Chapter I

122 17 2
                                    





























































Chapter I: Sebiji Tanya

Lutut Tina sudah berbalut plester yang dibeli Karan tadi. Bocah itu duduk anteng di belakang sembari nikmati es krimnya sedang Karan sibuk fokus menyetiri sepeda yang tengah mereka tunggangi. Sinar langit sorot wajah Tina yang seputih salju itu, dua potong pipinya bahkan merona bukan main. Tina sangat cantik.

"Kak, terima kasih banyak, ya."

Karan berdeham, "Hati-hati."

Ia menyengir lalu berlari ke arah zebra crossing dan menggandeng tangan seorang wanita paruh baya. Rupanya ia membantu wanita itu menyeberangi jalan. Karan tak paham apa yang ada di dalam kepalanya, pun dengan alasan mengapa ia tak langsung pulang dan malah berdiam diri memperhatikan bocah itu.

Hah ....

***

Jam yang menempel di dinding itu menunjukkan pukul 19.35. Denting tercipta sebab peraduan antara logam dan kaca. Tiada yang bersuara-tiada yang mau bersuara, termasuk Karan. Tak ada pula obrolan makan malam macam keluarga lain di rumah ini. Dingin dan sunyi. Dua menit kemudian, dering ponsel milik sang kepala keluarga pun mengaburkan fokus mereka. Pria itu bangkit dan Karan tahu bakal ada sesuatu yang terjadi setelah kembalinya ia ke kursi miliknya.

Tangannya bergerak menyumbat pendengarannya dengan dua potong earphone putih miliknya. Sengaja disetel dengan volume penuh supaya ia tuli dengan apa yang jadi ribut malam ini. Benar saja, pria kolot itu kembali dan langsung menampar sang ibu. Ricuh terjadi, maka Karan berusaha sekeras mungkin buat tak mengupingi pembicaraan mereka. Ia hanya perlu menyelesaikan makannya dan kembali ke kamarnya dengan segera.

"Lo tolol! Ngapain ambil uang gue tanpa izin?"

"Kenapa nyalahin gue? Gue sama anak lo butuh makan, lo malah sibuk ngumpanin lonte lo itu."

Sejujurnya, Karan benci disebut sebagai anak seseorang, ia lebih senang jikalau dirinya betulan lahir dari seonggok batu. Ah, ia jadi menguping. Beling piring dan gelas jadi satu, mereka berlarian di lantai suci dari atap yang lindungi mereka. Perkara ambil uang tanpa izin untuk sambung hidup, wanita itu dibuat hampir mampus.

Menurutnya, lelaki maupun perempuan tak punya perbedaan yang kental.

Karan bangkit dari kursi dengan membawa alat makannya pergi dari sana. Sungguh, yang ia inginkan hanyalah tidur dengan nyenyak malam ini, esok, dan seterusnya.

***

Satu lagi hari yang mesti ia selesaikan hari ini. Ia menguap lantaran tidurnya yang tak cukup, dirinya dikejutkan oleh sosok bocah mungil yang memeluk tangannya, "Pagi, Kak."

"Iya." Tak tahu mau balas apa, ituah yang keluar dari mulutnya.

"Tina!"

Sang empunya nama pun lantas menoleh, "Kak, aku duluan, ya." Ia melenggang pergi meninggalkan Karan seorang diri.

"Lo deket sama tu bocah?" tanya Inggrid yang tiba-tiba ada di samping bahunya.

Karan pun terjengit, "Nggak deket."

Gadis berambut panjang itu mengangguk-angguk, "Bagusnya jangan, deh."

"Kenapa?"

Inggrid menatap wajah Karan, "What do you mean by 'Kenapa?'?"

"I just wanna know? Don't be so damaticlah?" balas Karan.

Gelak tawa pun keluat dari mulutnya, "Gapapa, sih. Cuma, everyone knows that her mom is ...." Inggrid menggesekkan telunjuknya di dahinya.

"Bodoh amat." Karan meninggalkan Inggrid.

***

Netranya bergulir ke sana kemari cari-cari batang hidung milik si mungil-Tina. Seharusnya ia bisa sampai di rumah dengan segera, namun ia lebih memilih untuk menunggu bocah itu di tempat macam tempo hari mereka bersua. Banyak orang berlari-rebutan pintu yang malah terlihat macam lautan manusia di mata Karan, namun tak seorang pun mirip dengan Tina.

Sudah 15 lamanya ia duduk di atas sepedanya setelah keluarnya ia dari kelas macam neraka itu. Rambut cokelat khasnya itu sampai di mata Karan, ia pun sontak berdiri dan berniat untuk lambaikan tangan untuknya. Kalau gak di-notice gimana? Maka ia urungkan niatnya barusan.

Terlihat, ia tengah tertawa bersama teman-temannya. Tina pun melihatnya dan Karan tertangkap basah, "Kak!" Panggilan itu ditujukan untuknya sebab ia pun melambaikan tangannya. Namun Karan malah mengalihkan pandangannya. Bodohnya ia.

"Nungguin siapa lo?" tanya Inggrid.

"Lo. Ayo ke rumah lo." Ia lantas duduk di belakang Karan. Netranya masih belum terlepas dari Tina, kini ia melihat bocah itu ditoyor oleh temannya, "eh!"

"Kenapa, Ran? Katanya mau ke rumah gue? Kok malah bengong?" tanyanya.

"Nevermind."

Sejak kemarin siang, dirinya terus dibayangi oleh Tina. Entah siapa bocah itu yang berani meminta tumpangan padanya. Ia ingin melihat wajahnya sekali lagi, "Lo melamun mulu kenapa, sih? Di kelas juga, tuh."

"Gak tahu, gue ngantuk," balasnya berdusta. Katakanlah bahwa ini adalah kali pertama bagi Inggrid untuk diboncengi Karan oleh sepedanya, "Rid, kalau ada cewek yang tiba-tiba cegat lo pas pulang sekolah dan minta tebengan pulang ke lo gimana?"

Inggrid berdeham cukup panjang, "Kalau gak gue kenal, I'll skip her."

"Even tho dia luka parah?"

"Who the fuck are you talking about?"

"Gue cuma nanya, Inggrid."

"Gue juga cuma nanya? Why are you being so sensitive today?"

"Ah, nggak tahu."

Tujuannya adalah rumah Inggrid. Ia senang ketika dirinya berbaring di kamar perempuan itu, ia bisa bernapas dengan lega walau hanya dua jam. Inggrid telah berganti pakaian sedang Karan masih asik berbaring di lantai cokelat dalam kamar puan itu.

"Lulus nanti mau ke mana, ya?" celetuk Inggrid, ia pun menoleh, "gue mau langsung cari kerja aja. Lo gimana?"

Pandangannya tertumpu pada sudut langit-langit kamar milik puan itu. Entahlah, ia bahkan belum sempat untuk pikirkan itu barang sekali. Ia tak mau repot-repot melihat kedua orang tuanya beradu bacot lagi.

"Gak tahu, yang pasti keluar dari rumah dulu."

Do You Know My Name? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang