Dua Hati dan Satu Takdir

265 9 0
                                    

Aliyah, seorang mahasiswi yang hatinya berdenyut dengan rasa kesepian di tengah riuhnya kampus dan hiruk-pikuk keluarga yang tak kunjung padam, merindukan kehadiran seseorang yang bisa mengisi hari-harinya dengan tawa dan cerita yang hangat.

Teman-temannya, yang tenggelam dalam lautan tugas, dan keluarganya, yang terlalu sibuk untuk sekadar berbagi secangkir teh dan cerita, membuat keheningan kamar kosnya terasa semakin pekat.

Dalam pencarian digitalnya yang penuh keraguan namun didorong oleh rasa penasaran, Aliyah menemukan sebuah aplikasi yang menjanjikan pertemanan tanpa batas, yang memungkinkan penggunanya untuk berteman dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia.

Dengan hati yang berdebar, ia memutuskan untuk mencobanya. Tak lama kemudian, sebuah pesan muncul di layar ponselnya, datang dari seorang pemuda. Profilnya menampilkan wajah yang tampan, namun Aliyah tak bisa memastikan keasliannya. Di sana, ia bertemu dengan Hitoki, pemuda asal Jepang yang mengirimkan pesan kepadanya secara tak terduga. Profilnya menampilkan wajah yang tampan, sempurna bagai lukisan Tuhan yang tak tercela. Meski ragu, Aliyah membalas pesannya, dan dari perkenalan singkat itu, mereka mulai terbiasa berbagi cerita.

Hubungan mereka berkembang melalui media sosial, dan Hitoki menjadi teman yang selalu ada, mengisi hari-hari Aliyah dengan tawa dan kebahagiaan. Suaranya yang sopan dan berat melalui telepon membuat jantung Aliyah berdebar, dan perasaan itu tumbuh menjadi cinta pada pandangan pertama. Suaranya yang berat dan sopan membuat jantung Aliyah berdebar setiap kali mereka berbicara lewat telepon.

Aliyah mulai menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama, meski belum pernah melihat wajahnya secara langsung. Ketika ia hendak meminta video call, keraguan menghentikan langkahnya. Namun, seiring waktu, komunikasi mereka terputus. Aliyah ditinggalkan dengan pertanyaan dan kerinduan yang tak terjawab.

Bulan demi bulan mengalir bagai sungai waktu tanpa sepucuk pesan pun, hingga suatu hari yang terpatri dalam kalender, 23 September, pemuda itu kembali mengirimkan sapa melalui deringan digital. Aliyah, dengan hati yang berdebar, mengangkat panggilan tersebut. Mereka berbicara dengan riang, seolah memutar kembali rekaman kenangan yang sempat terhenti.

Dengan keberanian yang terkumpul, Aliyah mengajukan permintaan yang telah lama terpendam, "Can we meet face to face via video call?" Dan dengan senyum yang terukir di wajahnya, pemuda itu menyetujui.

Ketika layar ponsel menyala, Aliyah disambut oleh wajah yang tak asing, sama persis dengan foto yang selalu ia pandangi di profil pemuda itu. “I was waiting for you, you know?” ucap Aliyah dengan suara yang bergetar penuh emosi. “You missed me? Because of me, I miss you too," balas pemuda itu, suaranya berpadu dengan tawa yang hangat.

Malam itu, Aliyah duduk termenung di tepi jendela kamarnya, matanya menelusuri langit Jakarta yang berkelip dengan gemerlap lampu-lampu kota. Ponselnya bergetar lembut, sebuah notifikasi dari Hitoki muncul, seakan menjadi obor yang menerangi wajahnya yang lelah.

Hitoki, you know what? I always wait for your message. It felt like a star fell into my lap every time my phone vibrated." ucap Aliyah dengan nada yang berharap.

Haha, me too, Aliyah. I even started learning Indonesian so I could understand you more deeply. You are like a cool breeze that greets you in the midst of the hot summer here," balas Hitoki, suaranya terdengar penuh kehangatan.

"Is it true? If you experience difficulties, I am ready to help you." tawar Aliyah dengan semangat.
"Pleased to hear it. How about you teach me Indonesian now?" Hitoki mengajak dengan antusias.

Oh, of course, I have no problem with that,” jawab Aliyah, rasa gembira terasa dalam suaranya.

Percakapan mereka berlanjut, mengalir lancar bagai alunan melodi. Tanpa mereka sadari, waktu terus berjalan, meninggalkan jejak-jejak kecil dalam benak mereka.

Kumpulan cerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang