Sita duduk di pangkuan ibu, bertanya. "Dimana kah boneka cantik ku, ibu?"
Ibu menunjuk ke arah pekarangan rumah. Sita berlari, mengabaikan wajah murung ibu. Boneka berhasil kembali pada pelukan Sita. Sita menangis. Ibu menoleh ke arah pekarangan rumah, mawar tak lagi tumbuh selayaknya, layu dan jatuh memeluk tanah. Tabah pada kesesakan, bertekun pada kemurkaan.
"Sita, jangan menangis, kamu harus kuat meski kamu jatuh berkali-kali."
Sita berlari sembari memeluk boneka cantiknya. Di tengah pelarian, ia tersungkur, dengkul bergesek di tanah, kena bebatuan. Ibu masih diam, memandang pekat pada Sita. "Bangun, jangan terlalu fokus pada rasa sakit."
Sita masih menangis, bonekanya tertinggal di tempat ia jatuh. Sita sampai di hadapan ibu, ia memeluk ibu kuat-kuat. Oh, Sita kecil yang malang. Kali ini engkau melupakan boneka cantik mu, memilih ibu yang masih belum engkau mengerti mengapa begitu galak nan tegas, diam tak mau menolong.
Sita jatuh pada pelukan ibu, ibu membalas dan memeluk Sita kecil erat-erat. Ibu berganti posisi, Sita kecil digendong lalu duduk di tempat ibu duduk sebelumnya. Ibu berjalan gontai tuk meraih boneka, lalu memberikannya kepada Sita. "Kamu jangan kemana-mana, tunggu ibu disini. Jangan ke rumah Senja, kecuali ibu mengizinkan kamu ke sana."
Sita mengangguk, tetapi ia tidak mengerti maksud ibu. Ibu menoleh pedih pada sebuah rumah, tetangganya, yang kini sedang meramaikan lingkungan sekitar dengan lengkingan suara. Entah mengapa mereka bertengkar di hadapan seorang anak yang menangis meminta pelukan. Entah itu meminta pelukan untuk berlindung atau meminta kesudahan pertengkaran ke dua orang tuanya? Ibu menghela napas berat, lalu masuk ke rumah, merapihkan segala yang berantakan, penuh dengan pecahan kaca dan bau alkohol. Barang, perabotan, berantakan di mana-mana.
Ibu mulai menangisi apa yang sedang ia pikirkan. Mengapa lingkungan ini punya banyak perkelahian? Apakah gara-gara tinggal disini, makanya aku juga berkelahi dengan suami ku?
Tidak ada yang tahu mengapa tiba-tiba, ayah..... ayah datang membawa surat cerai dalam keadaan sehat dengan senyuman tanpa beban. Ibu bertanya, apakah kamu punya pasangan baru? Ayah bilang, iya.
Dari tempat duduknya, Sita memandang teman barunya yang sudah beberapa minggu sering datang ke rumah. "Sita, main yuk!" Itu lah kalimat pembuka yang sering Sita tunggu setiap hari.
Kali ini sepertinya Senja sedang sibuk. Sita merasa begitu. Masih di tempat duduknya, matanya yang bulat itu bertanya-tanya, mengapa Senja sangat sibuk? Mengapa ia menangis? Makanya ke dua orang tuanya mungkin sangat marah karena Senja sedang rewel. Seperti yang ibu lakukan kalau Sita sedang tidak menurut, maka ibu pasti marah. Oh, Sita, saat itu kamu belum mengerti apa-apa.
Sita berbalik badan, kali ini ia melihat ibunya sedang sujud di lantai. Matanya yang bulat itu kembali bertanya-tanya. "Ibu sedang apa?"
Ibu terkejut, badannya sedikit gemetar. "Tunggu disana, jangan kemana-mana." Jawab ibu tanpa menoleh kepada Sita. Nadanya jengkel. Hatinya sesak setiap kali harus bernada suara baik-baik saja dengan kepura-puraan yang menyakitkan.
Ibu tidak lagi menunduk, kali ini lanjut membersihkan lantai.
Sita kembali menoleh, menatap keluarga Senja. Senja berteriak kesakitan, Sita membelalak, berteriak memanggil ibunya. Ibu keluar dengan kain basah di tangan kanan, ibu ikut membelalak ketika menyaksikan hal tak baik dilakukan kepada anak kecil. Ibu langsung menutup ke dua mata Sita dengan tangan kirinya. Setelah Senja sudah tidak teriak sekeras sebelumnya, ibu menghela napas berat, lalu berjongkok menatap Sita lekat-lekat, Sita kecil mulai kembali menangis. "Tunggu disini, tunggu ibu." Sita mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viva La Vida
Short StorySenja, tidak mirip seperti keindahan semesta yang mempersilahkan langit berubah oranye, memanjakan mata, melahirkan puisi-puisi indah. Menjadi dia adalah realitas, menjalin rasa suka, persahabatan, seorang anak, seorang jati diri yang dicari tak ber...