpikir dengan keras untuk menggunakan uang Defandra, kini makanan yang dia beli dimakan oleh pemilik uangnya.
Wah, apakah Defandra kehabisan uang? Jangan-jangan uang yang dia punya hanya sebatas yang diberikan kepada Resa.
"Kamu lebih miskin daripada yang aku tau?" tanyanya setengah tidak percaya. "Atau kamu diusir dari rumah?"
Setelah menelan makannya, Defandra mengerutkan kening. "Kenapa pikiranmu seekstrim itu cuma karena aku makan di sini?"
"Memangnya nggak aneh?"
"Apa?"
"Kamu makan di sini."
"Katanya kamu udah kenyang." Defandra menarik botol es boba di hadapan Resa, lantas menyedotnya sampai hanya tersisa butira -butiran hitam di dalamnya. Saat menatap Resa, dia menemukan perempuan itu syok dengan mulut terbuka.
"Kenapa lagi? Kamu mau minta ganti minuman ini juga?"
Resa menggeleng kuat. "Kenapa kamu minum dari situ?" Dia menunjuk gelasnya. "Itu bekas sedotanku."
Ah, itu yang dipikirkan Resa. "Cuma sedotan, nggak berarti apa-apa."
"Itu berarti buatku."
"Apa?" Defandra menatap gadis itu serius, lalu menarik napas saat tidak segera mendapatkan jawaban. "Kamu sangka ini sama dengan ciuman?"
"Menurutmu enggak?"
"Jadi kita ciuman secara nggak langsung? Kenapa nggak ciuman langsung?"
Resa buru-buru memundurkan kepalanya dan menggeleng pelan. Dia menunduk, membuang napas sepelan mungkin demi menenangkan jantungnya yang berdetak terlalu kencang.
"Jangan mengada-ada."
"Mamaku sibuk ngurusin pernikahan Radeva. Dia nggak sempat masak malam ini."
Ah, begitu. Resa hanya mengangguk kecil, tidak begitu peduli dengan itu. Padahal, Defandra sedikit cemas ingin tahu reaksinya.
"Kamu dapat undangan dari Radeva."
"Enggak."
"Dapet." Defandra sedikit menegakkan punggungnya, lalu menjelaskan pada Resa yang kebingungan. "Sebagai pasanganku, mau?"
Untuk beberapa saat Defandra diam saja menunggu jawaban perempuan itu, tetapi yang dia dapati hanyalah wajah canggung, bingung, dan keberatan. Defandra tersenyum kecil, sama sekali tidak ingin membebani Resa atas keinginannya. Dia berdiri setelah meletakkan kotak berukuran sedang di meja.
"Jangan terlalu terbebani. Itu bukan paksaan sama sekali." Dia mengambil ponselnya dan mengantonginya. "Kebetulan baju keluarga bikinan mamaku kelebihan satu."
"Kamu mau pergi?" tanya Resa setelah terdiam cukup lama.
Defandra mengangguk kecil. "Aku sudah kenyang."
"Ah, uang kamu."
"Kembalikan kalau kamu sudah pulang nanti."
Defandra mengakhiri obrolan itu dengan senyuman kecil, lalu bilang akan pulang dan Resa sama sekali tidak bereaksi. Dia melangkah yakin keluar kamar kost itu, tetapi dia kira hatinya tidak yakin. Dia menyesali apa yang telah dia lakukan barusan.
Sementara masih terpaku di tempat, Resa menatap kotak berisi kebaya itu dengan perasaan yang sulit sekali dia terjemahkan. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang seharusnya dia tanyakan kepada Defandra tadi. Namun dia terlalu terkejut untuk bersuara, dan bahkan merasa hampir hilang kesadaran.
Sehingga, dia biarkan Defandra pergi dengan perasaan kecewa yang berujung penyesalan.
Saat berhasil menguasai diri, Resa tahu dia terlalu lambat dalam memberikan reaksi di situasi darurat.
Resa berpikir keras, apakah mungkin dia belum terlambat memberi jawaban.
Tbc...
07 July 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinderella
ChickLit(18+) ❝Kutukan jatuh cinta hanya sekali seumur hidup itu nyata, dan saya belum pernah mencintai orang lain lagi selain kamu. Saya kira hanya belum menemukan orang yang tepat, tapi ternyata bukan karena itu: karena cinta saya masih tersimpan sepenuh...