SABRINA 2 - BAB 3

15 7 2
                                    

Jam menunjukkan pukul 07:00 WIB, Revan mengajak untuk pergi ke rumah keluargaku. Sepertinya Revan mengerti bahwa aku sangat merindukan mereka. Sudah biasa tinggal dan bertemu Juna, Mama Tiwi, dan juga Ayah, sekalinya tidak ada mereka, sangat terasa berbeda.

Di perjalanan menuju ke rumahku, dalam hati aku sangat ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tentang semua mimpiku akhir-akhir ini kepada Revan. Namun, rasa ragu selalu menghampiri ketika baru saja ingin menceritakan kepadanya. Aku sangat memikirkan tentang bagaimana perasaannya nanti ketika mengetahui semuanya.

"Eee, Van," sapaku tanpa menatapnya dan memainkan jemari.

"Iya, kenapa, Sayang?" Dia melirikku sekali saat mengendarai mobil.

"Pasti kamu terganggu sama ketakutanku, akhir-akhir ini ya, Van?" Aku meliriknya sekali.

"Nggak sama sekali kok, Sab." Dia mengelus pundakku dengan senyuman.

"Kamu nggak lelah sama keanehanku kan, Van?" lirihku, memalingkan wajah.

Revan segera menepikan mobilnya di pinggir jalan. Sepertinya dia mengetahui bahwa aku sangat ingin, dia tahu yang sebenarnya terjadi, tetapi aku sulit untuk mengungkapkannya. Revan melepaskan sabuk pengaman dan mengubah arah duduknya untuk menghadapku. Dia meraih jemariku dengan senyuman.

"Ada apa, Sayang? Nggak apa-apa, cerita aja. Aku nggak bakal marah kok, Sab," jelasnya lembut.

"Hemm." Aku meliriknya sekali dan kembali menundukkan kepala. "Kamu janji ya, jangan marah sama aku, Van?" lanjutku ragu.

"Iya, aku janji." Genggamannya semakin erat untuk menyakinkanku.

"Aku minta maaf kalau kamu nantinya bakal kecewa atau gimana. Ketika di penginapan, Raka datang. Dia cukup mengganggu, aku sangat yakin itu bukan dia. Tatapan dia penuh makna yang buat aku sangat ketakutan hingga saat ini." Aku menghela napas panjang.

"Nggak apa-apa, kalau kamu belum siap cerita. Aku nggak maksa kok, aku hanya ingin kamu lega aja." Dia mengelus jemariku.

Aku menarik napas dalam dan sejenak mengatur napas kembali. "Raka mau mencoba menjamahku di dalam mimpi, Van. Mimpi itu terasa sangat-sangat nyata, aku takut kalau mencoba untuk ingat-ingat kembali," tangisanku pecah di hadapannya.

Aku merasa diriku terlalu berlebihan menyikapi hal ini, entah bagaimana aku bisa menjelaskannya bahwa aku sangat ketakutan saat ini. Revan langsung memelukku, dia mengelus kepalaku yang berada di dekapan.

"Maafin aku ya, Van. Aku rasa memang berlebihan menyikapi ini, tapi aku sangat ketakutan kalau mengingatnya. Akuu takut Raka kembali lagi, entah apa yang dia inginkan, aku takut!"

Revan melepas dekapan dan menghapus air mataku. "Ssshhh, udah, Sab. Aku nggak apa-apa kok, nanti kamu stres lho, kalau dipikirkan terus." Revan terlihat sangat dewasa menghadapi masalah. Nada bicara ketika dia menjelaskan sama sekali tidak terdengar seperti amarah yang mendampingi perkataannya. Aku rasa ini bukan hal penting baginya, tetapi bercerita dengannya saat ini membuatku sangat lega.

"Aku takut Raka datang lagi, Van." Aku mulai merasa tenang. Seperti beban yang selama ini aku genggam sendiri menjadi terbagi setelah bercerita dengannya.

"Ada aku kok. Tenang ya, jangan dipikirin lagi. Aku nggak apa-apa kok. Terima kasih ya, udah coba cerita sama aku." Dia mengusap-usap pundakku.

Aku menepuk pergelangan tangannya. "Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu, udah ngertiin banget keadaan dan sifatku yang sangat berlebihan ini."

"Iya, Sayang." Dia menghapus air mataku yang mengalir kembali dengan jemarinya. "Udah, jangan nangis lagi ya. Jadi kan, ketemu Ayah, Mama Tiwi, dan Junanya?" Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Nah, gitu dong senyum. Jangan sampai cantiknya hilang karena nangis," guraunya dengan senyum semringah.

SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS (New Ver.) - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang