dpr ian

106 5 1
                                    

Requested by Chuun1_u

.

.

.

.

“Lu serius banget ngeliatin tuh list schedule? Emangnya penting banget?”

Seonghwa duduk selonjoran di tangga ruang bawah tanah gereja, tangan kanan menggenggam botol air mineral yang udah setengah kosong. Di hadapannya, ada Hongjoong, si kapten tim dance, yang lagi ngacak-ngacak isi tasnya sambil ngerengek.

“Gue kan udah bilang dari awal, jadwal latihan tuh sakral. Kalau berantakan begini, mau jadi apa dance kita nanti, huh?” Hongjoong menjawab sambil meraih selembar kertas yang udah lecek. “Nih, lihat. Harusnya ini ruang kita.”

Seonghwa ngedongak malas. “Ya udah, terus gue harus tepuk tangan atau gimana? Ruangannya udah ditempati, kan?”

“Masalahnya bukan itu, tolol. Kita nggak punya tempat buat latihan sekarang!” Hongjoong hampir teriak, tapi keburu sadar ada Pastor Kim yang lagi jalan mendekat.

“Anak-anak,” Pastor Kim buka suara dengan nada yang terlalu lembut untuk situasi se-kacau ini. “Saya minta maaf. Memang ada miskomunikasi jadwal. Tapi, aula di atas bisa dipakai, asal kalian nggak keberatan sama kondisi berantakan di sana.”

“Berantakan kayak gimana, nih?” Hongjoong mengerutkan kening, jelas nggak percaya.

“Ehm... banyak meja, kue-kue, dekorasi. Yah, semacam zona perang, tapi versi lebih manis.”

Seonghwa hampir ketawa dengar deskripsi itu, tapi dia tahan. Hongjoong tampak nggak punya pilihan, dan akhirnya mereka semua setuju buat bantuin beresin aula biar bisa latihan.

Di aula, suasananya persis kayak yang Pastor Kim bilang—chaos. Tumpukan kue di sana-sini, balon yang nggak ada konsep, bahkan ada kardus yang ngehalangin akses ke meja utama.

Seonghwa baru mau mulai mindahin meja waktu suara berat dari belakang bikin dia berhenti. “Bro, lu kayaknya nggak biasa kerja kasar, ya?”

Dia nengok dan ngeliat cowok jangkung dengan senyum menyebalkan. Rambutnya agak acak-acakan, tapi tetep terlihat rapi. Dan matanya? Matanya kayak bisa baca isi kepala orang.

“Gue Christian. Panggil aja Ian.” Cowok itu nyodorin tangan.

Seonghwa nggak langsung respon. Dia menatap tangan itu beberapa detik sebelum akhirnya nyambut. “Seonghwa.”

“Seonghwa, ya? Nama lu kayak nama panggung. Lu dancer, ya?”

“Iya. Tapi jangan mikir gue kayak di drama-drama Korea yang melo itu, ya. Realitanya lebih bau keringet dan cedera kaki.”

Ian ketawa. “Bagus juga. Setidaknya lu jujur.”

Mereka lanjut ngobrol sambil beres-beres. Anehnya, obrolan sama Ian tuh ngalir banget. Mulai dari bahas makanan favorit, tim bola yang mereka dukung, sampe topik aneh soal kenapa orang-orang nggak pernah mikirin sisi psikologis ayam sebelum dimasukin ke oven.

“Tunggu,” Seonghwa akhirnya nggak tahan buat nanya. “Lu ini jemaat gereja, kan? Kok lu bisa senyantai ini?”

Ian mengangkat bahu. “Siapa bilang jemaat nggak boleh santai? Gue juga manusia, cuy. Percaya sama Tuhan itu bukan berarti nggak boleh becanda, kan?”

Waktu bazar kue dimulai, Seonghwa ngerasa kayak lagi main game level expert. Dia harus bantu ngejaga booth yang jual cupcake sambil ngadepin emak-emak cerewet yang ngedebat harga per biji. Tapi di tengah kekacauan itu, Ian selalu ada di dekatnya, bikin suasana lebih gampang dihadapi.

“Eh, lu yakin cupcake ini halal?” tanya seorang ibu dengan nada curiga.

Seonghwa kebingungan. “Ehm, menurut saya sih iya, Bu. Kan ini gereja...”

Ian nyelip dengan cepat, nyodorin senyum paling ramah yang dia punya. “Tenang aja, Bu. Kue ini bahkan disucikan sama doa. Kalau nggak percaya, nanti saya coba dulu.”

Ibu itu akhirnya beli tiga cupcake dan pergi sambil senyum-senyum. Seonghwa menggeleng tak percaya. “Lu kayak punya skill buat ngehipnotis orang, ya?”

Ian cengengesan. “Namanya juga talenta.”

Setelah acara selesai, Seonghwa duduk sendirian di salah satu bangku gereja. Dia lagi merenung soal betapa anehnya hari ini waktu Ian tiba-tiba duduk di sampingnya.

“Lu suka, kan, sama hari ini?” Ian memulai.

“Suka? Gue capek, Ian. Tapi entah kenapa, gue juga ngerasa puas.”

Ian tersenyum, dan Seonghwa ngerasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya.

“Seonghwa,” Ian ngomong lagi, kali ini dengan nada lebih serius. “Gue tahu lu nggak terlalu deket sama hal-hal kayak gini. Tapi inget, yang penting itu bukan bangunan atau aturan. Yang penting itu apa yang lu rasain di hati.”

Seonghwa menatap Ian dengan bingung. “Kenapa lu selalu ngomong kayak pendeta part time?”

Ian ketawa keras. “Hah! Itu karena gue terlalu sering denger Pastor Kim ceramah.”

Mereka berdua ketawa bersama, Seonghwa nggak merasa canggung duduk di gereja.

Hari-hari berikutnya, Seonghwa makin sering ketemu Ian. Kadang Ian ngasih alasan aneh kayak ngajak diskusi soal apakah dinosaurus bisa masuk surga, atau cuma mampir buat ngasih tahu ada promo kopi murah di warung dekat gereja.

Tapi lama-lama, alasan itu nggak penting lagi. Mereka udah ngerti bahwa mereka cuma pengen saling ketemu.

“Eh, lu sibuk nggak Jumat malem?” tanya Ian suatu sore.

“Kalau gue bilang sibuk, lu bakal maksa gue buat batalin, kan?”

Ian nyengir. “Fix, lu kenal gue terlalu baik. Ayo, kita makan di tempat yang gue jamin lu bakal suka.”

Makan malam itu jadi titik balik. Ian milih restoran kecil dengan lampu remang-remang yang bikin suasana jadi intim banget. Mereka ngobrol banyak hal, mulai dari pengalaman masa kecil sampe hal-hal konyol yang bikin mereka ketawa sampe perut sakit.

Saat mereka jalan keluar restoran, Ian tiba-tiba berhenti di bawah pohon besar yang dihiasi lampu gantung.

“Seonghwa,” Ian mulai dengan nada pelan, “Gue nggak tahu gimana ngomongnya tanpa terdengar norak, tapi gue harus jujur.”

Seonghwa mengangkat alis. “Jujur soal apa?”

“Soal gimana gue ngerasa setiap kali ada lu di dekat gue. Lu bikin hari-hari gue lebih berarti, lebih... hidup.”

Seonghwa nggak bisa ngomong apa-apa. Dia cuma ngeliatin Ian, ngerasain kejujuran yang terpancar dari setiap kata-katanya.

Ian mendekat, jarak di antara mereka cuma beberapa sentimeter sekarang. “Gue suka sama lu, Hwa. Lebih dari teman, lebih dari apa pun yang pernah gue rasain sebelumnya.”

Seonghwa merasa seluruh dunia berhenti. Dan sebelum dia sempat mikir terlalu lama, Ian udah ngecup bibirnya dengan lembut.

Ciuman itu nggak cuma hangat, tapi juga penuh emosi—perasaan yang selama ini mereka pendam akhirnya terungkap. Seonghwa balas ciuman itu, membiarkan dirinya larut dalam momen yang nggak pernah dia bayangin bakal terjadi.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang