san

35 6 0
                                    

"Kenapa muka gue kayak gini?"

Seonghwa ngaca di depan cermin laboratorium yang dingin dan penuh bercak sisa kopi basi. Refleksi yang balik ngeliatin dia tuh kayak poster iklan skincare mahal—kulit mulus, mata cokelat yang berkilau kayak abis pakai filter TikTok, rambut hitam yang jatuh rapi seolah ada kru stylist ngikutin dia ke mana-mana.

Padahal kenyataannya? Dia cuma sebuah proyek eksperimen yang dikasih nama 'Model 017: Seonghwa'. Alias, robot canggih berwajah terlalu cakep buat sekadar menyamar jadi remaja biasa di tengah keramaian manusia.

"Lu kayak… poster boy majalah fashion yang nyasar ke lab rahasia," sahut San dari pintu, bersandar santai sambil ngunyah permen karet, ngebuang tatapan iseng ke Seonghwa kayak bilang ‘gue nggak terpesona, tapi iya sih.’

Seonghwa noleh, alisnya naik kayak sinyal Wi-Fi. "Emang kenapa? Gue blend in kok. Nggak ada yang curiga."

San mendekat, tangannya masuk ke saku jaket. Senyum miringnya muncul, bikin Seonghwa ngerasa ada error 404 di sistemnya. "Oh iya? Karena remaja normal biasanya punya kekuatan angkat mobil pake satu tangan, kan? Totally normal."

"Selama gue nggak ngangkat mobil di depan orang, ya aman dong," sahut Seonghwa sambil nyilauin San dengan logika robotnya.

San cuma nggeleng pelan. "Lu tuh kayak Wi-Fi kenceng di tengah hutan. Gimana nggak mencolok?"

Tapi meski sering ngece, San nggak pernah jauh dari Seonghwa. Mereka keluar bareng dari lab rahasia itu, ke dunia luar yang penuh manusia sibuk dan suara klakson nggak penting. Dr. Kang, si otak di balik ciptaan Seonghwa, ngasih izin supaya dia bisa belajar tentang 'kemanusiaan'.

Di trotoar kota kecil yang rame, Seonghwa merhatiin orang-orang. Ada yang lari ngejar bus, ada yang ribut gara-gara es kopi tumpah, ada juga yang senyum-senyum sendiri kayak lagi ngebales chat gebetan. Semua kelihatan… ribet.

"San, kenapa manusia selalu keliatan sibuk?" tanya Seonghwa, matanya kayak CCTV yang ngerekam setiap gerak-gerik di sekeliling.

San nyeletuk sambil ngunyah permen karet, "Karena hidup tuh kayak playlist random—lu nggak pernah tahu lagu apaan yang bakal diputer. Bisa asik, bisa bikin pengen skip."

Seonghwa mikir sebentar. "Itu kedengeran… nggak efisien."

"Yah, emang nggak. Tapi di situ serunya. Kalo hidup serba teratur, ntar bosen. Kayak playlist yang isinya cuma satu lagu."

Mereka berhenti di kios kecil deket taman. San beli dua es krim vanilla. Dia nyodorin satu ke Seonghwa.

"Apa yang harus gue lakuin sama ini?" Seonghwa nanya serius, megang es krim kayak pegang benda alien.

"Makan lah. Tapi jangan digigit kalo nggak mau mulut lu ngerasa kayak habis nyium kulkas."

Seonghwa nyoba ngejilat pelan, matanya langsung melebar. "Wah. Ini… manis. Dingin. Aneh. Tapi… enak!"

San ketawa. "Itu es krim, bro. Salah satu keajaiban kecil di dunia. Nggak perlu diproses di otak, tinggal nikmatin aja."

Seonghwa diem, ngerasain sensasi baru itu. Tiba-tiba dia nanya, "San, gimana caranya manusia tahu siapa mereka sebenernya?"

San berhenti ngunyah, ngelirik Seonghwa. "Ya… nyoba hal baru. Ngerti apa yang mereka suka dan nggak suka. Hidup tuh trial and error."

Seonghwa ngangguk pelan. "Tapi gue kan udah diprogram buat satu tujuan doang: ngelindungin umat manusia. Kayak software yang cuma punya satu fungsi."

San ngelus pelan pundak Seonghwa. "Tapi lu bukan cuma program, Hwa. Lu punya rasa penasaran, suka sama es krim, bisa ngejawab sarkas gue. Itu udah lebih manusiawi dari banyak orang yang gue kenal."

Seonghwa ngerasain sesuatu yang nggak ada di databasenya. Hangat. Walaupun secara teknis, dia nggak punya sistem sirkulasi darah.

Malamnya, alarm lab mendadak meraung. Lampu merah kedip-kedip kayak disko murahan. Dr. Kang teriak lewat speaker, "Seonghwa! San! Ada ancaman alien di sektor 7! Bersiaplah!"

Seonghwa berubah. Muka penasaran tadi ilang, diganti ekspresi serius kayak karakter utama film action. Dia lari ke gudang senjata, ngambil laser gun tanpa ragu.

San ngejar dari belakang. "Eh! Lu yakin bisa handle sendirian?"

Seonghwa noleh bentar, suaranya datar, "Gue diciptain buat ini."

San nahan napas. "Tapi lu juga baru aja belajar makan es krim hari ini. Jangan sok tough, bego."

Seonghwa berhenti sejenak, tatapannya melembut. "Makasih, San. Gue tahu lu khawatir. Tapi gue harus lakuin ini."

San cuma ngangguk, nahan cemas yang nggak bisa dia jelasin. "Oke. Tapi jangan lupa… pulang."

Dan Seonghwa pergi.

Beberapa jam kemudian, Seonghwa balik. Luka di sana-sini, baju sobek, tapi dia masih berdiri. Senyum tipis di bibirnya.

San langsung lari nyamperin. "LU GILA YA?! KENAPA NGGAK PAKAI BACKUP?!" teriaknya, tapi tangannya udah sibuk ngecek luka Seonghwa.

Seonghwa cengengesan. "Gue menang."

San nggak bisa nahan. Dia peluk Seonghwa erat-erat. "Jangan pernah kayak gitu lagi. Gue… gue khawatir."

Seonghwa bengong, terus perlahan ngebalas pelukan itu. "Gue nggak bakal biarin apa pun nyakitin lu."

San narik diri, ngelepas pelukan tapi tetap nahan bahu Seonghwa. "Ya, tapi lu juga harus jaga diri lu. Karena… ya, gue peduli sama lu."

Seonghwa sadar. Mungkin… mungkin dia nggak sepenuhnya robot. Karena hatinya—atau apa pun itu yang dia punya di dalam sana—lagi hangat banget.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang