"Pras izin sakit, pak." Ujar Ranum sembari mengangkat tangannya ke atas sejenak.
"Ah elah! Kenapa sih disituasi begini tidak ada izin libur dari pihak kampus? Toh kampus lain ada yang dapat izin untuk menyuarakan loh." Seseorang mengeluh ketika Ranum selesai mengonfirmasikan kabar Pras kepada sang dosen pengajar yang tiba-tiba berhenti memandangi layar laptop, matanya beralih kepada dia yang tadi sedang mengeluh berbisik ke teman di sebelahnya.
"Tidak ada libur. Orang seperti kamu itu wajib belajar supaya mengerti etika melaksanakan menyuarakan aspirasi." Sang dosen membalas dengan nada tenang. Semua orang yang tadinya masih terdengar bisikan mendadak diam. Seluruh kelas hening. Si pengeluh pun tak berani menjawab, hanya diam dan mengangguk kecil, wajahnya menandakan sedikit amarah dan tidak enak hati.
Selesai kelas, Senja dan ke dua kawannya, Sita dan Ranum, memilih menunggu kelas berikutnya di perpustakaan yang di mana mereka masih punya waktu satu jam untuk menunggu. Duduk di meja yang menyediakan empat kursi berhadap-hadapan, di samping ada dinding kaca yang dapat mereka lihat berhadapan dengan belakang kampus yang menjadi tempat parkir motor. "Pras kenapa enggak masuk, Num?" Senja membuyarkan keheningan yang sejak tadi terasa menegangkan.
"Kemarin kami ke Jakarta." Ranum menjawab lemas, terdengar hati-hati dan nada suaranya pelan.
Sita langsung membelalak. Matanya kini menyadari mengapa Ranum punya lebam di tulang pipi kiri dan di sekitar mata kiri yang untungnya di area yang satu itu tak terlalu lebam.
Ranum memperhatikan reaksi yang Sita berikan, sedangkan pada Senja bahwasanya ia sudah menebak bahwa kawannya yang satu itu pasti sudah menebak bahwa lebam ini datang karena ikut aksi. "Ah, jujur saja kami belum berani ikut demo karena masih harus banyak paham dulu." Lanjut Ranum, ia mulai merasa cemen. "Jadinya kemarin kami ikut bantu-bantu seperti memberitahu zona hijau, dan mencari mahasiswa yang terpisah dari kelompoknya. Saat siang itu yang paling keos, banyak yang hampir pingsan, dehidrasi, dan kena gas air mata. Kami bagi minum, bantu obati luka pakai obat-obatan seadanya. Terus, waktu aku dan Pras sedang kasih obat luka ke orang, tiba-tiba ada peringatan kami disuruh lari. Ada banyak isilop ngejar sambil ngangkat pentungan. Sambil bantu orang yang kami obatin lari, Pras kesungkur, jadinya orang yang dia tolong di alihkan ke orang yang lain.
"Aku minta tolong orang juga untuk bawa orang yang lagi aku bawa. Lutut Pras berdarah, aku mau nyamperin tapi untungnya ada yang nolongin dia duluan. Kami lari sambil ngehindar dari gas air mata, mata tuh jadi pedih banget! Sudah jauh kami lari, kami lihat orang-orang pada berteriak histeris. Ada dua mahasiswa bantu satu orang mahasiswa yang babak belur dengan ngerangkul gitu, sampai mata kanan dia tuh susah di buka. Aku titip Pras sebentar ke orang yang lagi bantu ngobatin dia, aku pergi nyamperin mahasiswa yang buat banyak orang histeris itu. Selain babak belur, kuping kanannya robek, aduh!"
Senja dan Sita tersentak mendengar cerita yang terdengar lebih seram dari cerita hantu. Ngilu! Dan ketahuilah, hal ini betulan terjadi.
"Pras mungkin sebelumnya di belakang kena gebuk isilop, aku kurang merhatiin. Waktu sore, aku dan dia bantu banyak orang lagi untuk diobati, tapi lagi-lagi kena kejar, aku dan Pras ke pisah, ketemunya agak malam, kami sama-sama kena pentung, di gebukin, tapi bedanya Pras sudah babak belur parah. Aku dan yang lain bantu Pras dan beberapa orang yang sama terlukanya ke rumah sakit terdekat. kalian tahu? Disana kami juga kesulitan. beres bawa mereka yang cedera ke UGD, sudah lama nunggu, kami kayak..... di abaikan? kayak enggak di anggep, paham enggak sih. Baru pas diurusi lagi, baru akhirnya mereka di obati, di rontgen sama dokter yang tadi sempat acuh."
"Pras sekarang dimana?" Sita bertanya yang diangguki oleh Senja.
"Sudah di rumahnya." Jawab Ranum.
Senja dan Sita bernapas lega. Tidak terasa waktu sudah menyisakan setengah jam lagi untuk mereka masuk ke kelas ke dua. Mereka mulai tidak bersemangat masuk kelas, rasanya ingin pergi melihat keadaan luar dan keadaan Pras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viva La Vida
Krótkie OpowiadaniaSenja, tidak mirip seperti keindahan semesta yang mempersilahkan langit berubah oranye, memanjakan mata, melahirkan puisi-puisi indah. Menjadi dia adalah realitas, menjalin rasa suka, persahabatan, seorang anak, seorang jati diri yang dicari tak ber...