SABRINA 2 - BAB 15

0 0 0
                                    

Sesampainya di rumah keluargaku, aku melihat Mama Tiwi sedang menangis di teras rumah. Juna dan ayah berada di dekat Mama Tiwi saat ini untuk menenangkannya.

"Mama udah salah besar sama saudara kamu, Juna!" Mama Tiwi dalam tangisan.

Juna mengelus pergelangan tangan Mama Tiwi berkala. "Sumpah, aku nggak ngerti sama apa yang Mama omongin sekarang." Juna kebingungan.

Aku bersama Revan menghampiri mereka semua yang sedang berkumpul di teras rumah, "Ma, kenapa nangis? Gara-gara Sabrina ya, Ma?" tanyaku berlutut di hadapan Mama Tiwi.

"Nggak, Sayang. Mama malah terima kasih sama kamu, Nak. Akhirnya, Mama nemuin anak Mama yang hilang karena kamu, Sayang." Mama Tiwi mengusap-usap pipiku.

"Terus apa yang buat Mama nangis, sekarang?"

"Mama nggak tahu apa yang dilakukan sama papanya Juno dan Juna kala itu. Ketika anak-anak Mama beranjak usia 2 tahun, Juni menghilang gitu saja pada saat papanya mereka lagi jaga mereka di rumah. Mama udah nyari seluruh isi rumah, tetapi hasil nihil. Mama juga sudah lapor polisi. Sampai saat ini nggak ada kabar apa pun." Mama Tiwi diam sejenak dan mengelus rambutku. "Akhirnya, Mama bisa nemuin, anak Mama yang hilang karena kamu, Sayang." Mama Tiwi menangis histeris.

"Jadi, sebenarnya aku punya adik? Aku nggak ingat apa pun tentang memori itu," sambung Juna yang terlihat kebingungan sejak tadi.

"Iya, Sayang, umurnya hanya beda 1 tahun dengan kamu," jelas Mama Tiwi. Aku dan Juna memeluk erat Mama Tiwi. "Mama sayang banget sama kalian berdua."

Setelah Mama Tiwi lebih tenang dari sebelumnya, kami melanjutkan kegiatan membereskan rumah dan kembali beristirahat setelah itu. Malam tiba, aku masih menginap di rumah keluargaku saat ini. Entah sampai kapan aku bersama Revan di sini. Sudah berhari-hari lamanya tetapi Revan sama sekali tidak ada tanda siap untuk balik ke rumah.

"Van, kita kapan pulang?" Aku membuka pembicaraan saat berbaring di kasur bersamanya.

Revan mengubah posisi menghadapku. "Kamu sudah kuat belum fisiknya? Kamu baru banget pulang dari rumah sakit, lho!"

"Hemm, sudah." Aku tersenyum semringah.

"Kalau ngasih senyum begitu, biasanya ada maunya, nih!" Revan mencubit pipiku. Aku hanya memasang senyum kembali. "Emang udah se-kangen itu sama, rumah?" Dia mencubit daguku. Aku mengangguk cepat untuk menjawab pertanyaannya. "Ya sudah, besok pulang deh."

"Beneran?" tanyaku semangat.

"Tapi ada syarat," ujarnya dengan senyum penuh makna.

"Apa syaratnya?" tanyaku penasaran.

"Cium dulu dong." Revan menunjuk-nunjuk ke arah pipinya. Tanpa basa-basi aku langsung mencium pipinya, dia tertawa kecil, dan mendekapku setelah itu.

****

Pagi yang ditunggu akhirnya datang juga. Sudah tidak sabar rasanya ingin pulang ke rumah. Semalam aku bersama Revan sudah mengemas barang-barang yang akan dibawa pagi ini. Kami bergegas untuk pulang ke rumah dan berpamitan dengan yang lain.

"Jangan lupa sering-sering main ke sini ya, kalian!" Juna saat kami berpamitan.

"Iya, siap, Jun. Gue sama Revan pulang ya, bye!" Aku dan Revan melambaikan tangan.

Di dalam mobil, aku melihat mereka yang masih melambaikan tangan ke arah kami. Aku menarik napas dan meyakinkan penglihatanku saat ini. Aku melihat seseorang berjubah hitam yang dikala itu membantuku untuk menemukan jalan pulang berdiri di antara keluargaku.

"Kamu kenapa, Sab?" tegur Revan.

"Hah?" Aku menoleh ke arahnya. "Nggak apa-apa kok," sanggahku memalingkan wajah. "Ayuk, kita jalan sekarang," ajakku berusaha menutupi kebenaran. Revan akhirnya bergegas menjalankan mobilnya setelah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS (New Ver.) - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang