yh

59 5 0
                                    

“Lu tuh kayak nggak capek-capek ya?” Yunho mendudukkan dirinya di pinggir kasur sambil melipat tangan di dada, memperhatikan Seonghwa yang jongkok di lantai dengan kain pel di tangan. “Ini kamar apa museum? Sampai lantainya aja lu elus-elus gitu.”

Seonghwa menoleh dengan alis sedikit terangkat, tapi tangannya tetap sibuk menggosok lantai. “Kamar bersih tuh bikin gue lebih tenang, Yun. Lagian, daripada lu nyinyir di sana, mending bantuin gue.”

Yunho menghela napas panjang, bangkit, lalu berjalan mendekat. Dengan tangan yang terlipat di depan dada, ia berdiri di belakang Seonghwa. “Gue bantuin, lu malah makin perfeksionis. Terus gue diapain coba? Gue dicerewetin doang, nggak dibolehin sentuh apa-apa. Gue nih cowok lu, bukan anak magang.”

Seonghwa menegakkan punggungnya, menoleh dengan tatapan sinis. “Ngelap debu di rak buku itu bukan tugas anak magang. Tapi kalau nggak bisa, bilang aja. Jangan alesan.”

“Lu tuh ya—” Yunho nggak menyelesaikan kalimatnya, cuma menghela napas lagi sambil mengacak rambut. “udah kayak mesin bersihin rumah tiap hari. Kalau sampai lu sakit, gue yang repot.”

“Repot apaan? Gue yang sakit, kok lu yang repot?” Seonghwa mengerutkan kening, tapi kali ini dia berhenti menggosok lantai. Dia menatap Yunho dengan wajah yang terlihat lelah, meski senyum tipis masih berusaha ia pasang.

Yunho jongkok di depan Seonghwa, menyentuh pergelangan tangannya. “Karena gue sayang lu, tolol. Nggak bisa lihat lu ngelakuin semua ini sampai nyiksa diri sendiri.”

Seonghwa mengalihkan pandangan, menarik napas pelan. “Gue cuma nggak bisa tenang kalau semuanya berantakan. Gue ngerasa kayak gue bakal gila kalau ada satu debu aja yang gue lewatin.”

Yunho memiringkan kepala, menatap Seonghwa dengan mata yang melembut. “Lu sadar nggak sih, lu kayak hidup dalam standar yang nggak manusiawi? Kayak… coba pikir, siapa yang ngatur lu harus bersih-bersih kayak gini? Kalau gue? Gue oke-oke aja kok, kamar kita udah kayak iklan pembersih lantai.”

Seonghwa menatap balik Yunho dengan tatapan bingung, lalu mulai bicara lagi, suaranya lebih pelan. “Gue nggak tahu. Gue cuma… ngerasa harus ngelakuin ini. Kalau enggak, gue kayak nggak punya kendali atas hidup gue.”

Yunho mengangguk kecil, lalu berdiri, menarik Seonghwa untuk berdiri juga. Ia menggenggam tangan kekasihnya erat-erat, memberikan sedikit tekanan untuk memastikan perhatian Seonghwa benar-benar padanya. “Dengerin gue. Kalau ada yang bikin lu cemas atau ngerasa nggak berdaya, lu bisa ngomong ke gue. Gue di sini buat bantuin lu, bukan cuma buat diem aja lihat lu capek sendiri.”

Seonghwa menggigit bibir, jelas masih ragu. Tapi Yunho nggak menyerah. Ia membawa tangan Seonghwa ke dadanya, menempelkannya di atas jantungnya. “Lu ngerasain itu? Jantung gue masih berdetak buat lu. Jadi berhenti ngerasa lu harus ngelakuin semuanya sendirian.”

Seonghwa terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menarik napas dalam. “Gue ngerti maksud lu. Mungkin gue emang butuh ngerem dikit.”

“Bagus.” Yunho tersenyum puas. “Sekarang, kita bikin kesepakatan. Gue bantu lu bikin jadwal bersih-bersih, dan gue ikut bantuin. Tapi setelah itu, kita cari cara biar lu bisa lebih santai. Gimana?”

“Santai gimana?” Seonghwa memiringkan kepala curiga.

“Santai kayak di pantai, sayang,” jawab Yunho santai sambil mengedipkan mata. “Atau kalau nggak bisa ke pantai, kita bikin versi ‘pantai’ di sini.”

Seonghwa memutar mata sambil terkekeh kecil. “Oke, oke. Tapi gue serius soal jadwal bersih-bersih itu.”

Beberapa minggu kemudian.

Kamar mereka tetap bersih, tapi kali ini nggak berlebihan seperti sebelumnya. Jadwal bersih-bersih yang Yunho buat ternyata cukup membantu, dan Seonghwa mulai menikmati waktu istirahatnya dengan lebih rileks. Tapi malam itu, Yunho punya rencana lain.

Ketika Seonghwa baru selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, Yunho sedang duduk di sofa dengan ekspresi yang mencurigakan. Ia menyeringai seperti seseorang yang baru saja memenangkan lotre, tapi Seonghwa nggak yakin dia mau tahu kenapa.

“Apaan tuh?” Seonghwa menunjuk ke sesuatu di meja. Sebuah botol wine dan dua gelas.

“Gue pengen ngerayain sesuatu,” jawab Yunho santai, bangkit dari sofa dan berjalan mendekat.

“Ngerayain apa? Gue nggak ulang tahun, dan lu juga enggak.”

“Ngerayain fakta kalau gue berhasil bikin lu jadi manusia normal lagi,” balas Yunho dengan nada bercanda, tapi matanya tetap serius. Ia menaruh kedua tangannya di pinggul Seonghwa, mendekatkan wajah mereka.

“Normal apanya? Gue tetep bersih-bersih tiap hari.” Seonghwa menatapnya dengan alis terangkat, tapi bibirnya melengkung sedikit.

“Iya, tapi lu nggak lagi ngepel lantai kayak orang kesurupan.” Yunho terkekeh, lalu menarik Seonghwa lebih dekat. “Serius, gue bangga banget sama lu, Hwa. Lu udah berusaha keras buat berubah, dan gue tahu itu nggak gampang.”

Seonghwa merasa pipinya memanas, tapi ia mencoba menyembunyikannya dengan pura-pura memutar mata. “Ciye, sok romantis lu. Tapi… makasih, Yun. Gue tahu gue nyusahin banget selama ini.”

Yunho menempelkan dahinya ke dahi Seonghwa, senyum kecil bermain di bibirnya. “Lu nggak pernah nyusahin gue. Lu cuma bikin gue sadar betapa gue sayang sama lu.”

Seonghwa terkekeh pelan, tapi sebelum ia sempat membalas, Yunho sudah menunduk, mencium bibirnya dengan lembut. Ciuman itu awalnya pelan, seperti percikan api kecil, tapi dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih panas. Tangan Yunho merayap ke pinggang Seonghwa, menarik tubuhnya lebih rapat, sementara tangan Seonghwa melingkar di leher Yunho.

Ketika mereka akhirnya berhenti untuk bernapas, Seonghwa menatap Yunho dengan mata setengah tertutup, bibirnya sedikit bengkak. “Lu tuh ya… kenapa harus seganteng ini? Bikin gue susah marah sama lu.”

“Gue nggak tahu,” jawab Yunho sambil terkekeh, lalu mencium ujung hidung Seonghwa. “Tapi gue tahu satu hal: gue nggak akan pernah lelah buat bikin lu bahagia.”

Mereka menghabiskan waktu bersama, bukan sebagai dua orang yang sibuk dengan rutinitas masing-masing, tapi sebagai sepasang kekasih.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang