SABRINA 2 - BAB 4

9 5 3
                                    

Matahari sudah terbit, aku dan Revan bergegas membereskan barang-barang untuk dibawa pulang ke rumah. Saat sedang merapihkan semuanya, Mama Tiwi mengetuk pintu kamarku. "Kamu udah mau pulang, Sayang?" Mama Tiwi yang berdiri di depan pintu kamarku.

Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Ma," jawabku lemas.

"Kamu kenapa, Sabrina? Kamu sakit? Kok muka kamu pucat, gitu?" Mama Tiwi berjalan menghampiriku.

"Nggak apa-apa kok, Ma," jawabku lemas tanpa menatapnya dan masih meneruskan memasukkan baju ke dalam tas. Rasanya tubuh ini sudah lelah sekali untuk beraktivitas. Badanku terasa sakit, kepalaku juga pusing, sepertinya tubuh ini sudah tumbang.

Mama Tiwi memegang keningku. "Badan kamu panas, Sabrina. Kamu nggak apa-apa?" Mama Tiwi terlihat cemas, duduk di atas kasurku.

"Jangan khawatir ya, Ma. Biar Revan yang rawat Sabrina nanti di rumah." Revan yang baru saja tiba di kamar.

"Kamu istirahat yang cukup nanti di rumah ya, Sayang." Mama Tiwi mengelus pundakku.

"Iya, Ma," jawabku tanpa menatapnya.

Setelah berkemas, aku dan Revan berpamitan dengan yang lainnya. Sebenarnya aku masih ingin lama di sini, tetapi aku tidak ingin egois memikirkan kepentingan pribadi semata. Revan harus kembali bekerja, tubuhku juga kurang sehat karena gangguan tidur semalam.

"Sering-sering main ke sini, Sab, jaga kesehatan ya!" Juna berjalan bersanding denganku, membawakan tas ke dalam mobil.

"Lo dong kali-kali main ke rumah gue, daripada jadi pengacara," ejekku menepuk pundaknya.

"Sial, gue dibalikin, lagi sakit saja bisa ngecengin orang lo," guraunya.

"Ya sudah, Ma, Yah, Jun, aku sama Revan pulang ya!" Aku memasuki mobil setelah itu. Aku membuka kaca mobil saat Revan mulai melaju dan melambaikan tangan ke mereka dengan senyum hangat.

****

Sesampainya dirumah, ternyata sudah banyak yang menunggu jasa Revan di rumah sejak tadi. Ada 10 orang sudah menunggu dengan varian masalah mereka alami untuk memohon bantuan Revan dalam kehidupannya. Revan menyarankanku untuk segera tidur dan dia saja yang melaksanakan tugasnya tanpa bantuanku, terlihat sekali dia masih mengkhawatirkan keadaanku yang masih kurang sehat.

"Kamu jangan lupa salat dulu baru tidur ya, Sab." Revan sambil memarkirkan mobil di teras rumah.

"Iya, pasti." Aku memberikan senyuman hangat.

Dia senantiasa mengantarku ke kamar terlebih dahulu sebelum menghampiri orang-orang yang sedang menunggunya sejak tadi.

Dia memelukku. "Kamu nggak apa-apa kan, aku tinggal sendiri di kamar?" Dia memastikan dalam dekapan.

Aku melepas dekapannya. "Iya, aku nggak apa-apa kok. Ya sudah, kamu ke mereka saja sekarang. Kasian kan, udah nunggu kamu dari tadi." Aku mengelus dadanya.

"Ya sudah, aku ke mereka ya." Dia mencubit pelan daguku.

Setelah Revan beranjak pergi, aku segera menutup pintu. Aku membalikkan tubuh, tiba-tiba aku sudah berada di dimensi lain dengan sendirinya. Ada seorang pria bertubuh tegap, berpakaian rapih memakai setelan jas berwarna hitam, dan menghadap sudut tembok kamar ini sambil mengepal kuat kedua tangannya. Tubuhnya sangat tegang, membuat aku cemas melihat wujudnya yang hanya mematung di sana.

"Mau, apa? Ada apa narik saya ke sini?" tegasku.

"Ini aku, Bii!" Dia menoleh perlahan dengan senyuman sinis.

"Mau apa lagi, kamu?" suaraku mulai gemetar saat melihat dia menoleh ke arahku.

"Seharusnya kamu milik aku, Bii, bukan Revan! Seharusnya, aku yang ada di samping tempat tidurmu, bukan pria yang tidak ada istimewanya itu!" suaranya memberat dan tubuhnya bergerak cepat tanpa arah.

Aku memundurkan langkah. Aku semakin takut melihat gerakannya yang sangat aneh. "Tolong, Raka! Pergi, Ka, aku mohon!" langkahku sudah sampai di dinding belakang. Aku menutup mulut dengan jemari dan menahan tangisan karena rasa takut yang aku rasakan sekarang. Raka beranjak perlahan dari tempat dia berdiri dengan tubuhnya seperti terpatah-patah berjalan ingin menghampiriku. Napasku semakin tidak beraturan dan jantungku berdegub sangat kencang. Pilihanku hanya dua, tetap di sini atau melawannya sekarang.

Benar saja, tubuhku memilih diam di sini bagai patung yang tidak bisa berbuat apa pun. Raka sekarang sangat dekat di hadapanku, dia menghentak dinding yang berada di belakangku dengan kedua tangannya. Dia mengendus aroma tubuhku, aku merasa kecewa dengan tubuh ini yang tidak dapat bertindak apa pun, aku semakin gemetar tidak bisa berkutik karena sangat takut dan juga panik.

Revan, tolong, Revan!

Raka mengeluarkan lidahnya dan mencoba untuk menjilatku. Raka tiba-tiba terlempar ke dinding yang berada di belakangnya. Revan datang menarik dan melempar Raka ke arah tersebut. Aku tidak menyangka Revan bisa hadir sekarang. Mata Raka berubah menjadi hitam pekat, mulutnya mengalir cairan hitam yang begitu banyak. Dia tersenyum semringah melihat kehadiran Revan di sini. Raka menghampiri Revan dengan cepat. Revan sudah membuat penjagaan di hadapannya. Ketika Raka mendekat, Revan hanya menyetuk dada Raka dan langsung terbagi dua roh saat ini. Aku sangat terkejut melihat kejadian ini yang terlihat seperti tidak nyata namun ini benar terjadi.

Bagaimana ini semua bisa terjadi?

Sosok yang berbaju hitam, dia terlihat geram, dan perlahan mencoba melawan, sosok tersebut mulai berteriak-teriak dan terbakar akan lantunan ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh Revan.

Sosok berbaju hitam terengah. "Kita akan bertemu lagi, Sabrina!" teriaknya.

Sosok tersebut mulai menghilang dan hanya tersisa sosok Raka berbaju putih. Wajahnya mengingatkanku pertama kali aku bertemu dengannya. Senyum yang dilontarkan Raka membuat aku teringat momen-momen indah bersamanya. Aku sangat berharap dia akan menemukan jalan kembali kepada Sang Pencipta.

Revan membangkitkan Raka, aku melihat sosok Raka inilah yang menolongku dikala itu masuk ke dimensi lain, dan sosok nyata yang datang di pernikahanku. Bukan seperti yang selalu datang di mimpiku setiap malam. Dia hanya melontarkan senyuman hangat yang akan aku rindukan tanpa ada kata yang terucap. Aku hanya meneteskan air mata melihat kejadian ini.

"Kamu lebih baik tinggal di Masjid kalau memang belum menemukan jalan untuk kembali. Jika kamu tidak tenang, setidaknya sekarang kamu terbantu menjadi aman. Kembalilah ke jalan Allah.Swt!" jelas Revan kepada sosok Raka.

"Terima kasih, Revan." Dia melirik Revan dengan tersenyum. "Sampai bertemu lagi, Sabrina," lanjutnya melihatku dengan senyuman hangat. Sosok tersebut menghilang dengan sendirinya. Revan menghampiriku dan menggandeng tanganku untuk kembali ke tubuh masing-masing.

Aku terbangun dan menarik napas dalam. "Ssshhh, udah kamu istirahat aja ya. Nanti kamu semakin sakit kalau dipaksa kegiatan." Revan berlutut di samping tempat tidurku.

"Terima kasih." Aku menggenggam tangan Revan.

Revan mengangguk dan mengecup keningku. "Aku ke depan lagi ya." Revan beranjak pergi dari kamar setelah itu.

Setelah Revan pergi, aku bergegas untuk melaksanakan salat zuhur terlebih dulu sebelum melanjutkan istirahat. Kali ini, aku merasa lebih tenang untuk terlelap setelah kejadian tadi. Jika memang Raka hadir kembali, aku rasa suasananya akan lebih baik dan tidak seburuk sebelumnya.

***********************************************************************************************

Masih bersama Raka dengan mantan gamon-nya Sabrina. Bagaimana cerita kali ini? Semakin seru bukan? Semoga kalian suka dengan ceritanya ya!

Follow aku dulu yuk, agar kalian tidak ketinggalan dengan cerita terbarunya. Jangan lupa vote dan berikan komentar setelah membaca karena support kalian sangat berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS (New Ver.) yang akan di-upload setiap Sabtu pukul 15:00 WIB ya!

See you and thank you so much!


Warm Regards,

INDRI HELWINA

SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS (New Ver.) - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang