Lidya tidak punya firasat buruk sama sekali soal malam ini. Ia melepas kepergian suaminya yang hendak dinas malam tanpa perasaan khawatir sama sekali padahal kandungannya sedang berkontraksi. Pikirnya ia bisa pergi ke bidan pagi nanti saat suaminya sudah pulang.
Ia siapkan keperluan bayi dan dirinya sendiri untuk esok hari sambil merasakan gelombang kontraksi yang berkali-kali menghantam menyakitkan. Pengalaman melahirkan sebelum-sebelumnya membuat Lidya lebih bisa mengendalikan diri dan rasa sakitnya. Ia tidak lagi berteriak heboh dan meronta, justru meski kontraksinya kuat begini ia masih bisa berjalan-jalan naik turun tangga dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Semuanya berjalan seperti biasa meski Lidya sedang berkontraksi. Anak-anaknya sudah tidur karena mereka besok harus bersekolah. Lidya sendiri juga akan pergi tidur setelah bertukar kabar dengan suaminya. Meski sulit karena beberapa posisi tidak membuatnya nyaman, akhirnya Lidya bisa terpejam.
Lidya dibangunkan oleh gelombang kuat menyakitkan. Ia meraih air mineral di nakas yang cukup meringankan hantaman rasa sakitnya. Lidya menarik nafas panjang dan menghembuskannya, berusaha meredakan rasa sakit di perutnya.
Jam menunjukkan pukul dua pagi. Suaminya baru akan pulang pukul enam. Lidya ingin kembali tidur tapi tidak bisa. Kontraksi yang ia rasakan berbeda dengan kontraksi sebelum ia tidur. Kontraksi kali ini lebih intens dan menimbulkan nyeri luar biasa.
Lidya menarik nafas panjang. Apakah sudah saatnya?
Satu gelombang kontraksi usai disusul oleh hantaman gelombang kontraksi lain yang lebih kuat. Membuat Lidya sampai tidak bisa bergerak. Ia mengerang kesakitan sambil terus mengatur nafas.
"Sakittt."
Meski berpengalaman, rasa sakit menjelang kelahiran selalu tidak bisa dielakkan. Rasanya tetap menyakitkan, rasa mulasnya apalagi keinginan untuk mengejan. Lidya tidak tahu apakah pembukaannya sudah lengkap atau belum. Maka ia menahannya.
Deru mobil memasuki halaman rumah terdengar. Lidya merasa bersyukur suaminya pulang. Ia tidak berpikir bahwa deru mobil itu bisa saja bukan milik suaminya. Maka, tanpa menaruh rasa curiga Lidya berjalan tertatih menghampiri. Langkahnya pelan dan kakinya terbuka mengangkang. Ia pegangi perut bagian bawahnya yang melonjong turun karena bagian itu terasa mengantung berat. Berjalan membuat bayinya terasa semakin turun memasuki jalurnya, sepertinya memang benar-benar akan lahir sebentar lagi.
"Masss?"
Betapa kagetnya Lidya mendapati bukan suaminya. Melainkan dua orang laki-laki berpakaian serba hitam.
"Kalian siapa?" Lidya waspada.
Dua sosok itu tidak takut meski ketahuan sang pemilik rumah kehadirannya.
"Pegang dia, gua cari dulu suratnya."
"Surat apa?!" Lidya tidak gentar. "Kalian mau apa?"
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Lidya. Laki-laki bertubuh besar menyeret tubuhnya dan memaksanya duduk, kemudian mengikat tangannya. Lidya tidak bisa melawan.
"Jangan bikin suara, nanti anaknya bangun."
Laki-laki kurus itu mengangguk. Tapi kemudian ia berbalik. "Mana ruang kerja si Seto?"
Seto adalah suami Lidya.
Laki-laki besar itu bertanya. "Mana ruangan suami lo."
Lidya tidak menjawab. Ia tidak akan membiarkan dua laki-laki itu dengan mudah menemukan apa yang mereka cari. Entah surat apa yang mereka maksud Lidya tidak akan memberikannya.
Kebungkaman Lidya membuat laki-laki besar itu menjambak Lidya. "Mana?"
Tahu Lidya tidak akan menjawab. Ia memerintahkan temannya untuk menyusuri tiap ruangan. Tidak sampai sepuluh menit laki-laki kurus tadi kembali membawa amplop cokelat berisi surat yang memang mereka cari.

KAMU SEDANG MEMBACA
birth collection
Romancecollection of birth short stories ⚠️🔞 pregnant and birth kink minors please dont interact