ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤChapter V: Our Tears
Kembali bersama sepeda milik Karan. Tina memangku sebungkus obat yang dibeli Karan barusan. Ia duduk menyamping sedang tangannya tetap berpegangan pada jaket Karan.
“Kemarin langsung mandi, gak?”
Tina mengangguk walau tak sampai ke penglihatan Karan, “Mandi, kok. Kakak sendiri gimana?”
Kini malah Karan yang mengangguk, “Gue makan enak semalam. Jadi selesai itu langsung tidur.”
Bocah itu tertawa, “Syukur kalau begitu. Aku senang kalau Kakak juga senang.”
Jantung Karan berdebar. Entah mengapa kalimat barusan macam memiliki pengaruh lain untuk kesehatan badannya, ia merasa tersihir oleh klausa singkat yang keluar dari mulutnya. Karan senang, sungguh senang.
Ia mencuci kaki dan tangannya manakala sampai di rumah Tina. Bocah mungil itu sibuk menyiapkan dua porsi mi yang dibelinya di tempat Karan bekerja. Sedang puan yang lebih jangkung cuma duduk dan memperhatikan Tina dalam diamnya.
“Kak.” Yang dipanggil pun cuma berdehm sebagai sahutan, “kenapa Kakak mau antar aku pulang waktu itu.” Ia menoleh malu-malu.
Karan balik menatapnya dan terdiam cukup lama, “Entah. Karena lo kelihatan kayak orang yang butuh bantuan. Sekarang gantian, gue yang nanya.”
“Apa?”
“Kenapa lo minta gue buat tebengin pulang bareng? Kita bahkan sama sekali gak kenal waktu itu,” tanyanya.
Tina menyengir, “Cuma Kakak yang nggak langsung menjauh waktu lihat aku. Semua orang—kecuali Kakak, kalau get an eye contact sama aku, pasti langsung pergi gitu aja. Tapi Kakak nggak. I thank God that you were born.”
Lagi dan lagi. Terus-menerus. Semua kalimat yang keluar dari labium mungil bocah itu selalu sukses membikin Karan terkejut. Ia belum pernah merasa beruntung bertemu seseorang selain Nien.
Kalau benar Tina adalah orang yang baik, maka Karan harus berlaku lebih dari apa yang ia dapat dari perempuan itu. Titik-titik air mata pun lolos dari hatinya. Sungguh, di depan Tina saat ini juga, ia menangis.
“Makasih, Tina. Makasih banyak.”
“Kak! Kenapa nangis begitu? Aduh, aku minta maaf, ya?” Tina mencuci tangannya dan menghapus air mata Karan kemudian memeluknya dengan segera. Karan pun balas memeluknya lebih erat.
Karan merasa malu sebab telah menunjukkan sisi lemahnya pada puan yang bahkan baru dikenalnya tiga hari lalu. “Maaf karena nangis tiba-tiba. Gue boleh ke kamar mandi?” Yang ditanya pun mengangguk dengan segera.
Karan menghela napasnya lega manakala pintu kamar mandi berhasil dikunci oleh tangannya yang masih bergetar.
Thanks.
***
Gelak tawanya mengudara, ia benar-benar tak bisa berhenti ketawa saat Tina bercerita tentang masa kecilnya yang dikubur di dalam pasir oleh kedua orang tuanya. “Awalnya aku takut, tahu! Makanya aku gak bisa diam sampai mama kena pasir gara-gara tangan aku,” jelasnya.
“It's okaylah! Anak kecil mana yang gak dapat pengampunan? Lo 'kan masih kecil waktu itu.”
Tina tertawa, “Betul! Walau aku takut, aku suka banget ke pantai, Kak.”
Karan kembali menghela napasnya. Kepalanya ditumpu oleh tangan kirinya sebab kini, ia berbaring di lantai setelah mendapat izin dari sang Tuan Rumah, “Terakhir pergi ke pantai kapan?”
Dahinya mengerut sedang netranya menyorot atap rumahnya, “Sekitar tiga tahun lalu? Waktu aku kelulusan SD deh, Kak. Kalau Kakak?”
Karan pun ikut berpikir, “Kayaknya lina tahun lalu, deh.”
“Udah lama banget, ya?”
Ia pun mengangguk, “Lo mau pergi ke pantai sama orang tua lo lagi gak?”
Mendengar itu, Tina menunduk dibuatnya, “Kalau bisa, aku mau banget, Kak. Sayangnya nggak bisa.”
Dapati jawaban macam itu, makin gencarlah kepala Karan buat mencipta pertanyaan lain, “Kenapa gitu?”
“Papa udah nggak ada di sini. Kalau Kakak belum tahu, mama—”
“Iya, gue tahu. You can cry if you want to.” Karan mengusap rambut bocah itu.
Tina pun tersenyum singkat, “Makasih banyak, Kak.”
***
“Jose!” panggilnya manakala lihat Jose keluar dari toko.
Ia pun menoleh, “Oi, Karan. Tumben baru balik.”
“Mau ke mana lo?”
“Mau balik sebentar, bapak balik.” Begitu ucapnya.
Karan pun mengangguk-angguk mengerti, “Siapa yang jaga toko?”
“Ada perempuan, baru direkrut sama babeh.”
Kalimatnya barusan mampu buat Karan menukik alisnya. “Ya udah, kalau gitu. Gue mau mampir ke toko dulu,” ujarnya.
Jose pun mengangguk dan mulai menyalakan mesin motornya. Ia bergegas pergi dari sana.
Lonceng di pintu toko berbunyi manakala Karan melangkah masuk. Seorang puan pun segera bangkit dari duduknya di belakang kasir, “Selamat da—”
Netra mereka bertemu kemudian Karan mengalihkan perhatiannya. Ia menghampiri salah satu rak makanan dan mengambil satu dari banyaknya produk yang ada di rak itu. Ia memberikan selembar uang berwarna hijau, namun perempuan itu tak langsung menghitung barang yang dibeli Karan.
Karan pun menghela napasnya, “Tolong langsung dihitung.”
“Oh, iya. Ini kembalinya, Kak. Terima kasih banyak.”
Ia mengangguk, “Makasih, ya.”
Karan beranjak pergi keluar toko, namun puan itu mengejarnya dan menarik tangan yang lebih tua, “Kak! Gue minta maaf soal di sekolah tadi.”
Mendengar itu, ia pun menoleh. “Soal apa?” tanyanya.
“Rambut Tina ....” Ia menunduk.
“Syukur kalau lo mengakui kesalahan lo, Diana. Tapi lo gak boleh dekat-dekat sama Tina lagi. Oke?”
“Iya, Kak ....”