Pada hari yang tak pernah ingin Senja ingat, mengabaikan ke tujuh nama hari yang berulang setiap minggunya. Senja menunggu kehadiran yang belakangan terasa tak nyata, disertai hujan pada musim panas yang tak berkesudahan.
"Nanti kalau sudah besar, cita-cita mu apa?" Tanya bunda.
"Aku mau bahagia saja, bunda." Jawab Senja. Senja mendongak, menatap bulan yang bersinar menyinari bumi. Walau tak seterik mentari, Senja paling suka bulan karena tidak pernah putus asa menyinari malam, walau tidak sesempurna mentari yang mampu menyinari separuh bumi.
Di atas kursi kayu yang baru dibuat ayah, dihadapan pena dan sebuah buku jurnal yang Senja beri nama: bulan. Ia menulis tentang mimpi yang sangat ingin ia wujudkan. Walau sudah terlanjur menjadi manusia dewasa, umur dua puluh satu tahun, sudah masuk batas kemandirian menangis sendirian tanpa siapapun tahu, memendam segala sedih karena orang dewasa katanya tak pantas kekanak-kanakan menangis dan meminta belas kasihan kecuali sudah sangat tersakiti— Senja mengukir hujannya pada tulisan.
Aku ingin jadi penulis, menciptakan dunia walau isinya banyak kebohongan besar, seperti sebuah kenyataan yang paling hina di dunia, tak ada bayangan ataupun nyawa. Kebahagiaan yang hidup karena telah ku ukir ke dalam tulisan, sebuah khayal yang hidup abadi, di beri nyawa oleh tinta pena, diberi bumi oleh kertas yang tak pernah mengeluh berat seperti semesta yang hobinya mencobai banyak manusia.
Senja memiliki mimpi yang baru. Mimpi yang ia sebut sebagai kenyataan yang terasa hina, walaupun begitu ia akan berusaha melakukan apapun supaya bahagia.
"Senja, sepertinya banyak yang seperti kamu."
"Terus kamu pikir, yang mau jadi polisi, hakim, dokter, pembisnis, tuh sedikit?"
"Kamu terlalu sarkas, Senja. Maksud ku, yang mau bahagia tuh banyak, nyatanya tidak semua orang bisa mendapatkannya."
"Kamu yakin? Orang yang dibenci oleh bahagia pun masih punya sesi bahagia, loh. Hanya saja kebahagiaan itu terasa sedikit karena sedih lebih lekat dirasa."
"Aku cuma ngetest kamu. Kamu banget kalau sedang bahas ini."
Senja hanya geleng-geleng kepala, dia tidak punya energi kalau sedang membahas soal bahagia. Bahagia itu mudah, yang sulit adalah memutar keadaan menjadi: Bahagia terasa lebih lekat, sedangkan sedih sebatas hujan lewat. Bahagia itu seperti angin, tak terlihat namun terasa. Sedih itu seperti hujan, derasnya kelihatan, bekas air hujannya juga sangat kelihatan. Sampai disini, kamu paham kan maksudnya?
"Kamu nulis tentang apa, Senja?"
Senja mengabaikan suara itu, suara dari kawan dekatnya. Dia perempuan asal Timur, kulitnya eksotis, kulit wajahnya mulus, Senja kadang suka iri melihat kecantikan sahabatnya yang terasa berbeda. Perempuan yang kalau bicara bisa sangat kencang suaranya, padahal ibunya bersuara lembut. Perempuan yang dari kecil sudah bersamanya, dirumah sebelah kanan yang sama. Mereka berdua tidak pernah pindah rumah. Sejak masih kecil, sudah bertemu di sana. Diperkenalkan oleh orang tua masing-masing, menjadi teman sejati yang mulai bersekolah ditempat yang sama, sampai punya makanan favorit yang sama. Apapun yang manis, mereka suka, khusunys roti ataupun kue.
"Oh.... Sita. Tidak ada yang bisa aku tulis kecuali soal bahagia." Jawab Senja yang kemudian menghela napas, sebuah hela napas yang membawanya pada perasaan senang. "Aku jatuh cinta pada sebuah bahagia."
"Semua manusia pasti cinta bahagia, Senja."
"Yah, akan ku tulis bahagia walau tak nyata sekalipun."
"Senja, kalau sekarang, kamu sedang bahagia karena apa?"
Senja mendongak, menatap atap kamarnya, tersenyum membayangkan wajah Sita yang sangat ia kagumi kemulusan kulit wajahnya itu. Badannya bersandar lega pada badan kursi, sejenak badannya merasa lega seakan dunia sedang menggugurkan bunga sakura tepat di depan wajahnya. "Mikirin kamu, Sita."
"Kamu jangan jatuh cinta dengan ku, aku normal, Senja."
"Sita.... maksud ku, aku suka mulus kulit wajah mu. Kamu lihat kulit wajah ku, suka muncul jerawat baru di setiap satu hari esoknya."
"Pakai skincare, jangan malas skincare-an. Kamu itu sangat malas rawat wajah selain cuci muka atau pakai.... apa itu namanya yang disemprot di muka?"
"Aku juga tidak tahu, yang ku tahu fungsinya melembabkan."
"Senja, kamu pun sudah cantik dengan jerawat mu itu."
"Itu lah kenapa aku sedang bahagia sekarang, Sita. Kamu sahabat baik, aku senang kamu menjadi bahagia yang hidup, bernapas di bumi, membuktikan bahwa bahagia juga terasa nyata."
"Senja.... padahal baru kemarin kamu menangis karena lagi-lagi suka lelaki."
"Ah dia..... entahlah. Manusia lagian memang tidak bisa menghindari perasaan cinta. Bedanya, dia tidak suka aku, jadi dia bisa menghindari perasaan cinta."
"Senja.... menulis lah, maka kamu akan sembuh."
"Makanya jangan ganggu aku!" Balas Senja, melempar bantal kecil yang sempat menjadi sandaran punggungnya. Ketika bantal tersebut jatuh tepat di wajah Sita, Senja tertawa cukup senang. "Sorry Sita....."
Lalu Sita....... ia pasrah, menatap sinis pada Senja. "Sana menulis!" Kata Sita, sedang merajuk.
"Aku akan tulis soal kamu di hari ini."
"Terserah kamu, yang penting kamu kasih saya makan."
Senja kembali menulis, tetapi ia tidak menulis tentang Sita. Rencananya, ia akan menulis bahagianya tentang Sita di akhir paragraf. Sekarang, satu paragraf saja belum selesai. Dadanya berdegup, mirip seperti sedang di grebek polisi karena baru saja melalukan pembunuhan. Tangannya tidak gemetar, tetapi tatapan mata Senja.... iya.
Senja melanjutkan. Kita berjalan beriringan, tertawa bercanda, tak peduli terik mentari. Kita berproses menumbuhkan rasa cinta, semakin dalam namun menanjak tinggi. Aku dan kamu ingin saling menyayangi. Kita setuju, kamu menyatakan cinta. Aku sangat bahagia karena bisa dengan mu. Mendadak, kebahagiaan ini membuat aku seperti habis di tabrak kereta. Sangat dahsyat karena ditabrak perasaan yang melaju sangat kencang. Kue manis menjadi saksi, minuman cokelat menjadi pengiring. Aku dan kamu berkomunikasi lewat mata, lalu kita berdua tersenyum bahagia.
Kebahagiaan yang dibuat-buat, dibantu pena dan kertas. Nyatanya dusta, semua yang Senja tulis adalah kebohongan, makanya ia sendiri menyebutnya.... hina.
Biarlah hina, bohong, dusta, dan sebagainya. Senja sudah mirip seperti manusia ambisius, rela melalukan apapun demi mencapai apa yang ia mau. Bedanya, ia beraksi pada dunia khayal nya, mengabadikannya lewat tulisan yang tak pernah tersampaikan kepada siapapun. Mirip seperti surat, tetapi Senja menyebutnya sebagai: Menulis Takdir yang Hilang.
Menurutnya, ia pantas bahagia, bersama siapa dan dengan perjalanan apapun itu. Tetapi ia juga tahu semesta punya pilihan, antara diberi jawaban ya atau tidak. Tetapi kalau Senja yang menulis, ia akan selalu mengatakan, iya.
Setelahnya, mari terus bahagia bersama-sama. Aku senang bisa bahagia. Ketika kamu datang, bahagia ku rasanya makin terasa. Senang kamu datang.
Selesai menyelesaikan lanjutan paragraf satu, Senja mendadak merenung. Tulisan yang biasanya setelah ia anggap sudah terjadi itu, yang biasanya menimbulkan perasaan bahagia itu mendadak tak mampu masuk peradaban realita. "Sita, sepertinya dia bukan untuk ku. Dia baik, tetapi sepertinya itu bukan cinta. Walau banyak perhatian, seperti itu juga bukan."
"Yah, kita belum tahu perasaannya, kan? Lagipula, dia terlihat baik pada mu. Kayak..... kalau ada apa-apa dia fokusnya ke kamu dulu."
"Benarkah? Yah... kamu ada benarnya, deh."
Pertanyaan nyata, kiranya tak dapat tenggelam bersama khayal. Lalu Senja mulai meratapinya, melihat tulisannya yang belum selesai itu. Rasanya, hujan akan datang bertamu. Tetapi tenang saja, Senja tidak mudah menangis, karena mudah baginya untuk memendam sedih.
***
Bagian 1, selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viva La Vida
Short StorySenja, tidak mirip seperti keindahan semesta yang mempersilahkan langit berubah oranye, memanjakan mata, melahirkan puisi-puisi indah. Menjadi dia adalah realitas, menjalin rasa suka, persahabatan, seorang anak, seorang jati diri yang dicari tak ber...