80z

67 5 0
                                    

Seonghwa lagi duduk di depan cermin kamarnya, ngeliatin bayangannya sendiri kayak orang yang baru nyadar kalau jerawatnya udah ada lima biji tapi nggak sempat dipencetin. Bukan karena dia narsis—enggak, nggak gitu. Tapi ada sesuatu yang bikin dia nggak tenang.

“Aneh, ya,” gumamnya sambil garuk leher. “Kenapa belakangan ini gue ngerasa ada yang ngawasin? Padahal kamar ini cuma ada gue, boneka gue, sama lampu tidur yang nyala tiap malem.”

Dia akhirnya berdiri, merhatiin sudut-sudut kamar kayak detektif amatir yang lagi nyari petunjuk. Dan bener aja, di pojokan atas lemari, dia nemuin sesuatu yang nggak semestinya ada di sana—kamera kecil yang posisinya terlalu strategis buat dibilang kebetulan.

“Buset,” dia melotot sambil ngelepas kamera itu pelan-pelan. “Ini apaan? Reality show rahasia? Gue sekarang di acara apaan, nih, Big Brother Seonghwa?”

Dia langsung mematikan kamera itu, tapi perasaan nggak enaknya nggak hilang sama sekali. Yang ada, makin hari makin parah, terutama waktu dia ngeh ada yang nggak beres di media sosial.

Beberapa hari kemudian, berita itu meledak. Video dirinya main boneka sambil pake piyama lucu warna pastel tersebar di internet. Iya, piyama yang ada gambar kelincinya itu. Seonghwa, sang visual ganteng ATEEZ yang selama ini tampil sempurna di mata publik, mendadak jadi meme hidup.

Twitter rame, TikTok lebih heboh lagi. Ada yang bilang dia lucu. Ada yang ngetawain. Ada juga yang, entah kenapa, jadi ngefans lebih parah gara-gara video itu. Tapi buat Seonghwa, ini nggak lucu sama sekali.

Dia duduk di kamarnya malam itu, ngeliatin layar ponselnya yang penuh notifikasi, tangan gemeteran kayak orang baru dituduh maling padahal cuma numpang lewat.

“Gila, ini mimpi buruk, kan?” gumamnya pelan. Tapi sayangnya, ini kenyataan.

Di ruang tamu dorm, Hongjoong lagi duduk sambil ngeliatin layar ponselnya juga, tapi wajahnya jauh lebih serius. “Gila, ini sih udah kelewatan banget,” kata dia ke member lain yang ngumpul di situ. “Kita harus lakuin sesuatu.”

“Lu pikir ini bakal selesai gitu aja?” Yunho, yang biasanya santai, sekarang ngomong dengan nada yang nggak santai sama sekali. “Dia pasti lagi kacau banget sekarang.”

“Lu yakin dia nggak nangis di kamar?” bisik Wooyoung pelan, walaupun nadanya kayak lebih nyari gosip daripada khawatir. San, yang duduk di sebelahnya, langsung nyikut pinggangnya.

“Eh, seriusan,” kata San sambil ngeliatin yang lain. “Gue rasa kita harus bener-bener bantuin dia kali ini.”

Dan sebelum mereka sempat lanjut diskusi lebih jauh, Seonghwa muncul di pintu. Wajahnya lelah banget, matanya sembab, kayak habis marathon nangis dari pagi sampai sore.

“Gue nggak tahu harus gimana,” katanya pelan, hampir kayak bisikan. “Gue beneran takut.”

Hongjoong langsung berdiri, jalan mendekati Seonghwa, dan naruh tangan di bahunya. “Tenang,” katanya tegas.

“Tapi, gimana kalau mereka nggak bisa nerima gue?” Seonghwa nunduk, suaranya gemetar. “Gimana kalau mereka malah ngejek gue?”

Yunho maju, ikut nimbrung. “Lu tahu, kan, Atiny nggak kayak gitu. Mereka dukung kita.”

“Serius,” San nambahin.

Seonghwa diem, air mata mulai ngalir di pipinya.

Beberapa hari kemudian, perusahaan akhirnya ngeluarin pernyataan resmi. Mereka kecam tindakan sasaeng yang nge-bocorin video itu, dan janji bakal nyari pelakunya sampe ketemu. Atiny, kayak pasukan yang siap perang, langsung ngebanjirin media sosial dengan pesan dukungan. Timeline penuh sama tagar #WeLoveYouSeonghwa, lengkap dengan fanart yang aneh—ada yang ngegambar Seonghwa pake mahkota kelinci, ada juga yang bikin dia jadi karakter anime lengkap sama piyamanya.

Seonghwa akhirnya buka ponsel lagi, baca semua komentar dari Atiny yang bikin dia senyum kecil. Dia nggak nyangka, dukungan mereka sebesar itu.

Sementara itu, di balik pintu kamar, Mingi udah berdiri dari tadi, nunggu momen yang pas buat masuk. Dia akhirnya ngetuk pintu dengan pelan.

“Gue boleh masuk?”

Seonghwa ngangguk, meskipun Mingi nggak bisa lihat dari luar. Mingi masuk dan duduk di sebelahnya, nggak langsung ngomong apa-apa. Tangannya ngeraih tangan Seonghwa, genggaman mereka santai tapi penuh arti.

“Nggak ada yang berubah. Lu tetap lu,” kata Mingi akhirnya, suaranya pelan tapi yakin.

“Tapi gue nggak tahu gimana caranya nerima ini,” Seonghwa balas. “Gue ngerasa kayak… gue gagal jadi ekspektasi mereka selama ini.”

Mingi nyengir kecil, miring-miringin kepalanya. “Gue sih nggak liat ada yang salah. Lu punya sisi yang beda, terus kenapa? Itu justru yang bikin lu unik.”

Seonghwa diem, ngerasa kata-kata Mingi kayak nyelip ke sela-sela hatinya yang udah remuk.

Suasana berubah pelan-pelan. Nggak ada yang ngomong apa-apa lagi, tapi udara di kamar itu jadi beda. Lebih hangat, lebih intim.

“Lu tahu nggak,” Mingi mulai lagi, nada suaranya berubah jadi lebih lembut. “Kadang, kita terlalu keras sama diri sendiri. Gue nggak tahu apa yang ada di kepala lu sekarang.”

Seonghwa ngeliat Mingi, matanya yang tadi penuh kecemasan sekarang mulai tenang. Tapi ada sesuatu yang lain juga di sana—sesuatu yang dia nggak bisa jelasin.

“Gue cuma… capek,” akhirnya Seonghwa jujur. “Capek pura-pura sempurna.”

Mingi ngangguk pelan, tangannya masih ngegenggam tangan Seonghwa. “Kalau gitu, jangan pura-pura lagi. Mulai sekarang, jadi diri lu sendiri aja.”

Seonghwa nggak sempet jawab apa-apa, karena Mingi udah maju, jarak mereka sekarang cuma beberapa senti.

“Gue cuma mau lu tahu,” Mingi berbisik pelan, “lu nggak perlu takut lagi.”

Sebelum Seonghwa sempat mikir, Mingi udah deketin wajahnya, bibir mereka hampir bersentuhan. Ada jeda di antara mereka, kayak waktu berhenti sesaat. Tapi detik berikutnya, jeda itu hilang, dan mereka berdua kehilangan kendali.

Keheningan dorm berubah jadi sesuatu yang lebih intens. Seonghwa, yang biasanya terlalu sibuk mikirin dunia luar, akhirnya belajar buat fokus ke dirinya sendiri. Dia sadar—nggak ada yang salah dengan jadi dirinya yang sebenarnya.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang