yh

68 7 0
                                        

"Pakai dasi yang rapi kalau mau jadi asistennya Pak Yunho," suara San terdengar sarkastik dari meja resepsionis. Tangannya sibuk mengetik sambil matanya sesekali melirik pria yang berdiri kaku di depannya.

Pria itu, yang belakangan diketahui bernama Seonghwa, terlihat ragu-ragu memeriksa pantulan dirinya di layar lift. "Rapi, kok. Gak ada yang salah dengan dasi kupu-kupu, kan?" tanyanya lirih.

San hanya mendengus, menggigit senyum di bibirnya. "Nanti kamu paham kenapa aku ngomong begitu. Dia itu perfeksionis. Dan sedikit... aneh. Tapi ya, semoga berhasil!"

Pintu lift terbuka, membawa Seonghwa menuju lantai yang terasa lebih seperti penthouse daripada kantor. Aroma kopi mahal dan lantai berkarpet tebal menyambutnya sebelum ia mengetuk pintu dengan tulisan berlapis emas: Jung Yunho – CEO.

"Masuk," terdengar suara berat dari dalam, jelas dan tegas.

Seonghwa mendorong pintu dengan hati-hati. Seorang pria berdiri di balik meja kaca besar, mengenakan jas yang tampaknya dijahit dengan cinta dan uang dalam jumlah yang tak terbatas. Yunho mendongak dari dokumen-dokumennya, memperhatikan Seonghwa dari ujung rambut hingga ujung sepatu dengan ekspresi penuh pertimbangan.

"Dasi kupu-kupu? Berani sekali," komentar Yunho tanpa basa-basi, sudut bibirnya sedikit melengkung, antara ejekan dan hiburan.

Seonghwa terkesiap. "Maaf, saya pikir—"

"Tenang saja," potong Yunho sambil berjalan mendekat, kancing jasnya berkilauan di bawah cahaya lampu. "Aku suka orang yang berani beda. Tapi hati-hati, di sini, perbedaan bisa jadi pedang bermata dua."

Seonghwa mengangguk kaku, mencoba menguasai napasnya yang tiba-tiba terasa berat. "Saya siap bekerja keras, Pak."

Yunho mendekat, terlalu dekat. "Kita lihat saja nanti," bisiknya, matanya menelusuri Seonghwa seperti sedang menilai seni mahal di galeri pribadi.

Hari-hari pertama berjalan seperti mimpi buruk yang tertutupi dengan polesan kecanggihan. Yunho adalah atasan yang sulit ditebak—satu menit ia memuji presentasi Seonghwa, menit berikutnya ia mengkritik pilihan font di laporan yang sama. Tapi yang lebih mengganggu Seonghwa adalah caranya Yunho memandang. Bukan seperti bos menatap bawahan, melainkan seperti predator memandangi mangsa.

Ketika kantor mulai lengang, Seonghwa duduk di mejanya, mencoba memahami catatan kecil Yunho di pinggiran dokumen: "Lebih berani, jangan hanya bermain aman." Apa maksudnya? Seonghwa menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan lelah.

"Masih di sini?" suara Yunho tiba-tiba terdengar di belakangnya.

Seonghwa melompat kecil, hampir menjatuhkan dokumen dari meja. "Pak! Eh, maksud saya, Yunho... Anda juga belum pulang?"

Yunho melirik jam tangannya. "Ini kan bisnis keluarga. Pulang terlalu cepat itu namanya malas. Kamu juga sama, ya? Rajin sekali."

Seonghwa hanya tersenyum kecil, merasa ada yang aneh dalam intonasi Yunho. "Saya hanya ingin memastikan semua beres."

Yunho tertawa pelan, nada rendahnya membuat Seonghwa menggigil. "Bagus. Tapi kadang-kadang, pekerjaan terbaik terjadi bukan di atas meja kerja."

Seonghwa tidak yakin bagaimana harus merespons itu. Tapi sebelum ia sempat berpikir, Yunho berjalan mendekat, menyingkirkan kursi di sebelah Seonghwa dan duduk di atas meja. Kemejanya sedikit terbuka, memperlihatkan kulit yang tampak terlalu sempurna untuk pria yang hidupnya dihabiskan di kantor.

"Hwa, ada sesuatu yang menarik darimu," katanya sambil menyilangkan kaki, tubuhnya condong ke arah Seonghwa.

"Apa itu?" Seonghwa mencoba terdengar tenang, tapi jantungnya berpacu.

Yunho menyeringai kecil, menggantungkan kalimatnya seperti menggantungkan mangsa di ujung kail. "Ada dua tipe orang di dunia ini: mereka yang selalu mengikuti aturan, dan mereka yang tahu kapan melanggar aturan itu."

"Dan Anda menganggap saya tipe yang mana?"

Yunho mengangkat alisnya. "Kamu masih di fase mencoba mencari tahu. Tapi aku penasaran, apakah kamu berani keluar dari zona nyamanmu?"

Seonghwa menelan ludah, tiba-tiba ruangan terasa terlalu sempit. "Saya terbuka untuk belajar, jika itu yang Anda maksud."

"Belajar, ya?" Yunho berdiri, mendekat lebih lagi sampai Seonghwa bisa mencium aroma kayu manis dan musk dari parfum mahalnya. "Bagaimana kalau kita mulai sekarang?"

Lampu-lampu kota berkilauan di luar jendela besar ruangan Yunho. Mereka duduk berhadapan di sofa empuk, dengan segelas wine yang tiba entah dari mana di tangan masing-masing. Pembicaraan awal tentang pekerjaan perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Yunho bicara tentang bagaimana ia dibesarkan di keluarga yang terlalu sibuk mengejar kesempurnaan. Seonghwa mengangguk, menceritakan bagaimana ia sering merasa harus membuktikan dirinya layak dihargai.

Ada jeda di antara mereka. Lalu Yunho menggeser posisinya, mendekatkan tubuhnya ke arah Seonghwa.

"Aku tidak pernah mempekerjakan seseorang tanpa alasan," bisiknya, suaranya rendah dan penuh misteri. "Dan alasanku mempekerjakanmu lebih dari sekadar kemampuanmu mengetik cepat."

Seonghwa menatap Yunho, mencoba mencari tahu maksud di balik kata-katanya. "Apa maksudmu?"

"Maksudku," Yunho mendekat lagi, hingga jarak mereka tinggal beberapa inci. "Aku ingin tahu, apakah kamu berani melangkah lebih jauh dari sekadar rekan kerja."

Ketegangan di udara terasa hampir seperti sengatan listrik. Seonghwa merasa jantungnya berdetak begitu keras, ia takut Yunho bisa mendengarnya. Tapi entah dari mana keberaniannya muncul, ia berkata, "Aku pikir aku tahu apa yang kau maksud."

Yunho tersenyum kecil, lalu tanpa peringatan lagi, ia memiringkan wajahnya dan mencium Seonghwa. Ciuman itu dimulai dengan lembut, hampir seperti ujian. Tapi saat Seonghwa membalas, semua berubah. Tangan Yunho terangkat, membelai rahang Seonghwa, sementara tangan Seonghwa perlahan meraih punggung Yunho, menariknya lebih dekat.

Kantor yang biasanya penuh formalitas menjadi saksi bisu dari sebuah keintiman yang melampaui batas profesionalisme. Mereka menyerah pada keinginan yang sudah lama terpendam, saling merasakan dan menyentuh seperti dua orang yang telah lama menahan diri.

Saat pagi menjelang, sinar matahari menerobos melalui jendela besar, menerangi tubuh mereka yang masih terbaring di sofa. Yunho membuka matanya lebih dulu, menatap Seonghwa yang tertidur di sampingnya dengan senyuman kecil di bibirnya.

"Kamu benar-benar tipe yang tahu kapan melanggar aturan," bisiknya, sebelum mengecup dahi Seonghwa dengan lembut.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang