26

31 1 0
                                    

Bab 26 : Awal Mula

🌹🌹🌹

“Emang enggak ada harapan lagi, ya, gue milikin Kara?” Gumam nelangsa itu datang dari Awan.

Lelaki berseragam putih abu yang sejak tadi menarik perhatian kaum hawa oleh penampilan rapinya. Penampilan tak biasa dari Liawan Dwiangga yang acap kali identik dengan ketidakrapian. Entah kancing baju bagian atas sengaja dibuka, atau baju seragam yang sengaja tak diperdalam. Dan sekarang, di hari pertama masuk sekolah, di tahun baru  entah dapat hidayah dari mana pula.

“Baru sadar lu!” Cakra menertawakan sarkas. Setiap ekspresi menyedihkan yang lelaki di sebelahnya tunjukkan seolah candaan tersendiri baginya.

“Dari kemarin-kemarin udah dibilangin jangan banyak berharap sama Kara. Lu kagak mau dengerin,” ujar Cakra meledek.

Awan mendengkus. Lelaki itu membuang muka kala Bagas sudah kembali dari antrian panjang semangkuk bakso. Awan tidak ingin Bagas sampai melihat raut wajahnya yang mengenaskan. Bagas pasti akan meledeknya habis-habisan. Apalagi sebelumnya Bagas sudah tahu bagaimana perasaan Awan pada Kara. Awan masih ingat jelas kejadian di malam 25 desember kemarin. Kala dia mengakui perasaannya secara gamblang pada Kara di depan Bagas, laki-laki pemegang predikat kekasih Kara.

Bagas duduk di tengah-tengah, bangku sebelah kanan kiri diapit oleh Awan dan Cakra. Pandangan kosong menatap lurus Awan. Sementara kepulan asap tipis dari semangkuk bakso cukup mempan untuk Cakra meneguk ludah. Sambel merah pekat plus daging bakso yang empuk kelihatannya menggiurkan lidah.

“Gue cuma mau peringatin, jangan sampai persahabatan kita kacau karena satu perempuan,” kata Bagas, lalu menyantap bakso pesanannya seolah tanpa beban dengan apa yang baru saja bibirnya tuturkan.

Cakra mengangguk setuju. “Sepaket sih sama yang dibilang Bagas. Jangan sampai cuma perkara perasaan lu ke Kara hancurin persahabatan kita bertiga,” ujar Cakra ikut mewanti-wanti.

Awan memutar bola matanya. “Sans aja, Gas. Gue enggak mungkin ribut cuma gegara Kara. Gue juga enggak bakal rebut milik sahabat gue meskipun suka sama dia.” Akhirnya Bagas membuka suara, membela diri agar Bagas atau pun Cakra tidak memojokkannya lagi.

“Lagi pula, ini perkara waktu aja kan buat move on dari perasaan gue ke Kara?” ujar Awan lagi, menatap bergantian Bagas dan Cakra yang seketika memusatkan atensi penuh padanya.

Menghela napas yang terasa menyesak dalam rongga dada, “Gue bakal usahain itu. Gue harap ini cuma sebatas rasa kagum aja supaya enggak butuh waktu lama move on dari Kara,” lanjut Awan.

Cakra menatap iba Awan. Cakra yang biasanya meledek habis-habisan memilih bungkam. Laki-laki itu banyak diam usai Awan mengutarakan perasaannya. Entah terenyuh oleh kata-kata Awan atau justru suasana tidak signifikan yang memaksa. Kenapa kisah cinta yang menyebalkan seperti itu terjadi dalam persahabatan mereka?

Sementara Bagas langsung kehilangan nafsu makan.  Bakso yang baru diicipnya dua butir menganggur di atas meja. Padahal sebelumnya perut Bagas keroncongan sejak jam pertama di kelas tadi. Paginya lupa sarapan soalnya buru-buru nangkring di depan rumah Kara. Ditambah kurang lebih dua jam lelah mendengarkan wejangan dari Bu Kinan, si penerima predikat guru killer yang sialnya jadi wali kelas mereka di tahun terakhir.

Lelaki itu memalingkan wajah. Tak kuasa menatap wajah Awan yang bisa saja membuatnya berempati. Bagas tahu ia begitu egois sampai menutup celah bagi Awan untuk menyatakan perasaannya. Bahkan Bagas sampai berpura-pura menjadi pacar Kara di depan sahabatnya.

Cukup sekali Bagas kehilangan Kara kala gadis itu bersama Reza. Kali ini, Bagas tidak mau kehilangan lagi. Bagas tidak mau merasakan sakit yang sama, menyimpan rasa hampir tiga tahun lamanya. Bukankah sudah cukup sabar Bagas menunggu selama ini?

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang