Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ㅤ Karan mengetuk pintu rumah Tina. Ia melirik ke jendela dan belum ada tanda-tanda bahwa Tina sudah hidup pagi ini.
Tempo hari, ia mengajak Tina untuk pergi ke sekolah bersama. Maka Karan sudah ada di rumanya saat ini—arloji yang melingkar indah di tangannya itu menunjukkan pukul 5.45.
“Maaf aku lama, Kak.”
Ia segera menghampiri Tina untuk membantunya mengeluarkan sepeda milik bocah itu, “Nggak dibonceng gue aja?” Ia kecewa sangat manakala lihat Tina berusaha mengeluarkan sepeda miliknya.
Yang ditanya pun berpikir sejenak, “Aku belum lancar naik sepeda sih, Kak.” Ia lantas tertawa malu sebab keberaniannya tak dibekali kemampuan.
Mereka pun pergi ke sekolah bersama. Tina terus memegangi jaket yang selalu dikenakan Karan sedang mulutnya tak berhenti mengoceh, ia pun sesekali bernyanyi. Karan yang di depan sana hanya tersenyum tanpa melontarkan sepatah kata pun.
“... come take my arms and go, I'll be yours for sure.”
“Lo tahu lagu itu?” tanya Karan sedikit berteriak.
“Iya! Kakak juga suka?” Begitu balasnya.
“Iya!”
Udara dingin menerpa wajah keduanya, namun mereka tak merasa kedinginan sebab jaket yang melekat erat di tubuh mereka. Karan pun menyodorkan segenggam nasi kepal untuk Tina setelah mendaati jawaban darinya perihal sudahkah ia sarapan pagi ini.
“Makasih banyak, Kak.”
Mereka berdua duduk di tepi danau. Mulut mereka tak henti-hentinya mengunyah sedang dua pasang netra itu menyaksikan matahari yang tengah naik ke permukaan. Indah sangat. Karan harap, Tina adalah matahari pagi yang selalu menyambut paginya. Namun sepertinya hal itu sedikit mustahil bagi Karan.
“Kakak tahu tempat ini dari mana?”
Yang ditanya pun berusaha menelan sisa makanan dalam mulutnya, “Waktu itu gue nyasar ke sini.”
Gelak tawa pun terdengar, maka Karan kebingungan dibuatnya, “Kakak yang pintar ini bisa nyasar juga? Gak pernah aku bayangin Kakak nyasar.”