"Apa kabar, Senja?"
Senja menatap tantenya, dari keluarga bunda, kakak tertua bunda. Bunda anak nomor tiga. Bunda enam bersudara. Bunda dekat dengan kakak paling tua, anak ke empat, dan dua adik lelaki ke lima dan enam.
Yang Senja tahu, Tante tertuanya ini cukup gemar mengomentari banyak hal. Terlalu banyak sisi kelas atas yang membawa tante tertua pada sisi yang membuatnya terlihat lebih menggampangkan banyak hal. Belajar mobil, Senja. Kamu mahasiswa ada sambil kerja, nggak? Kamu cita-citanya apa kok masih gitu-gitu saja. Kayak anak tante yang ke dua tuh, sudah belajar mobil, belajar investasi.
Tetapi disisi lain, sisi baik Tante Tertua sungguh tak main-main. Dulu Tante Tertua pernah membelikan pendingin ruangan ketika Senja sering mengeluh panas di rumah kontrakan dahulu, memberikan uang jajan, menemani bunda di rumah sakit, membantu bunda di masa muda mereka, mengirimkan makanan yang tak pernah bunda cobai, suka membagi makanan dari luar negeri yang harganya tidak main-main, membelikan oleh-oleh khas luar kota atau luar negeri, aksesoris di pelosok wisata terpandang, dan yang paling penting..... Tante Tertua masih ingat bunda, menyayangi bunda dengan segala makanan atau barang khas yang di beli turis. Semuaitu murni Tante Tertua lakukan, bukan hanya sekedar ingin pamer saja. Tidak sama sekali.
"Aku baik, tante. Apa ada kabar atau pesan dari bunda yang mau tante sampaikan kepada ku?"
Tante Tertua seolah paham bahwa pertanyaan dari Senja yang tidak menyindir sama sekali itu mempertanyakan kehadirannya yang sangat jarang datang ke rumah ini. Paling sering keluarga Senja yang datang ke rumah tante tertua. Tante Tertua tersenyum. "Tante datang karena tidak kabar dari bunda mu. Dia masih di Solo?"
Tante Tertua, tante nomor empat, dan bunda suka melakukan panggilan grub. Membicarakan seputar keluarga, cerita tetangga, dan gosip di internal yang bahkan Senja sendiri baru akan tahu kalau mereka mengungkapkannya di telepon. Soal saudara jauh, maupun saudara dari siapa pun itu yang sama sekali tidak pernah Senja kenal. Kalau ritual itu sedang terjadi, Senja suka diam-diam mengambil buku lalu duduk di sofa ruang tengah, pura-pura membaca yang padahal menguping bunda yang sedang asyik bercerita kepada dua saudarinya di dapur melalui telepon.
"Tadi malam ayah ada kabari aku, mereka akan pulang besok."
"Tapi kenapa waktu tante telpon, semingguan, tidak bunda mu jawab?"
Jawaban apa yang diharapkan Tante Tertua? Padahal Senja sendiri hanya modal percaya bahwa mereka tengah mengobati luka pertengkaran rumah tangga di beberapa kota. Meningkatkan kembali gairah cinta supaya tidak berujung malapetaka. "Kalau itu, aku tidak tahu, tante." Dan seperti biasa, tante tertua akan mengucapkan kalimatnya tanpa berpikir panjang. Ada nada menyindir sekaligus cemas yang dapat Senja pahami dengan murah hati.
Terlihat jelas bahwa Tante Tertua sedang sangat cemas. Kebawelannya soal kebiasaan kelas atas, makanan mahal yang seolah lebih bergizi daripada makanan tendaan itu tak tante tertua gubris, padahal ia sudah melihat berkali-kali meja makan yang punya sekotak nasi kotak dan tempat sampah yang penuh dengan makanan tak sehat. Tetapi ketika melihat itu, tante tertua hanya bilang, "Tante ada bawa makanan untuk mu." Hanya itu, lalu duduk di sofa dan diam memikirkan entah apa. Yang jelas, memikirkan bunda.
"Tante khawatir, Senja." Setelah lama menit berlalu, akhirnya Tante Tertua buka suara. "Setiap kali perasaan ini berkaitan dengan bunda mu, Tante khawatir. Sangat. Kita sangat tahu watak macam apa yang bunda mu miliki."
Bahkan menurut Senja, sifat Tante Tertua cerminan sifat bunda. Senja hanya tersenyum mendengar ucapan tantenya itu.
"Benar." Senja menegakkan badan, tampaknya ini akan berjalan sangat serius. "Semoga semuanya baik-baik saja. Jangan khawatir, Tante, mereka berlibur untuk mengobati luka, menciptakan butir per butir gairah cinta yang membawa mereka pada pikiran ingin hidup bersama selamanya. Toh besok mereka pulang, Tan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Viva La Vida
Short StorySenja, tidak mirip seperti keindahan semesta yang mempersilahkan langit berubah oranye, memanjakan mata, melahirkan puisi-puisi indah. Menjadi dia adalah realitas, menjalin rasa suka, persahabatan, seorang anak, seorang jati diri yang dicari tak ber...