Alam duduk di sofa, di ruang tengah, di tengah ruang yang tak terlalu besar. Hujan turun membasahi segala yang ada di bawahnya dan membiarkan angin bertamu melalui sela-sela jendela yang membawa percikan air masuk ke dalam, membasahi koleksi superhero berukuran kecil yang sebentar lagi akan jatuh karena di terpa angin.
Ah, di dalam rumah akan basah, tutup jendelanya! Kalimat demi kalimat perintah muncul melayang-layang di benak, tetapi Alam tak juga melaksanakannya. Hatinya merasa risih karena percikan air masuk ke dalam, butiran air hujan yang terasa halus namun menusuk, angin membawa hujan ke arah berlawanan, membelakangi arah jendela. Tetapi, setengah hatinya yang tersisa mengatakan, betapa hangatnya angin yang dibawa hujan. Bukan hujan yang dibawa angin.
"Kamu masih dengar aku, kan, Lam?"
Alam mengangguk meski kepalanya masih menengok ke arah jendela. Sang sahabat yang selama ini selalu datang ke rumah dengan alasan menjenguk itu kini beranjak bangun dari sofa setelah lama berleha-leha dan menerima sedikit respon atas banyak kata yang sering Alam sebut sebagai, kritik dunia yang tak pernah habis kecuali kiamat datang menyapu seluruh media dan kosa kata yang tercipta begitu rapih menghasilkan milyaran kalimat yang bermakna-makna isinya. Selebihnya, hancurlah seluruh kata yang banyak menyakiti jiwa.
Sang sahabat menutup jendela, Alam menatap bingung pada sang sahabat. "Kenapa di tutup, Tar?" Yang dipanggil Tar malah mendumel tak jelas sambil berjalan menuju sofa dan membaringkan kembali badannya. "Antara?" Alam memanggil jengkel.
"Basah tuh laci mu. Mainan mu pada jatuh." Antara namanya. Kini lelaki itu hanya menyaksikan wajah kecewa Alam yang mulai mengeringkan daerah atas laci yang basah kena cipratan air hujan, lalu mengembalikkan kembali koleksi mainan superhero ke tempat asal muasal. "Toh angin masih bisa masuk lewat atas jendela mu itu, kan ada lubang kawat nyamuk, masih kerasa juga kan anginnya." Antara paham bahwa apa yang sedang diinginkan Alam bukanlah angin yang dibawa hujan, tetapi ketenangan yang ada di dalamnya—yang dibawa hujan, menciptakan musim semi yang menenangkan.
Hujan semakin deras, angin semakin kencang, suara derai hujan menyapu pendengaran para manusia sekitar, dinanfaatkan untuk makan mie kuah, tidur, membaca, dan lain sebagainya.
Dari balik jendela, Alam menyaksikan pemandangan rumah tetangga yang tak jelas terliha karena ditutup kabut. "Siapa tadi nama mereka?" Antara bertanya setelah lama dicampakki Alam.
Alam menengok menatap Antara. "Senja dan Sita."
"Apa istimewanya mereka berdua?"
Alam beralih tatap, ke depan, melihat jejeran buku yang tersusun rapih di rak, tertempel di dinding, dan ada sebuah lukisan yang pernah ia buat dengan seorang suster yang pernah menyarankan kepadanya untuk bermeditasi sambil melukis. Lukisan pemandangan biasa, saat itu hanya pemandangan pantai bertema malam yang terbayang oleh Alam.
"Maksud mu, kenapa aku mengundang mereka?"
"Iya." Antara menjawab malas.
"Senja dan Sita tidak pernah menghakimi aku, apalagi menilai aku sebagai anak laknat dari orangtua penjual narkoba, anak dari orangtua narapidana, anak dari orang tua yang telah bercerai, anak dari orang tua yang membuang anak mereka dengan sisa tabungan mereka, anak dari tetangga orang tua yang ditinggal, di beri makan dan perhatian namun tak tahu diri, disebut durhaka. Alam."
Jawaban panjang Alam membuat Antara terdiam, hanya ada suara langkah yang membawa pergi Antara ke dapur, membuat mie kuah dengan irisan cabai, sawi, dan telur. Antara masih tahu diri, semoga mie ini membuat Alam menjadi lebih bahagia bersamaan dengan hujan yang semakin deras turunnya. Suasana begini tidak boleh disia-siakan, kan?
"Ada lagi, Tar."
"Apa?" Dari dapur Antara menjawab.
"Aku suka Senja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Viva La Vida
Short StorySenja, tidak mirip seperti keindahan semesta yang mempersilahkan langit berubah oranye, memanjakan mata, melahirkan puisi-puisi indah. Menjadi dia adalah realitas, menjalin rasa suka, persahabatan, seorang anak, seorang jati diri yang dicari tak ber...