Chapter VI

87 14 1
                                    






























































Chapter VI: He

Karan mengetuk pintu rumah Tina. Ia melirik ke jendela dan belum ada tanda-tanda bahwa Tina sudah hidup pagi ini.

Tempo hari, ia mengajak Tina untuk pergi ke sekolah bersama. Maka Karan sudah ada di rumanya saat ini—arloji yang melingkar indah di tangannya itu menunjukkan pukul 5.45.

“Maaf aku lama, Kak.”

Ia segera menghampiri Tina untuk membantunya mengeluarkan sepeda milik bocah itu, “Nggak dibonceng gue aja?” Ia kecewa sangat manakala lihat Tina berusaha mengeluarkan sepeda miliknya.

Yang ditanya pun berpikir sejenak, “Aku belum lancar naik sepeda sih, Kak.” Ia lantas tertawa malu sebab keberaniannya tak dibekali kemampuan.

Karan tersenyum dan menghela napasnya, “Ya udah. Kalau gitu, kita berangkat pakai sepeda gue dulu, ya? Nanti pulangnya gue ajarin naik sepeda.”

“Oke!”

Mereka pun pergi ke sekolah bersama. Tina terus memegangi jaket yang selalu dikenakan Karan sedang mulutnya tak berhenti mengoceh, ia pun sesekali bernyanyi. Karan yang di depan sana hanya tersenyum tanpa melontarkan sepatah kata pun.

“... come take my arms and go, I'll be yours for sure.”

“Lo tahu lagu itu?” tanya Karan sedikit berteriak.

“Iya! Kakak juga suka?” Begitu balasnya.

“Iya!”

Udara dingin menerpa wajah keduanya, namun mereka tak merasa kedinginan sebab jaket yang melekat erat di tubuh mereka. Karan pun menyodorkan segenggam nasi kepal untuk Tina setelah mendaati jawaban darinya perihal sudahkah ia sarapan pagi ini.

“Makasih banyak, Kak.”

Mereka berdua duduk di tepi danau. Mulut mereka tak henti-hentinya mengunyah sedang dua pasang netra itu menyaksikan matahari yang tengah naik ke permukaan. Indah sangat. Karan harap, Tina adalah matahari pagi yang selalu menyambut paginya. Namun sepertinya hal itu sedikit mustahil bagi Karan.

“Kakak tahu tempat ini dari mana?”

Yang ditanya pun berusaha menelan sisa makanan dalam mulutnya, “Waktu itu gue nyasar ke sini.”

Gelak tawa pun terdengar, maka Karan kebingungan dibuatnya, “Kakak yang pintar ini bisa nyasar juga? Gak pernah aku bayangin Kakak nyasar.”

“Oh, ya? Pernahnya bayangin gue tentang apa?”

“Eh?” Tina terkejut sebab kini wajah Karan berada sangat dekat dengan wajahnya. Ia pun tersenyum dan menyentil dahi luas Tina, “sakit!”

Karan pun tertawa dan berlari menuju sepedanya yang langsung dibuntuti oleh si mungil. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke sekolah selagi ada waktu.

Kedua puan itu sampai di sekolah dengan tepat waktu. Tina turun dari sepeda itu sedang Karan merapikan pakaiannya.

“Nanti tunggu di depan aja, oke?”

Tina mengangguk dan menunduk. Entah apa yang dipikirkannya, itu sama sekali tak tampak di penglihatan Karan.

Ia memeluk Karan sekejap, “See you later, Kak!”

Mendapati perlakuan macam itu, Karan cuma terkekeh sebab bocah itu telah kabur dengan sangat cepat. Sungguh, Tina Lien sangat menggemaskan.

***

I'll be by your side. It means ....”

I'll be by your side, Tina. Karan menghela napasnya dan mengalihkan pandangan dari buku. Dilihatnya langit yang membiru cantik, nampaknya ia tak memerlukan payung untuk hari ini—namun dirinya tak boleh asal menyimpulkan macam itu, sebab segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini hanya Tuhan yang lebih dulu mengetahuinya.

Semua kalimat yang keluar dari guru magang di depan sana tak dihiraukan. Ia merasa cukup mahir di mata pelajaran Bahasa Inggris, sebab itu ia sombong dan tak mau mendapat materi baru di kelas ini. Hah ... dalam kepalanya hanya ada Tina. Ia tak sabar untuk pulang bersama gadis itu. Bahkan, waktu istirahat pertama pun belum ia lalui.

“... Karan!”

“Iya ... Bu?”

Dihampirinya gadis itu, maka Karan mesti terima apa yang menjadi buah akibat dari tingkah lakunya, “Kenapa melamun? Kamu juga nggak pakai badge, kenapa?”

“Saya belum sempat jahit, Bu.”

“Sudah kelas 12, lho? Selama tiga tahun kamu nggak pakai badge? Kamu ini seorang pelanggar, ya?” tuduhnya begitu.

Karan cuma bisa terdiam keheranan mendapati guru magang tersebut berbeo sesenang hatinya. “Pergi ke ruang guru dan minta badge yang baru!” titahnya, maka Karan pun segera menurutinya.

Kakinya melangkah santai melewati ruang yang disebut sebagai ruang guru itu tanpa memasukinya macam apa yang disuruh guru magang tadi. Ia justru mampir ke toilet dan mendapati beberapa orang tengah bergumul di sana. Ia tak penasaran, maka ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke toilet.

“Ada perempuan ponian rata gak?” ujar seorang puan yang hendak masuk ke toilet.

Karan pun mengangguk, “Lagi dimandiin.”

“Anjing.”

Umpatan tersebut sampai ke teliga Karan. Ia samgat yakin bahwa bocah barusan dan orang-orang yang ada di dalam kamar mandi adalah anak-anak dari kelas sepuluh.  Ia menghela napasnya atas pelakuan tak pantas dari bocah-bocah yang baru saja memasuki dunia SMA.

Karan meluaskan pandangannya, namun ia malah bertemu dengan sosok Jero yang sama kagetnya mendapati berdirinya Karan di sini. Paham akan situasi, Karan pun segera melarikan diri dari sana. Namun sialnya, namanya disebut kencang olehnya.

Sialan.

Do You Know My Name? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang