Satu tahun belakangan usaha orang tua Ranti berkembang sangat pesat. Padahal sebelumnya mereka terancam bangkrut. Bahkan sekarang orang tuanya sudah membuka beberapa cabang dan terus merekrut karyawan baru. Mereka yang dulunya tinggal di rumah sederhana kini bisa menempati rumah besar dengan fasilitas bagus.Ranti tidak menaruh curiga sama sekali. Malahan Ranti ikut mempromosikan usaha orangtuanya dan terkadang membantu mereka di waktu sengang. Hingga suatu hari terkuak fakta mengejutkan tentang usaha orangtuanya.
"Bapak sama Ibu gila ya?"
"Ran! Sssssttt! Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar."
Ranti histeris. Tidak menyangka dengan apa yang dilakukan orang tuanya.
"Gimana bapak sama ibu bisa-bisanya ngambil jalan itu. Kalian nggak kasihan sama Ranti dan adik-adik."
"Justru itu Ran!" Ibunya menimpali dengan emosi. "Nggak mungkin kita nggak kasihan. Kalau nggak kaya gini mana mungkin kita bisa hidup enak kan. Kamu juga nggak bakal kuliah, adik-adikmu gimana besok?"
"Bu! Astagaa."
"Pokoknya kamu harus bantu Bapak sama Ibu. Kamu mau kita bangkrut dan jatuh miskin lagi? Bapak sama Ibu juga bisa mati kalau nggak memenuhi perjanjian kami Ran."
"Kenapa harus Ranti bu kenapa? Kenapa nggak kalian aja. Ranti nggak minta kita begini."
"Karena cuma kamu anak perempuan kami Ran!"
"Emangnya kenapa? Emangnya–"
"Cuma kamu yang bisa hamil anak tuan kami!"
Ranti terdiam. Kepalanya kosong. Ia mencoba memproses apa yang baru ia dengar dari ibunya. Hamil? Anak tuan mereka?
"Kami ingin kekayaan," Bapak mulai menjelaskan. Pandangannya jatuh pada pemandangan malam di luar rumah. "Sebagai gantinya kami harus mengorbankan kamu Ran. Nggak sulit kok. Bapak janji ini nggak akan ganggu kehidupan kamu di dunia nyata."
Ranti mendecih. Apa yang bapaknya katakan tidak masuk di akal sehatnya.
"Hamil? Emangnya Bapak dan Ibu nggak malu kalo aku hamil tanpa suami?"
"Sesuai perjanjian, hamilnya nggak akan lama kok Ran. Cuma dua bulan."
Ranti semakin bingung. Apa Bapak dan Ibunya sudah gila?
"Kamu kan lagi libur. Selama kamu hamil kamu di rumah aja Ran. Kamu cuma perlu mengandung anak Tuan kami dan kekayaan kita akan abadi Ran. Bantu Bapak sama Ibu, ya. Tolong."
Ranti menggeleng tidak percaya. "Nggak mau. Ranti nggak akan mau. Tega betul ya Bapak sama Ibu jual jiwa Ranti ke iblis begitu. Terserah, kita mau jatuh miskin Ranti nggak peduli."
Ranti pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Ia harap apa yang ia dengar tadi hanyalah sebuah mimpi buruk. Bukan kenyataan.
Bapaknya menggumam lirih di bawah sinar rembulan. "Maaf, Ran. Tapi bagaimana pun, perjanjian tetaplah perjanjian. Kamu tidak bisa menghindar. Maafkan Bapak dan Ibu."
*
Sudah hampir satu minggu terjadi perang dingin antara Ranti dan orang tuanya. Lebih tepatnya Ranti mencoba tidak berinteraksi dengan mereka. Ranti berharap liburnya segera usai sehingga ia bisa kembali berkuliah.
Malam ini bulan purnama tampak indah menghiasi langit. Ranti menikmatinya sejenak, namun karena dingin terlalu menusuk Ranti memutuskan untuk menyudahinya. Toh ia juga sudah mengantuk. Saat Ranti beranjak masuk, angin cukup kencang datang hingga membuat rambutnya tersibak.
Mendadak suasana sekitar menjadi berbeda. Dingin yang Ranti rasakan selain menusuk membuatnya merinding. Tiba-tiba Ranti merasa tidak nyaman.
Ranti mempercepat langkahnya. Melihat kasur membuat matanya kian memberat. Biasanya Ranti bersih-bersih terlebih dahulu, namun kali ini ia memutuskan untuk rebah di kasur dan segera ingin terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
birth collection
Lãng mạncollection of birth short stories ⚠️🔞 pregnant and birth kink minors please dont interact