Bab 10

145 30 1
                                    

Abi ditanamkan menjadi lelaki sejati sejak dini. Ia hidup di tempat oang lain sulit menyesuaikan diri, menjalani kegiatan yang seharusnya bocah tak lakukan ketika uluran tangan sang kakek hadir, Abi kira ia akan menemukan surga atau suatu kelegaan lalu lepas dari baying-bayang kemlaratan tapi Darsa tidak membiarkan tubuh kecilnya untuk bernafas dengan leluasa. Abi sudah biasa diperlakukan sebagai manusia tak kasat mata atau pewaris cadangan.

Entah sejak kapan ia menjadi keras pada dirinya sendiri. Ia selalu menganggap bahwa usaha tak pernah mengkhianati hasil. Ia lebih keras bekerja dari pada orang lain. Abi mau membuktikan bahwa hidup di mulai dari titik minus sekalipun akan dapat memperoleh keberhasilan. Sayangnya setelah ia memimpin perusahaan, sang kakek tak mau melepas bahkan selalu membayangi langkahnya.

“Kenapa kakek ingin mengajakku bertemu?”

Darsa memegang erat tongkat. Ia masih sangat tampan walau kini usianya memasuki angka tujuh puluh tahun, rambutnya sudah memutih hampir keseluruhan namun watak kerasnya tak berkurang sedikit pun. “kamu sebaiknya tidak mengurusi lahan jati itu lagi. Banyak hal yang mesti kita lakukan lebih konsentrasilah pada pabrik kosmetik yang kita rintis.”

Ini sesuatu yang sangat jauh dengan yang Abi inginkan. Ia tidak tahu banyak tentang kosmetik dan produk itu banyak mengalami kendala dalam beberapa aspek terutama keamanan pengguna.

“Aku sudah bilang suruh orang lain mengurusi bagian itu. Kalina mungkin bisa melakukannya.”

“Bisa jika kalian sudah menikah. Aku menunggu hal itu. Kalina bisa menjalankan usaha sekaligus menjadi brand ambasador. Produk akan terkenal karena otomatis melekat pada sosok Kalina. Satu dua pulau sekali dayung terlampaui.”

Ini terasa menyenangkan di mata Abi beberapa minggu lalu tapi tidak untuk saat ini. Kalina bisa menyibukkan diri dengan produk kosmetik, promosi dan acara sosialita sedang Abi bisa mengalihkan perhatian kakeknya ke hal-hal yang lebih menguntungkan.

“Kami akan menikah secepatnya setelah Kalina setuju.”

Darsa langsung tertawa, “Itu baru cucuku yang pintar.” Kata cucu ibarat sebuah kata keramat yang baru Abi dapat, karena pengakuan ini Abi siap menggadaikan segalanya termasuk perasaannya sendiri. “Agar Kalina setuju. Baik-baiklah padanya, sering-sering memberi kejutan. Wanita suka sekali diberi hadiah. Almarhum nenekmu juga begitu.”

Dan bila sang nenek masih hidup. Wanita itu tidak akan mengijinkan Abi berada di sini. Duduk sebagai pewaris tunggal. Wanita mana yang mau diduakan. Walau Abi nanti tidak mencuintai sang istri tapi ia menjunjung tinggi kesetiaan.

“Apa kakek mengijinkan mengunjungi perkebunan jati yang ku rintis itu?”

Darsa bergumam lalu memilih minum teh untuk menjernikan pikiran. “Ku kira kamu mau mengesampingkan kebun tidak berguna itu. Aku mendapatkan surat bahwa sebagian lahannya akan digali untuk restorasi candi atau apalah. Sesuatu yang berhubungan dengan sejarah. Mereka meminta ijin perusahaan.”

“Kakek menginjinkannya?”

“Belum ku putuskan. Sebenarnya bisa saja aku beri ijin. Mereka menggali juga hanya sebagian kecil lahan.”
Walau sebagian kecil tapi itu sangat berarti untuk Abi. Abi menanam varietas jati unggulan di sana. Ide yang pernah ayahnya cita-citakan.

“Aku tidak mengijinkannya. Lahan itu sudah kakek janjikan ketika aku setuju untuk ikut kakek.”

“Iya memang tapi sayangnya lahan itu belum berpindah nama.”

“Kakek tak berniat untuk ingkar janji kan?”

“Tidak kecuali kamu juga berubah pikiran,” jawab Darsa yang sarat dengan nada mengancam. Abi dulu boleh seorang anak kecil yang tidak memiliki pilihan. Sekarang ia sudah dewasa dan memiliki kuasa. Tinggal ia sabar saja menunggu sang kakek untuk menemui ajalnya.

Ini aku, bukan diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang