Pras duduk menghadap sebuah jalan kecil yang menjadi tempat para mobil melewati tiap ruko yang menyajikan berbagai macam kuliner. Biasanya kalau sedang disini, Pras selalu bersama Senja dan Sita. Kali ini, Pras tidak memberitahu ke dua kawan perempuan untuk pergi ke tempat ini. Hanya ada Ranum yang sedang merokok juga, duduk di sebelah kanan.
"Kenapa kok Senja sama Sita enggak di ajak?" Ranum bertanya setelah menghembuskan asap dari lubang hidugnya.
Pras masih menatap jalan. Satu mobil, dua mobil, tiga mobil, empat mobil..... seterusnya, lalu lalang mencari tempat parkir. Pohon melindungi tempat ini, berjarak di tepi jalan raya depan. Penampakan perumahan elit berjejer rapih, terhalang pandang oleh pagar pembatas antar luar dan dalam perumahan.
"Ngapain." Pras menjawab tanpa memberi tanda tanya. Terdengar datar. Satu hembusan asap kembali melambai pada udara. "Toh tadi Senja sama Sita langsung cabut waktu kelas selesai."
"Ya kan bisa di ajak? Di telepon, misalnya." Ranum kemudian menghirup kembali rokoknya.
Pras mematikan rokok miliknya yang sudah pendek. Lelaki itu melanjutkan sebatang rokok yang baru. Satu tarikan menarik asap dilakukan lagi, setelah dihembuskan baru Pras menjawab. "Pasti mereka mau ketemu Alam di Pasar."
"Oh.... iya sih, mereka mulai sering di datangin Alam."
Pras tertawa lirih. "Ya biarin."
Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.
Tak apa, semua akan cemburu pada masing-masing posisi. Cemburu orang yang disukai suka dengan orang lain, cemburu dengan sahabat yang punya sahabat baru. Pras merasakan keduanya.
"Kamu cemburu? Toh Senja lagi nyicil supaya lebih dekat sama cita-citanya." Ranum menghela napas. Kali ini, ia tidak mempermasalahkan sesuatu dengan besar. Seperti itu lah Ranum.
Pras menatap malas pada Ranum yang sedang menyalakan rokok baru. "Kamu tuh lelaki macam apa, sih? Gak pekaan banget! Aku tuh suka sama Senja."
"Jangan." Ranum langsung menjawab, menimbulkan rasa kecewa dan heran oleh Pras yang kali ini lupa pada sebatang rokoknya yang masih menyala, bahwa rokok adalah uang, yang sedang terbakar dan jika tak di hisap, maka akan sia-sia. "Kamu baru tiga bulan yang lalu putus, masa sudah suka sama Senja?"
"Jadi kamu pikir aku membuat Senja sebagai pelampiasan?"
"Enggak. Cuma.... jangan dulu."
"Atau kamu suka Senja?"
"Aku lebih suka bersahabat sama dia."
Mereka berdua saling melirik. Kemudian, Pras kembali menatap depan, memperhatikan anak-anak sekolah menengah atas yang baru sampai dan akan masuk ke kafe yang sedang Pras dan Ranum kunjungi. "Kalau aku lihat, Alam suka sama Senja." Pras berucap pelan.
Ranum tertawa kecil. "Sudah lah! Udah mulai pusing. Kebanyakan rokok." Dan sejujurnya, Ranum tidak begitu tahu apakah Alam menyukai Senja atau tidak. Toh Ranum baru sekali melihat Alam di Pasar, dan ia tidak begitu menganalisa kedekatan antara Senja dan Alam, maupun atas beberapa cerita yang Senja ceritakan soal teman barunya yang bernama Alam itu. "Jadi ini bukan soal persahabatan lagi, tapi soal cinta?"
"Pras, gak salah, kan?" Pras bertanya, menatap Ranum dengan tatapan berharap. Berharap mendengar jawaban yang ingin ia dengar, supaya hatinya merasa lega.
"Enggak, toh cewek sama cowok memang besar kemungkinan akan ada yang suka." Ranum berucap benar. Jadi, inilah tujuan Pras hanya mengajak Ranum keluar. Ranum yang tengil, ogah-ogahan, sibuk dengan dirinya sendiri dan menyisihkan sedikit waktu soal percintaan, membuat dirinya benar-benar hidup di realita. Bahkan Ranum lebih suka menyibukkan dirinya pada kesempatan yang membuat dirinya semakin berkembang. Ia juga punya cita-cita besar.
***
"Datang, ya. Kalian berdua." Alam berucap dengan ekspresi kelihatan sangat senang. Sanga senang. Akhirnya ia dapat menyampaikan hari-hari yang telah lama dinanti. Akan ada pesta pembuka sebelum mulai merekam banyak adegan film.
Senja juga terlihat senang, begitupun dengan Sita. Ia tidak bisa membayangkan apa yang selama ini dilakukan di belakang layar, membuat sebuah film, dan bertemu artis yang belakangan Sita sukai. Senja tahu ada satu artis perempuan yang Sita suka, dan ia begitu peka dengan rasa senang dari ekspresi Sita.
Alam sudah harus pergi. Mereka hanya bertemu sepuluh menit.
Waktu berpisah dengan Alam, Sita yang kelihatan lebih senang. Ia terus memeluk Senja dan mengatakan, "Aku tidak sabar bertemu artis kesukaan ku! Astaga! Bolehkah aku meminta foto? Atau tanda tangan yang nanti bakal aku laminating dan ku pajang di samping piagam kebanggaan ku?"
Senja tertawa, terus menepuk pundak Sita yang masih memeluknya sambil melompat kecil. "Paling tidak kalian pasti akan bersalaman, Sita."
"Dan aku tidak akan pernah cuci tangan! Ingat itu!"
"Ew!"
Sita melepas peluk, menatap Senja dengan sebal. "Kok, ew?"
"Sekalian tangan mu tuh dilaminating!" Kemudian Senja tertawa lagi.
Bersama-sama, mereka pulang ke rumah. Sampai di rumah, Senja mengantar Sita sampai ke rumah. Motor milik Senja terparkir di depan pagar kayu yang tingginya hanya setengah badan mereka. Ada sebuah mobil terparkir di pekarangan rumah Sita, mobil yang tidak pernah mereka berdua kenali. Sama-sama mereka meneliti dalam rumah dari luar, tapi tamu yang datang tidak terlihat.
Senja dan Sita berjalan bersama, masuk ke dalam rumah.
Ketika ibu menampakkan diri dari bilik dapur, ia tersenyum dan Senja berucap akan pulang. Ibu menawarkan untuk makan bersama dahulu, tetapi Senja terpaksa menolak karena dari pagi belum membereskan rumah.
"Yasudah nanti habis mandi aku ke rumah mu ya, Senja?"
"Harus."
Ketika akan berbalik badan, dan Sita terdengar sudah masuk ke kamar setelah berlarian kecil, Senja menatap seorang lelaki bertubuh tegap tengah berjalan ke ruang tamu. Mata Senja mendelik. Kepada lelaki itu, Senja tersenyum seadanya, menyapa dengan sopan. Seorang anak kecil sekiranya berusia enam tahun menghampiri lelaki tegap itu, berkata. "Bapak."
Itu adalah lelaki yang pernah Senja lihat di album keluarga milik Dersik Sita Kalis. Kalis adalah nama ibu. Tak ada Akarim, ayah Sita yang selama ini menghilang dari darah Sita. Apakah Sita menyadari kehadiran Karim dengan seorang putra baru? Apakah ibu baik-baik saja? Sebelum pergi, Senja kembali menatap ke arah dapur, tapi ibu tak terlihat. Senja ingin memastikan apa yang ibu rasakan saat ini.
Senja tidak pulang, ia memilih berlari ke arah jendela luar kamar Sita. Ia terus mengetuk-ngetuk kaca jendela, dan Sita membukanya dengan sebal.
"Kamu sudah lihat tamu yang datang?"
Sita menggeleng lugu. "Siapa memang? Kamu sudah lihat?"
Senja menghela napas berat. "Kalau bisa, cepatlah mandi, dan datang ke rumah ku."
Sita segera keluar. Tapi baru sampai di pintu kamar, handuk yang ia genggam jatuh ke atas lantai. Senja masih diam, memperhatikan Sita yang mematung dari luar jendela.
Ah, Sita.
"Atau, kamu mau mandi di rumah ku?"
Sita tidak menjawab. Seakan tersadar karena muncul suara Senja, Sita pergi ke dapur dan entah berbisik apa disana kepada ibu. Palingan begitu, Senja menebak, dan memang benar itu lah yang Sita lakukan disana.
Senja masih menunggu. Masih terus menunggu. Ia khawatir dan akan terus merespon semua kabar dari Sita. Matanya tak henti-henti menatap ke dalam kamar, mencoba menyelip pandangan dari luar pintu kamar Sita.
Suara dari arah ruang tengah, seorang yang disebut Bapak memanggil Sita tuk duduk di dekatnya. Senja mengintip, tetapi tak bisa berlama-lama, dan tak terlalu jelas terlihat juga. Lalu, Senja menunggu, berdiri mondar-mandir di pekarangan rumah, menatap jejeran tanaman ibu yang terlihat segar.
"Adik mu, Bahir Akarim."
****
Bagian dua belas, selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viva La Vida
Krótkie OpowiadaniaSenja, tidak mirip seperti keindahan semesta yang mempersilahkan langit berubah oranye, memanjakan mata, melahirkan puisi-puisi indah. Menjadi dia adalah realitas, menjalin rasa suka, persahabatan, seorang anak, seorang jati diri yang dicari tak ber...