Markas polisi,
Aroma kopi basi dan suara gemerisik laporan memenuhi ruangan. Seonghwa menatap papan bukti yang penuh dengan foto-foto, potongan surat kabar, dan peta lokasi pembunuhan Phantom. Sebagai detektif senior, ia telah menghadapi banyak kasus, tapi kasus Phantom ini seperti teka-teki yang potongannya tak pernah cocok."
“Kita kayak main petak umpet dengan hantu,” gumam San sambil menggosok pelipisnya.
“Hantu?” Jongho mendengus. “Dia cuma manusia biasa yang kebetulan punya bakat bikin polisi gila.”
Hongjoong, kepala tim, menyesap kopinya. “Kita terlalu banyak teori, terlalu sedikit bukti konkret. Kalau terus begini, kita bakal ubanan sebelum Phantom ketangkep.”
Seonghwa hanya mendengarkan. Matanya fokus ke satu titik di papan, seperti menemukan sesuatu yang hanya dia yang bisa lihat.
“Aku akan ambil alih penyelidikan ini,” katanya akhirnya, suaranya seperti palu yang memaku keputusan di tempat. “Phantom ini punya pola. Aku yakin aku bisa menangkapnya.”
Hongjoong mengangguk pelan. “Baik. Tapi hati-hati. Jangan sampai dia jadi obsesi yang membutakan.”
Seonghwa hanya menatap lurus, tidak menjawab. Dalam kasus ini, buta atau tidak, dia akan tetap menyelam ke dalam kegelapan.
Malamnya, Seonghwa berjalan pulang melalui gang sempit. Langit menghitam seperti tinta tumpah, dan angin membawa bau hujan yang belum turun. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sesosok pria tergeletak di sudut gang.
“Hei!” Seonghwa mendekat. Sosok itu, pria dengan rambut coklat berantakan, mendongak lemah.
“Tolong… aku diserang,” katanya dengan suara gemetar.
“Siapa namamu?” Seonghwa berlutut, memeriksa luka-luka pria itu.
“Yunho,” jawabnya pelan.
Insting detektif Seonghwa menjerit ada yang tidak beres, tapi mata Yunho terlalu jernih, terlalu rapuh untuk diabaikan. Seonghwa membantu pria itu berdiri, membawanya ke apartemen kecilnya di tengah kota.
Di apartemennya, Yunho duduk di sofa dengan piyama lusuh yang Seonghwa temukan di lemari. Pria itu tampak tidak nyaman, tetapi berusaha tersenyum.
“Aku nggak tahu gimana caranya bilang makasih,” ujar Yunho pelan. “Kamu bahkan nggak tahu aku siapa.”
“Aku tahu kamu korban, dan itu cukup,” jawab Seonghwa sambil membawa secangkir teh ke meja.
Tapi di balik ketenangan itu, Seonghwa tak pernah berhenti mengamati. Setiap gerakan Yunho, setiap nada dalam suaranya, dicatat. Baginya, semua orang adalah teka-teki.
Hari-hari berlalu, dan Seonghwa mulai memperhatikan hal-hal aneh tentang Yunho. Dia tidak pernah menjawab pertanyaan pribadi secara langsung, dan dia selalu menghindari kontak mata ketika ditanya tentang masa lalunya. Tapi Yunho juga memiliki sisi yang membuatnya sulit untuk dicurigai—senyum kecil yang tulus, tawa ringan yang mengisi apartemen Seonghwa yang biasanya sunyi.
Suatu malam, mereka duduk di sofa, menonton film lama. Yunho tertawa, tapi Seonghwa tidak bisa fokus. Perasaan itu mulai tumbuh, mencampuradukkan rasa curiga dan sesuatu yang lebih dalam.
“Yun,” Seonghwa memanggil pelan.
“Hm?” Yunho menoleh, mata coklatnya penuh perhatian.
“Aku rasa… ada sesuatu di antara kita,” Seonghwa berkata, hampir seperti gumaman. “Aku nggak bisa menjelaskan, tapi aku tahu aku merasakannya.”
“Hwa…” Yunho mendekat, duduk di tepi sofa. “Aku juga merasakannya. Kamu satu-satunya orang yang membuatku merasa aman.”
Senyum tipis menghiasi wajah Seonghwa, tapi di dalam hatinya, keraguan masih berbisik.
Namun, malam-malam berikutnya, segalanya berubah. Yunho sering menghilang tanpa alasan. Kadang, Seonghwa terbangun mendapati tempat tidur di sebelahnya kosong, hanya menyisakan selimut yang masih hangat.
Suatu malam, Seonghwa mengikuti Yunho diam-diam. Dia melihat pria itu masuk ke sebuah gudang tua di pinggir kota. Seonghwa menunggu, napasnya tertahan, sampai akhirnya Yunho keluar dengan tangan kosong.
Hari berikutnya, di markas polisi, laporan baru datang. Korban Phantom bertambah. Lokasinya? Tidak jauh dari gudang tempat Yunho tadi malam.
“Sial,” gumam Seonghwa sambil mengepalkan tangan.
Dia kembali ke apartemen dengan hati penuh gejolak. Yunho sedang menunggu, duduk di sofa seperti biasa, dengan senyum yang seolah-olah tidak menyembunyikan apa pun.
“Yun,” panggil Seonghwa dengan suara rendah.
“Ya?” Yunho menoleh, senyum itu memudar perlahan ketika dia melihat ekspresi Seonghwa.
“Aku tahu siapa kamu sebenarnya.”
Sebuah jeda panjang menggantung di udara, seperti sebelum badai meletus.
“Hwa…” Yunho berdiri, mendekat dengan langkah hati-hati. “Aku bisa jelaskan.”
“Apa yang bisa dijelaskan?” Suara Seonghwa pecah. “Kamu Phantom. Kamu pembunuh yang selama ini aku cari!”
“Aku nggak pernah bermaksud mencintaimu, Hwa. Tapi aku nggak bisa mengendalikannya. Aku benar-benar mencintaimu.”
Seonghwa menatapnya dengan campuran kemarahan dan kesedihan. “Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu nggak berhenti?”
“Aku nggak tahu bagaimana caranya berhenti,” Yunho mengakui, suaranya penuh dengan rasa bersalah. “Ini seperti… kutukan. Aku nggak bisa mengontrolnya.”
Namun, di tengah ketegangan itu, langkah mereka mendekat. Yunho memegang wajah Seonghwa, matanya mencari pengampunan. Dan sebelum Seonghwa sempat berpikir, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh emosi.
Semuanya tercurah dalam ciuman itu—kemarahan, kesedihan, cinta, dan ketidakpastian. Tangan Yunho melingkar di pinggang Seonghwa, sementara Seonghwa meremas rambut Yunho, seolah mencoba memahami pria yang telah menghancurkan dan membangun hidupnya sekaligus.
Ketika mereka akhirnya melepaskan diri, napas mereka terengah-engah. “Aku akan menyerah. Untukmu.”
Seonghwa terdiam sejenak, sebelum mengangguk perlahan. “Aku mencintaimu, Yun. Tapi aku juga tahu bahwa aku nggak bisa menutupi ini.”
Beberapa minggu kemudian, Yunho menyerahkan diri.
Di ruang interogasi, Seonghwa menjadi satu-satunya yang Yunho izinkan untuk masuk.
“Aku akan mengingat semua momen kita,” kata Yunho.
“Aku juga,” jawab Seonghwa, matanya tak bisa menyembunyikan rasa sakit. “Mungkin kita nggak bisa bersama, tapi aku nggak pernah menyesal mencintaimu.”
Mereka saling menatap untuk terakhir kalinya, sebelum Yunho dibawa pergi.
Setelah itu, Seonghwa sering duduk di sofa tempat mereka biasa berbicara dan tertawa. Dia menatap gelas teh di meja, mengingat senyum Yunho yang kini hanya tinggal kenangan. Cinta mereka adalah paradoks—sebuah dosa sekaligus anugerah.
![](https://img.wattpad.com/cover/357262320-288-k320352.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Exquisite Episode • All × Seonghwa
Fiksi Penggemarbottom!Seonghwa / Seonghwa centric ©2023, yongoroku456