ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤChapter IV: Your Eyes
Waktu itu katanya kelas 10-C ‘kan, ya?
Sudah hampir 15 menit lamanya Karan berdiri di depan kelas Tina hanya untuk mengembalikan jaket biru miliknya yang tempo hari ia gunakan untuk hujan-hujanan bersama gadis itu. Seorang teruni hampir menyelonong masuk jikalau Karan tak menahannya dengan segera.
“Sorry, ini kelasnya Tina bukan? Tina Lien?” Gadis itu mengangguk, maka Karan bisa bernapas dengan lega, “kalau gitu, boleh minta tolong panggilin dia gak?”
“Tina lagi gak ada di kelas, Kak.”
“Di mana?”
“Di perpus, sama teman-temannya.”
Mendengar itu, ia langsung bergegas pergi dari sana. “Thanks, ya!” Begitu soraknya.
Waktunya tak banyak. Jam istirahat makan siang harus ia gunakan dengan betul—curi-curi kesempatan buat temu muka dengan Tina. Entah mengapa, kini hatinya menghangat kala melihat gadis itu.
Dibukanya pintu perpustakaan yang jarang dikunjungi orang-orang, ia tak langsung menemukan eksistensi Tina di ruang ini. Maka ia beralih ke sudut lain. Rupanya benar, ia bersama dengan teman-temannya dan apa ini? Memotong rambut di sekolah? Bahkan tawa mereka dapat didengar siapa pun yang ada di dalam perpustakaan. Mengapa pula tak seorang pun mau menghentikan perbuatannya?
“Tina, ini kalau kata ibu gue namanya poni bego. Tahu, gak? Ini cocok sama lo, lho. Poni bego, kayak lo yang bego.” Tawanya melengking, sungguh sakiti indra pendengaran milik siapa pun yang lewat.
“Emo!”
“Iya! Emo banget, hahaha.”
Maka Karan langsung menghampirinya, “Gue juga jago pangkas rambut, lho? Boleh join, gak?” Bisik-bisik dari mereka pun terdengar. Ada yang membilang bahwa dirinya adalah senior mereka, ada juga yang membawa nama Jero, “kok malah bisik-bisik? Jawab, dong”
“Iya, Kak. Boleh.”
Karan menitah Tina untuk bangkit, maka ialah yang kini berhadapan dengan si Perempuan Bermulut Besar itu. “Good. Kalau lo bisa bikin poni bego, gue bisa bikin poni pinter, kayak lo yang pinter banget itu, lho.”
Tanpa permisi, ia mmengambil allih gunting yang ada di tangan perempuan itu dan mulai memangkas habis poni miliknya yang semula cantik, kini menjadi rusak total.
“Cantik, ‘kan?” ujarnya manakala tangannya selesai beraksi, “pendapatnya, dong, Guys?”
“Iya ... cantik ....”
Karan menyengir lalu berbisik, “I hope you like it, Diana.”
Ia menangis lalu kabur dari perpustakaan. Seluruh pengikutnya pun ikut membuntutinya. Karan menarik tangan Tina tatkala ia hendak ikuti setan-setan itu. “Mau ke mana?”
“Dia teman aku, lho, Kak ....”
“Does she thinks of you as her friend?” tanyanya. Namun tiada satu pun jawaban keluar dari mulutnya, “dengar gue. Gue ke sini buat cari lo.”
“Kenapa?”
Karan mengangkat paper bag yang dibawanya, “Jaket lo yang kemarin and I made this.” Ia mengeluarkan dua kotak makan berukuran sedang.
Maka Tina pun berbinar, “Apa itu?”
“Ada deh. Kita makan after we fix it, okay?”
“Okay!” soraknya kegirangan.
Ia pun menyungging senyum setelahnya. Tangannya menarik kursi yang diduduki Tina supaya puan itu bisa lebih dekat dengannya. Perlahan, ia memotong poninya yang tak rata itu dengan gunting yang semula ada di tangan Diana. Ia gugup setengah mati sebab Tina yang terus memperhatikannya.
“Tina, close your eyes, please.”
“Kenapa?”
“Gue lemah sama hal-hal yang cantik.”
Semburat merah lahir di wajah Tina dalam sekejap. Akhirnya ia menuruti permintaan Karan. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri—sudah sangat pantas dirinya untuk bungkam dan menurutinya saja, namun mengapa mulut lancangnya malah berucap demikian? Kurang ajar.
“Selesai.”
Tina pun bercermin dan tersenyum lebar, “Makasih banyak, Kak!”
Sama halnya dengan Karan, ia tersenyum sedang tangannya bergerak mengelus rambut puan itu. “Sama-sama. Buka, nih,” titahnya sembari menyodorkan kotak makannya itu.
“Kakak bangun jam berapa, deh? Kok sempat bikin dua bekal begini?” tanyanya seraya membuka barang yang diterimanya.
“Jam tiga.”
Tina melotot, “Serius? Aku juga selalu bangun jam segitu, sih. Tapi pasti tidur lagi.” Ia tersenyum malu.
Gemas. Sungguh, ia kelewat gemas dengan tingkah laku Tina hari ini, “Lo demam, ya?”
“Tahu dari mana, Kak?”
Karan menghela napasnya, “Gue pegang dahi lo tadi.”
“Ooo ...,” lirihnya lesu. Maka Karan pun memastikan sekali lagi. Ia menempelkan tapak tangannya ke dahi puan itu yang berbalut poni manis dan benar saja, Tina benar-benar demam.
“Nanti pulang bareng, ya.”