Mature Scene 21+
Happy reading, semoga suka.
Full version sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
_____________________________________________________________________________
Flynn berdiri di belakang bar Breezer Brew yang kini lebih luas dan modern, ekspresi bahagia turut melengkapi wajahnya. Setelah beberapa waktu, renovasi dari sayap tambahan itu akhirnya selesai dan sukses menggabungkan bangunan yang dulunya milik Elixer menjadi satu dengan Breezer Brew. Dan malam ini adalah malam pertama bekas bar Elixir dibuka untuk umum dan sejauh ini, semua berjalan sangat brilian. Lancar, hampir tanpa hambatan. Karyawan Breezer Brew kini bertambah dua kali lipat tapi pengunjung yang datang juga membludak. Sepertinya seluruh kota sengaja datang untuk memberikan ucapan selamat pada pria itu dan juga tentu saja, untuk mendapatkan bir dengan harga yang lebih murah. Dan selama satu minggu berikutnya, di jam-jam tertentu, Breezer Brew akan menyediakan bir dengan harga yang lebih murah.
Kini, bar sudah tutup untuk malam ini dan ruangan yang lebih besar itu membuatku merasa lebih hening dari sebelumnya. Tapi ada perasaan puas yang sangat menyenangkan ketika menatap ruangan kosong ini dan menyadari bahwa bar ini telah membawa begitu banyak kebahagiaan pada kami, para pekerja juga para pengunjung. Kebahagiaan dan kebanggaan, bagiku. Aku yakin, begitu juga bagi Flynn. Dan walaupun pria itu menaikkan jabatanku, itu tidak bisa menghentikan untuk tetap turun dan bekerja di balik meja bar, meracik minuman dan menikmati keriuhan bar. Jujur saja, aku tahu aku tidak akan pernah betah untuk terus duduk di balik meja dan tentu saja, Flynn dengan senang hati membiarkanku turun tangan selama memang dibutuhkan dan selama aku menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Aku berjalan mendekat pada pria itu lalu memeluknya dari belakang, tangan-tanganku mengusap dada kerasnya. "Aku sangat bangga padamu, Bos," ujarku sambil menempelkan wajahku pada punggungnya. Entah sudah berapa lama, pria itu masih berdiri mengagumi wajah baru Breezer Brew dengan senyum bahagia di wajahnya.
Pria itu dengan cepat berbalik dan menarikku ke dalam pelukannya. Dia mendesah bahagia, menekankan dagunya di atas kepalaku. "Aku masih tidak percaya bahwa aku berhasil, Lou. Elixir kini menjadi bagian dari Breezer Brew. Bar kita akan semakin maju dan berkembang."
"Kau sudah bekerja sangat keras untuk sampai ke sini, Flynn. Kau pantas mendapatkannya. Aku selalu tahu kalau kau pasti bisa." Itu bukan hanya sekadar basa-basi, aku selalu percaya bahwa Flynn akan sukses, apapun yang dilakukan oleh pria itu, dia selalu melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan totalitas serta komitmen penuh.
Dia memelukku lebih erat. "Terima kasih, Lou. Aku sedang berpikir untuk mengatur ulang ruangan kantor, bagaimana menurutmu?"
"Itu kan kantormu, tentu saja kau bebas melakukan apa saja yang kau inginkan. Hanya saja, jangan singkirkan sofa itu." Aku tahu pria itu bisa membeli sofa baru yang mungkin lebih bagus, lebih besar, lebih mahal tapi tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan kenyamanan sofa lamanya dan tempat itu juga menjadi saksi dari pemulaan hubungan kami. Entah kenapa, aku merasa terikat dengan sofa itu. Apapun boleh diubah dalam ruangan tersebut, tapi tidak dengan perabotan yang satu itu.
"Deal," ucap pria itu kemudian. "Tapi ruangan kantor itu juga kantormu sekarang, kau bebas ingin melakukan apa saja, oke? Termasuk mengubah desain dan letaknya jika kau suka."
Aku menggumam mengiyakan. Lalu kami hanya berdiri seperti itu, dalam kebisuan, saling memeluk. Aku nyaris bisa mendengar roda pikiran Flynn bekerja. Dia sedang merencanakan hal-hal besar untuk Breezer Brew dan aku tidak sabar untuk menjadi bagian darinya.
"Kau tahu," ujar pria itu beberapa saat kemudian. Aku bisa merasakan tangan besarnya mengusap punggungku lalu turun untuk menangkup bokongku. "Aku punya kebutuhan sangat mendesak beberapa minggu terakhir ini..." Suara Flynn berubah, lebih dalam, parau, penuh dosa. Aku berdebar menunggu lanjutannya.
"Apa?" tanyaku agak tercekat. Tapi apapun rencana licik pria itu, selalu berakhir luar biasa bagiku.
"Aku ingin melihatmu telanjang di dalam barku," ujar pria itu dan kini sambil menatapku dengan kilat jahilnya.
"Apa? Sekarang?"
"Ya, sekarang."
Aku menatap sekeliling. Shades jendela sudah diturunkan sepenuhnya. Pintu juga sudah terkunci. Semua karyawan sudah pulang. Hanya ada kami berdua di dalam bar ini. Aku lalu dengan cekatan menurunkan celana jins dan kaosku.
Pria itu melangkah mundur dan menatapku, tersenyum senang saat melihat bra dan celana dalam satin senadaku, yang berwarna plum lembut.
"Kau tahu," ujar pria itu parau sambil menatapku dengan mata berkilat. "Aku menghabiskan sepanjang hari menebak-nebak apa yang ada di balik pakaian kerjamu yang sopan dan biasa itu. Dan kau tidak pernah mengecewakanku."
Pria itu mendekat dan menyentuhkan satu jemarinya di lekukan bra satinku dan aku bisa merasakan puncak-puncakku mengeras karenanya. "So sexy and hot."
Aku tersenyum kecil. Ya, mungkin penampilan luarku sangat biasa, pakaianku santai, wajahku tanpa riasan, aku minum bir dan mengikat rambutku alih-alih menggerainya. Tapi tetap saja aku suka mengenakan pakaian dalam yang senada dan cukup menarik, hanya supaya aku tetap merasa feminim dan membuatku merasa lebih baik. Mungkin tidak seseksi dan sepanas wanita-wanita canggih lainnya, tapi setidaknya menurutku, itu membuatku merasa cantik. Dan sekarang, rasanya menyenangkan bisa berbagi pemandangan itu dengan seseorang yang spesial dan ditambah lagi, pria itu menyukainya.
"Apakah aku harus melepaskannya?" tanyaku pada Flynn, suka dengan tatapan pria itu padaku – panas dan posesif.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Lalu dia mencengkeram pinggangku dan mengangkatnya, dengan mudah mendudukkanku di atas meja panjang bar. Permukaan meja yang dingin menempel di kulit telanjangku.
"Mmm... kebutuhan mendesak apalagi ini?" godaku.
"Some dirty and wild fantasy, about having you naked on here," bisik pria itu parau sambil menggerai rambut cokelatku lalu menyisirnya dengan jemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandalous Love with The Boss
RomanceKisah sang bartender dengan bosnya. "Ini... apapun ini... kau tahu, antara kita. Apa ini?" Pria itu mengeratkan lengannya di sekelilingku lalu memutar kursi barku agar kami saling berhadapan dan lutut-lutut kami saling bertabrakan. Tangannya yang la...