PROLOG (Nol/零)

1.9K 162 30
                                    

Di sudut gelap jalanan yang sepi, bayi kecil itu terbaring tak berdaya di dalam kotak kardus yang rapuh. Hujan yang deras turun tanpa ampun, membasahi tubuh mungil yang kedinginan dan terluka. Raungan dan tangisnya yang menyayat hati terdengar melengking, mencari belas kasihan di tengah kegelapan malam yang sunyi.

Tak ada yang mendengar, tak ada yang peduli. Bayi kecil itu ditinggalkan sendirian, terbuang seperti sampah oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Dinginnya malam semakin meresap ke dalam tubuhnya yang lemah, membuatnya gemetar tak terkendali.

Dalam keheningan yang memilukan, bayi kecil itu meronta-ronta dalam keputusasaan, mencari hangat dan cinta yang tak pernah ia rasakan. Matanya yang masih polos memancarkan ketakutan dan kesepian yang tak terucapkan.

Tangisan bayi kecil itu menjadi seruan keputusasaan, memanggil pertolongan yang entah dari mana. Namun, hanya hujan yang menjawab, mengguyurinya dengan dingin yang menusuk tulang. Ia terluka bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Di tengah kepedihan yang mendalam, bayi kecil itu menemukan dirinya terlelap dalam tidur yang penuh mimpi buruk. Mimpi tentang dunia yang kejam dan hati yang dingin. Namun, di balik kelamnya malam, masih ada cahaya kecil yang berdebar di dalam dada bayi kecil itu, menanti untuk bersinar di tengah kegelapan yang menyelimuti nya.

Seperti tidak punya hati nurani lagi, membiarkan putri mereka yang baru dilahirkan kedunia ini kedinginan. Tidak hanya hujan, hari ini sudah malam. Betapa tersiksa nya bayi itu, kala ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sendiri. Berbekalan kotak kardus dan beberapa kain sebagai selimut itu tidak lah cukup.

Sial sekali nasib insan satu ini, malam yang sunyi tidak ada individu yang berlalu lalang dan mendengar tangis pilu bayi ini. Seperti dunia memberikan uji coba terberat saat dia baru saja lahir, oh ayolah, ini terlalu kejam.

Tatkala suara tapak kaki memasuki kedua gendang telinga. Sepertinya tidak hanya sepasang sepatu yang beradu dengan beton bercampur tanah dan air hujan, tetapi dua pasang sepatu.

Mereka memasang mimik nanar kepada sumber suara-raungan bayi-dua pasang insan yang sudah menjadi sah itu membelalak kan mata mereka. Sang istri menutup mulutnya seraya menangis, dan sang suami mengusap-usap lembut punggung sangat istri untuk memenangkan nya dengan payung untuk menghindari Sang tercinta terkena guyuran air hujan.

"Sayang, kenapa mereka tega membuang anak sekecil ini ...?" Dengan suara gemetar sang istri menatap suaminya dengan bulir-bulir air mata yang masih mengalir. Tampak mata sang suami ikut berkaca-kaca sembari menggeleng pelan.

"Aku tidak tahu, Sayang. Betapa kejamnya dunia ini untuk bayi mungil ini ..."

Sang istri perlahan-lahan berjalan mendekati kotak kardus rapuh dan basah itu, sejenak melihat sebuah kertas basah dengan tinta yang tidak rapi lagi. Sang istri berjongkok, memeluk Sang bayi perempuan yang meringkuk kedinginan. Bayi itu masih hidup, tetapi denyut nadi nya lemah. Cepat-cepat Sang istri menoleh kebelakang, memberitahu Sang suami.

"Sayang! Denyut nadi bayi ini lemah!" Setelah memberitahu Sang suami dengan suara berderu, Sang suami ikut terkejut. Tangan kanannya mmemegang sebuah payung besar dan tangan kiri nya memegang sebuah handphone-sigap menelpon mobil ambulance berserta polisi untuk menyelidiki kasus kejam ini.

༄༅༅

"Beruntung sekali, bayi ini masih bisa diselamatkan," Seseorang dengan seragam lengkap berwarna putih berbicara kepada sepasang insan yang duduk menunggu diluar ruangan ICU.

"Polisi tengah menyelidiki kasus ini, jadi jangan mengkhawatirkan Sang bayi ya, Nyonya." sambung dokter perempuan itu. Perlahan dokter beserta beberapa perawat yang ada disamping nya membungkuk kan badan lalu pergi. Sepasang insan itu ikut membungkuk tanda berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada penyelamat bayi itu.

Tak lama kemudian, beberapa polisi menghampiri pasutri itu. Beberapa pertanyaan telah dilontarkan kepada mereka untuk menginterogasi. Hingga akhirnya tiba pada sepucuk surat yang akan dibacakan oleh salah satu polisi.

"Seribu untung sekali, tinta yang ada dikertas ini tidak luntur parah. Jadi masih bisa dibaca." Polisi membuka sepucuk surat itu.

Siapapun yang menemukan bayi malang ini, tolong dirawat, ya? Saya tidak memiliki biaya untuk anak ini ... Saya memiliki penyakit jantung, dan suami saya suka sekali berjudi dan mabuk-mabukan serta bermain dengan kupu-kupu malam dibar.

Sejujurnya saya tidak mahu membuang bayi kecil ini, tetapi suami saya terus memukuli saya untuk membuangnya. Saya tidak bisa lagi berbuat banyak, saya minta maaf sebesar-besarnya. Bayi perempuan ini belum memiliki sebuah nama, saya belum bisa memikirkan namanya disaat duka seperti ini. Dan juga bayi ini lahir kemarin.

Lagipula sebentar lagi saya sudah berpulang, penyakit yang saya derita sudahlah parah. Sekali lagi ... Saya minta tolong untuk merawat bayi ini dengan baik. Jika saya sudah berpulang saya akan mengawasi dan melihat perkembangan bayi mungil itu dari atas.

Terimakasih banyak, orang baik.

Itulah tulisan yang tertera diatas sana. Mata Sang istri kembali berkaca-kaca lantas ia membungkam mulutnya dengan kedua tangan menahan isak tangis dan sesak yang memenuhi rongga dadanya.

Beberapa polisi ikut terdiam, membiarkan wanita itu meluapkan semuanya terlebih dahulu.

"Kami sudah menemukan tempat tinggal mereka (Yang sudah membuang bayi ini). Sayangnya, ia telah meninggalkan dunia ini tepat pada hari ini. Ia dibunuh oleh suaminya sendiri sepulang dari ia membuang bayi, Sang suami masih dalam kejaran dan kini ditetapkan sebagai buronan." Sepasang insan itu menatap polisi yang berbicara.

"Pak, bisakah kami ... Merawat bayi malang itu?" Suaranya serak tetapi masih bisa bertanya walau tenggorokannya kering meronta-ronta meminta minum. Sejenak ketua polisi itu tertegun dan diam, ia bergelut dengan pikirannya sekarang.

Ketua polisi itu menghela napas lalu mengangguk pelan. "Bisa saja, Nyonya. Tetapi bayi itu harus dirawat sebaik mungkin, dan kini anda bisa mengurus beberapa keperluan untuk bayi itu."

Seketika hati Sang istri dan sang suami menjadi lega dan agak lapang. Beberapa kali sepasang insan itu berterima kasih kepala polisi yang telah berjasa itu.

༄༅༅

"(Name), mulai sekarang namamu adalah Umemiya (Name)." ucap pasangan insan itu serentak kala Sang istri mendekap hangat putri angkat nya. Sang istri mengecup pelan kening bayi itu, memberikan kehangatan. Mereka menatap bayi albino itu sendu.

"Dia anak yang cantik ya, Sayang? Dia juga adalah albino, kenapa ayah aslinya tega membuangnya, ya?" Sang istri menina-bobok-an sang putri angkat.

Sang suami terdiam, menaikan kedua kurva nya kala melhat Sang istri begitu bahagia. "Pasti Hajime akan senang jika dia memiliki seorang adik, 'kan?"

Sang istri mendongak menatap sang suami, ia lantas tersenyum manis semanis gula. Hingga menampakkan deretan gigi rapi berwarna putih. "Iya, pasti Hajime akan senang. Dia tidak berbeda jauh dari Hajime, 'kan?"

Sang suami ikut mengangguk, tenang mereka telah menitipkan anak sulungnya kepada tetangganya untuk mengurus urusan bersama bayi kecil ini.

༄༅༅
BERSAMBUNG

Yaey! Ini fanfict pertama Taira 🎉

Gimana, bagus enggak? Kalau enggak bagus silahkan dikomentar ya!

Eitss, bingung mau panggil aku apa? Panggil aja Taira atau Taira-sensei (Belagak layaknya Gojo Satoru).

Tenang, sifat aku juga jauh beda sama guru badas kayak Satoru, hehe.

Jadi, silahkan ditunggu kelanjutan ff ini!

By the way, HAPPY BIRTHDAY TO ME!

𝗞𝗬𝗢𝗠𝗔𝗜 𝗔𝗜: 兄妹愛 ┆ Wind Breaker × Reader's┆NII Satoru 〖HIATUS〗Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang