SABRINA 2 - BAB 5

13 5 7
                                    

Hari mulai sore, Revan sudah menyelesaikan orang terakhir yang datang. Revan terlihat lelah saat memasuki kamar. Dia membaringkan tubuhnya di kasur dan menaruh kepalanya di atas pahaku.

"Kamu mau makan nggak, Van?" Aku membasuh keringatnya.

"Nggak, Sab, nanti saja. Aku mau rebahan aja di dekatmu." Revan memeluk pergelangan tangan kiriku.

Sikap manjanya membuat aku tersenyum sendiri. "Eh, kamu mau aku creambath-in, nggak?" tanyaku semangat.

"Apa itu, creambath?" tanyanya penasaran dan membangkitkan tubuhnya.

"Enak deh, pokoknya. Mau, ya?" Aku tersenyum semringah.

"Ya sudah, boleh deh. Nggak enak, awas aja ya!" Revan mencolek hidungku.

"Iya, iya." Aku beranjak mengambil peralatan untuk creambath yang ada di meja rias. Aku meng-creambath Revan, dia nampak sangat menikmati pijatan di kepalanya. "Enak, kan? Di pijat-pijat kepalanya? Apa aku bilang, nggak percaya sih." Aku mengejeknya.

"Fix! Mulai sekarang creambath adalah kesukaanku!" guraunya yang masih memejamkan mata menikmati pijatanku.

Tidak terasa malam tiba, aku meminta Revan untuk membersihkan kepalanya dari sisa creambath dan sekalian tubuhnya agar menjadi lebih segar sebelum terlelap. Aku merebahkan tubuhku di kasur untuk menunggunya selesai mandi sambil memainkan handphone sekadar melihat sosial media.

Setelah selesai, Revan berpakaian dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur, dia selalu menyempatkan untuk berbincang sebelum tidur bersamaku. Entah hal yang sudah terlewat dibahasnya, rencana masa depan, dan banyak hal yang dapat menjadi topik pembicaraan.

"Maaf ya, Sayang. Hidup kita sederhana seperti ini." Dia memainkan rambutku dengan jemarinya.

"Apa deh, kamu ngomongnya. Gini saja udah bersyukur, Alhamdulilah! Kita masih dikasih hidup sama Allah, udah bersyukur banget, Van."

"Kamu bahagia sama aku, Sab?" senyum ragu kembali mendampingi pertanyaannya.

"Banget, banget, banget, Van!" jelasku dengan tawa kecil.

Revan memintaku untuk mendekat dengan tubuhnya, lalu dia mendekapku dengan erat. Terasa harmonis sekali rumah tanggaku bersamanya. Aku hanya bisa berharap akan selalu seperti ini sampai akhir hayat.

Jam menunjukkan pukul 23:00 WIB, Revan sudah tertidur pulas yang masih mendekapku saat ini. Seketika aku mendengar suara barang seperti panci atau sejenisnya jatuh dari arah luar kamar. Aku masih berusaha untuk berpikir positif bahwa ada tikus yang menjatuhkannya. Aku melepaskan dekapan Revan perlahan agar dia terbangun dari tidurnya.

Tidak lama kemudian, ada langkah kaki yang begitu cepat terdengar. Sumber suara tersebut dari atas atap kamar ini. Aku semakin khawatir, lampu kamar tiba-tiba mati dengan sendirinya. Napasku menjadi tidak beraturan dan jantung berdegub sangat kencang. Aku mendekap bantal yang berada di dekatku sekarang untuk mengurangi kecemasan.

Seketika lampu kembali menyalah dan aku melihat ada sosok anak kecil duduk di atas lemari yang hanya berjarak sekitar 2 meter dari kakiku. Aku mencoba menutup mataku sejenak dan mengatur napas untuk menghilangkan pikiran negatif saat ini. Aku masih menganggap bahwa ini adalah halusinasiku saja. Perlahan aku membuka mata, sosok tersebut sudah tidak ada di tempat tadi.

Saat aku menoleh ke arah Revan, ternyata anak kecil tersebut berdiri tegap di belakangnya sambil melihatku dengan membuka mulutnya lebar. "Dia datang!" Sontak aku berteriak sambil menutup mataku dan menutup telinga dengan kedua tanganku.

"Hey, Sab! Ada apa?" Revan mengguncang-guncangkan tubuhku yang masih memejamkan mata dan bergumam sendiri.

"Itu di belakang kamu ada anak kecil, Van." Seluruh tubuhku gemetar dan aku tidak berani membuka mata.

"Mana? Nggak ada! Nggak ada apa-apa, Sab." Revan terdengar benar-benar memastikan. Aku mencoba membuka mata dan melepas dekapan tangan di telinga. Memang benar sudah tidak ada sosok tadi di sana. "Kamu mau minum, Sab? Aku ambilin ya, biar agak tenang." Revan ingin beranjak dari tempat tidur.

"Jangan! Jangan tinggalin aku di kamar sendirian. Aku ikut kamu ke dapur aja!"

Rasa takutku masih terasa hingga saat ini, sangat teringat jelas wajah dari anak kecil tadi yang sangat kendur, matanya hitam keseluruhan, dan mulut yang terbuka sangat lebar tidak seperti manusia pada umumnya.

"Ya sudah, iya, Sayang." Dia meraih tanganku untuk bangkit.

Aku menggenggam erat pergelangan tangan Revan hanya untuk menuju dapur. Aku merasa frustasi akan hidup yang penuh dengan teror. Aku merasa akan gila, jika selalu seperti ini setiap harinya. Aku yakin, Revan sangat lelah akan sikapku yang selalu aneh seperti ini. Revan hanya manusia biasa, dia pasti memiliki emosi, dan juga rasa lelah. Hanya saja dia tidak ingin mengeluarkan semua itu di hadapanku. Dia mengambilkanku segelas air putih dan mengajak duduk di ruang tamu. Terlihat pintar sekali dia menutupi rasa lelahnya di hadapanku. Aku meminum air tersebut hingga habis tidak tersisa.

"Gimana? Udah tenang?" Dia mengelus lututku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepada Revan. Dia menggenggam tanganku begitu erat. Dia tertunduk dan menaruh tanganku di dahinya, isak tangis Revan pecah begitu saja. "Aku merasa gagal jaga kamu, Sab. Aku bisa nolong banyak orang, tetapi istri aku sendiri, nggak bisa aku tolong! Aku minta maaf, Sab! Aku yakin, kamu pasti kecewa sama aku yang nggak bisa berbuat apa-apa seperti ini." Revan menahan isak tangis.

Baru kali ini, aku melihat Revan seperti ini. Aku menjadi merasa bersalah sampai mendengar dia mengaku gagal menjagaku. Dia sama sekali tidak menyalahkanku akan hal ini, sikapnya sangat dewasa.

"Nggak sama sekali, Van. Aku nggak merasa gitu." Aku mencium punggung tangannya dan meneteskan air mata.

"Temani aku hingga akhir hayat bahkan sampai di akhirat, Sab. Aku nggak bisa bertahan kalau nggak ada kamu." Revan meneteskan air mata dan mengecup punggung tanganku.

Aku langsung mendekat dan memeluknya. "Iya, Van. Aku bersedia menemani kamu bahkan sampai akhirat pun."

"Terima kasih, Sayang." Dia memelukku semakin erat.

****

Hari sudah pagi, belum saja membuka pintu sudah banyak yang mengantri untuk dibantu oleh Revan. Tidak sedikit yang mencibir Revan menggunakan ilmu hitam sebagai metodenya, tetapi Revan sama sekali tidak menggunakan ilmu tersebut. Revan selalu berkata bahwa kekuatan dan ilmunya hanya jembatan pertolongan Tuhan untuk semua orang di muka bumi ini. Revan belum mengizinkanku untuk membantu 100% dalam pekerjaannya karena fisik dan jiwaku belum siap sepenuhnya.

Setiap pagi rutinitasku adalah berbelanja ke pasar membeli bahan-bahan untuk dimasak. Terkadang Bibi ikut denganku jika pekerjaan membersihkan rumah sudah selesai. Namun, hari ini aku sendiri tidak ditemani olehnya.

Aku berjalan kaki menuju pasar, jaraknya tidak jauh dari rumah. Jalan setiap pagi, aku anggap sebagai olahraga kecil untuk kesehatanku. Aku menyusuri jalan tapak demi setapak. Aku melewati sebuah rumah yang cukup besar dengan arsitektur kuno. Pintu pagar rumah ini tinggi terbuat dari kayu dicat warna hitam pekat dan selalu tertutup, tetapi terdengar ramai sekali di dalamnya. Aku penasaran dan mencoba mendekati rumah ini. Aku mengintip dari sela-sela pagar, terdapat banyak orang berjubah merah marun dan satu setelan dengan tudung. Mereka melingkar sambil berputar perlahan di halaman rumah, entah apa yang mereka lakukan, aku bergegas pergi dari tempat yang aneh ini, dan kembali melanjutkan perjalanan menuju pasar.

***********************************************************************************************

Aku sih kalau jadi Sabrina hidupnya nggak bakal bisa tenang karena selalu diganggu oleh makhluk halus. Kalau kalian gimana?

Follow aku dulu yuk, agar kalian dapat notifikasi untuk cerita terbarunya. Jangan lupa untuk vote dan berikan komentar setelah membaca karena support kalian sangat berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS (New Ver.) yang akan di-upload setiap Sabtu pukul 15:00 WIB ya!

See you and thank you so much!


Warm Regards,

INDRI HELWINA

SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS (New Ver.) - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang