aud agnub

6 1 0
                                    

Senja memandang ke sebelah rumah, di kanan rumah sita, yang jaraknya hanya sebatas taman halaman depan rumah yang dipagar berbentuk persegi mengelilingi sekitar rumah.

Ibu sudah pergi kerja, Sita sudah berangkat kuliah lebih dulu, sedangkan Senja lagi-lagi dia bolos. "Baru dua kali bolos, masih aman." Ujar Senja dalam hati.

Mungkin, ayah tidak sadar sedari tadi ada Senja yang memperhatikannya dari kejauhan. Ayah sedang duduk di tangga kecil sebelum masuk ke teras rumah. Ke dua tangan ayah memegang kepala, kepalanya menunduk, sepertinya kepalanya sedang penuh oleh kebisingan.

Senja masuk ke dalam, masuk ke kamar Sita. Ia membersihkan kamar Sita sebagai ucapan terima kasih, membenarkan sprei di ujung kanan atas yang hampir lepas dari kasur. Senja kemudian menyapu seluruh rumah, mencuci piring bekas sarapan karena ibu dan Sita hampir telat tadi pagi. Kemudian Senja pulang dengan barang-barang miliknya.

Ketika kedatangan Senja disadari oleh ayah, Senja tetap berjalan melewati ayah. Ketika masuk ke rumah yang semula Senja pikir pintu utama di kunci karena ayah tak kunjung masuk ke rumah, ternyata tidak di kunci sama sekali. Bunda sedang membersihkan rumah, seperti biasa, mengepel rumah, merupakan tugas akhir dari membersihkan rumah.

Senja meraih gelas di lemari piring yang menempel pada dinding, kakinya jinjit sedikit untuk memaksilkan ketinggian, meraih gelas dengan mudahnya. Lalu gelas tersebut ia isi air, dan ia berikan kepada ayah yang masih duduk di depan.

Ayah menerimanya, tidak ada senyum kecuali muka datar yang tak dapat Senja tebak isi hati ayah yang sebenarnya. Setelah minum habis, Senja menerimanya kembali dan menaruh gelas tersebut di deretan gelas miliknya dan bunda.

"Kok kamu enggak kuliah?"

Senja berhenti melangkah ketika dirinya hendak berjalan menuju kamarnya. "Tadi pagi aku sakit, bunda." Balas Senja, dan bunda tidak bertanya lagi. Sama seperti ayah, ekspresi bunda juga sulit di tebak. Hanya beberapa detik mencoba memahami perasaan bunda dari ekspresi, Senja pun pergi melangkah menuju kamarnya.

Ia membaca. Buku ini berlatar belakang 1965-1982. Dari kecil, sang tokoh utama sudah mengalami kisah kelam. Huh..... buku yang benar-benar kelam, sangat menyatu dengan sejarah Indonesia di tahun 1965, generasi seperti senja perlu membaca catatan sejarah seperti itu.

Bacaan sesungguhnya sangat menyelamatkan Senja dari berbagai kondisi. Misalnya yah.... keadaan di luar batas pintu kamarnya. Senja bukan pula mencoba cuek dengan keadaan di perbatasan pintu kamarnya, ia hanya sedang memulihkan hatinya dan berharap dengan semoga dapat menjadi dirinya yang mampu meredakan badai. Itupun kalau ia sudah berhasil menenangkan dirinya sendiri.

Hari ini ada dua kelas. Di jam pagi dan jam tiga sore. Buku novel yanf Senja baca sudah  mulai menipis halamannya, kira-kira seratus halaman lebih lagi. Senja mulai gelisah, ia pun tak punya cukup uang untuk membeli buku baru. Akhirnya ia bersiap-siap dan memakai baju yang lebih rapih. Senja memutuskan akan hadir di kelas jam tiga sore.

Pukul dua siang, bunda dan ayah sedang berpelukan di kamar. Seperti sedang saling menyalurkan kasih sayang, saling memaafkan keadaan, mencairkan suasana tegang. Senja menghela napas, rasanya lega tetapi tidak juga. Senja pergi ke kampus menggunakan motornya, ia pergi tanpa pamit, biarlah mereka berpelukan sampai kembali mencintai. Begitulah yang Senja pikirkan.

Sepanjang jalan, Senja berharap ia adalah tokoh yang dituliskan takdirnya oleh penulis untuk memilih latar kehidupan yang menegangkan. Seperti misalnya Senja adalah pahlawan besar, namun terpaksa dihilangkan dari sejarah. Namun sebetulnya semua orang akan terus memgingat namanya, dan semua orang bangga padanya. Keringat, bercucuran darah, luka atas melawan musuh, kembali dengan keadaan tak baik-baik saja, ialah bentuk nyata hasil perjuangan. Senja ingin sekuanya tampak nyata. Bukan sekedar luka hati yang disimpan dalam-dalam.

Viva La VidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang