mg

43 4 0
                                    

"Serius banget ngeliatin gue dari tadi. Gue punya utang apa sih?" Mingi ngelepas snack dari mulutnya sambil melirik malas ke arah cowok di ujung sofa.

"Malem ini rasanya aneh," jawab Seonghwa, tatapan matanya nggak lepas dari Mingi. Ada sesuatu di sana—campuran rasa gugup dan niat yang susah ditebak.

Mingi mendengus, nyender ke sofa reot mereka. "Aneh kenapa? Jangan bilang lu tiba-tiba ngerasa ada alien nongkrong di balkon."

"Bukan alien, bego." Seonghwa mengusap tengkuknya, gugup. "Gue cuma... ngerasa ada sesuatu yang beda di antara kita."

Mingi mengangkat alis, ngebanting bungkus snack kosong ke meja. "Sesuatu kayak apa? Gue nggak ngerti alur omongan lu."

Seonghwa diam sebentar, tapi Mingi nggak bisa nggak ngeh kalau cowok itu mulai nginjek gas ke zona aneh. "Kayaknya gue harus ngomong, Gi. Kalau nggak, gue bakal ngerasa ini ngegantung terus."

Mingi melipat tangan di dada, mukanya setengah cuek tapi matanya nyimak. "Yaudah ngomong, gue dengerin. Tapi kalo ujung-ujungnya curhat soal nilai tes atau gosip anak kantor sebelah, mending gue tidur."

"Gue suka sama lo."

Kalimat itu meluncur kayak peluru. Mingi langsung duduk tegak, matanya ngebelalak. "Lu bercanda, kan? Ini prank? Mana kamera?"

"Lu pikir gue bercanda?" Seonghwa membalas serius, mukanya lebih tenang dari yang Mingi harapkan. "Gue nggak tau apa yang bikin gue tahan sama lo, tapi gue nggak bisa lagi pura-pura nggak ngerasain ini."

Mingi ngerasa kepalanya mulai panas. "Suka gimana maksud lo? Ini serius, Hwa? Jangan main-main!"

Seonghwa menggigit bibir, menghindari tatapan Mingi. "Gue nggak main-main. Gue suka sama lo. Udah lama. Tapi gue tahu lo nggak mungkin ngerasain hal yang sama."

"Ya iyalah gue nggak ngerti! Kita ini cowok, Seonghwa!" Mingi bangkit, muter-muter di depan sofa kayak singa di kandang. "Lu sadar nggak sih ini gila? Kita sahabatan. Ini... aneh banget!"

"Tapi emang kenapa?" Seonghwa berdiri juga, meski jelas-jelas ada keraguan di langkahnya. "Kenapa nggak boleh? Apa karena kita cowok? Apa karena kita sahabat? Kalau gue nggak ngomong sekarang, gue bakal nyesel."

Mingi berhenti muter, tatapan tajamnya nancep langsung ke Seonghwa. "Lu sadar nggak, kalau lu ngomong kayak gini, semuanya berubah? Gue nggak tau harus nanggepin gimana."

"Terserah lo," jawab Seonghwa pelan. "Gue cuma mau jujur. Kalau lo nggak bisa nerima, nggak apa-apa. Gue yang bakal mundur."

Mingi mendekat, jaraknya nggak lebih dari satu langkah. "Jadi gitu? Lo lempar bom terus kabur? Nggak gitu cara mainnya, Hwa."

"Terus gue harus gimana? Gue udah ngomong. Apa yang lo mau dari gue?" Suara Seonghwa naik satu oktaf, tapi tubuhnya jelas gemetar.

Mingi nggak banyak omong lagi. Tangannya langsung nahan bahu Seonghwa, nggak terlalu keras, tapi cukup buat bikin cowok itu kaget. "Kalau lo berani ngomong kayak tadi, lo harus tahan konsekuensinya. Jangan cuma ngomong, terus berharap gue santai-santai aja."

Seonghwa menelan ludah, ngerasa kayak rusa di depan singa. "Maksud lo apa?"

"Maksud gue..." Mingi bungkuk sedikit, bikin wajah mereka sejajar. "Gue nggak bakal kabur dari ini. Tapi gue juga nggak bakal bikin lo gampang."

Sebelum Seonghwa sempet mikir lebih jauh, Mingi narik pinggangnya, nyeret cowok itu lebih deket. Ciumannya nggak lembut sama sekali, tapi penuh kontrol. Seonghwa ngerasa lututnya lemes, tapi Mingi nggak ngasih dia kesempatan buat mundur.

"Gi ..." Seonghwa berusaha ngomong, tapi napasnya udah nggak karuan.

"Diam," bisik Mingi, nada suaranya rendah tapi tegas. "Lu yang mulai ini, kan? Jadi sekarang lu ikut aturan gue."

Satu jam kemudian, sofa reot mereka berubah jadi tempat perang. Bantal berantakan, selimut entah dari mana tiba-tiba nongol, dan Seonghwa udah nggak bisa mikir apa-apa lagi selain nahan napas setiap kali Mingi menyentuhnya.

"Gue—"

"Ssst." Mingi ngehentikan Seonghwa lagi, jarinya nempel di bibir cowok itu. "Gue bilang, diem. Gue nggak suka kalau ada yang motong omongan gue."

Seonghwa cuma bisa nurut, meskipun seluruh tubuhnya protes keras. Mingi senyum kecil, jelas-jelas puas ngeliat ekspresi panik di wajah Seonghwa.

"Lo tuh terlalu manis buat gue, Hwa," kata Mingi akhirnya, suaranya lebih pelan tapi tetep dominan. "Dan gue nggak bakal ngelepas lo sekarang."

Paginya, Seonghwa bangun dengan badan pegel-pegel di sofa. Tapi anehnya, dia nggak ngerasa menyesal. Mingi duduk di ujung sofa, ngopi sambil ngelirik cowok itu dengan senyum setengah sombong.

"Lo bangun juga, ya? Gue kira lo bakal pingsan selamanya," ledek Mingi.

Seonghwa cuma bisa ngulet sambil ngerasa pipinya panas. "Lo gila. Bener-bener gila."

Mingi ngebales dengan tatapan tajam yang bikin Seonghwa nggak bisa ngomong lagi.

Di balik semua rasa aneh dan rasa sakit di pinggangnya, Seonghwa nggak akan pernah nyesel.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang