Chapter II

83 16 0
                                    

Better read this page while
listening to sad song. Thanks.

[Recommendation: Big World, Yerin Baek]





























































Chapter II: Hadiah, Untuk Kakak

Kak, nanti jemput aku pakai sepeda baru Kakak, ya?


Ingat betul ia pada permintaan adiknya yang memintanya buat jemput bocah itu dengan sepeda barunya. Karan baru mahir naik sepeda saat berumur 16 tahun-ia pun meminta pada orang tuanya untuk dibelikan sepeda supaya ia bisa pergi ke sekolah dengan itu.

Kini, dirinya sudah rapi menunggu adiknya di depan sekolah tempat puan itu mengais ilmu. Sudah ada banyak orang yang keluar dari sana, namun netranya sama sekali tak menemukan keberadaan Nien-adiknya. Namun dalam sekejap, seorang bocah mengagetinya dari belakang.

"Dor!"

"Nien, bikin Kakak kaget aja! Kakak panik tahu gak lihat kamu keluar."

Yang diocehi pun terdiam sejenak perhatikan kakaknya, "Kakak cantik banget." Ia tertawa pada detik selanjutnya, "maaf, ya. Nien sudah keluar dari tadi, tapi Tari ngajak jajan di luar."

"Oh, ya? Jajan apa kamu?" tanya Karan. Nien pun mengacungkan belanjaannya, "banyak banget. Kakak dibagi gak?"

Bocah itu pun mengangguk semangat. "Iya, dong! 'kan aku belum kasih kado untuk Kakak."

"Makasih banyak, ya? Ayo naik, sudah ditunggu mama di rumah."

Maka, Nien pun langsung naik ke sepeda Karan. Bocah kelas tiga itu betul-betul ceria. Belum pernah sekali pun ia hapus cengir manis dari kanvasnya itu. Kalau-kalau sedih, ia cuma datang ke kamar Karan sembari membawa guling dan berucap "Kak, aku sedih banget, deh. Tolong peluk aku, ya? Aku mau tidur di sini juga apa boleh?" Sungguh, Karan sungguh mencintai Nien lebih dari dirinya sendiri.

Nien cantik. Perangai dan tutur katanya pun begitu. Semua orang mencintainya, tak heran kalau banyak yang mengenalnya meski cuma di lingkungan rumah dan sekolah. Tak sungkanlah ia buat menolong orang yang membutuhkan walah umurnya baru genap sembilan tahun di bulan depan. Maka tak jarang Karan dibandingkan dengan adiknya sebab tingkah lakunya yang cenderung disebut dingin dan tidak peka akan keadaan sekitar. Kendati demikian, itu tak bakal buat Karan membenci adiknya setitik pun.

"Kak, aku sudah siapin kado untuk Kakak, lho. Aku buatnya di sekolah, dibantu Tari sama Tutu. Terus, Seno sama Sehan pun bantu hias kadonya. Aku punya banyak teman di sekolah, lho, Kak. Padahal Tutu sama Sehan beda kelas, tapi mereka mau bantu aku. Kadonya jadi cantik banget, Kak!" acaunya.

How lucky you're.

Karan tersenyum bukan main. Mendengarnya saja cukup buat hatinya menghangat. "Makasih banyak, ya. Nanti bilangin ke teman-teman kamu kalau Kakak bilang terima kasih, ya? Sekarang Nien pegangan di pinggang Kakak supaya nggak jatuh karena kita mau lewat rel sekarang, oke?"

"Oke!"

Ada banyak orang yang ikut cepat-cepat menyeberangi jalan sejengkal ini, pun dengan Karan yang berusaha membawa sepeda dan adiknya melewati ini. Namun apa yang terjadi? Sepeda Karan putus rantai dan buat mereka berceceran hingga tersangkut di rel. "Nien ayo ke sini! Nggak usah dibawa sepeda Kakak!"

"Ini hadiah Kakak dari mama! Kita pasti bisa bawa sepeda ini, Kak!"

Suara mesin kereta kian terdengar mendekat, jantung Karan bekerja dua kali lebih cepat. Tangannya mencengkram kuat tangan adiknya. "Nien, Kakak gapapa, kok! Ayo, lepas aja!"

"Nien gak bisa, Kak. Kaki Nien tersangkut!"

Demi Tuhan.

Niat hati mau bantu lepaskan rantai itu dari rel, kakinya malah ikut tersangkut di sana. Karan melotot bukan main, ia semakin gencar menarik badan Nien dari sana. Begitu banyak orang yang ikut berteriak dan menonton dari balik palang, "PAK! BU! TOLONG ADIK SAYA!"

Demi Tuhan.

Wajahnya sudah bersimbah air mata, tangannya sudah jadi merah sebab bergesekan dengan seragam milik adiknya, "Kak, kaki Nien sakit banget."

Lolongan dari kereta pun terdengar, Karan jadi tuli sejenak sedang sepasang tangan seorang lelaki membawanya menjauh dari sana. Dalam penglihatannya, Nien menglurkan tangannya-ia pun sama banjir tangisnya macam dirinya. Lantas apa yang orang-orang perbuat? Mereka masih berdiam diri di sana seolah Karan dan Nien adalah tontonan yang wajib sangat buat dipelototi dan disampaikan lewat mulut ke kuping yang tak menonton. Sungguh, macam inikah seorang manusia lahir?

Anjing. Semuanya anjing.

Netra kembarnya terbuka dengan titik-titik air mata di kedua sudutnya. Mimpi itu datang lagi-bukan, bukan mimpi. Itulah yang telah terjadi tiga tahun lalu yang membikin dirinya mogok gunakan sepeda selama satu tahun dan tak lewati jalur yang dekat dengan rel kereta api sampai saat ini. Ia mengusap wajahnya dan meminum segelas air putih yang sudah ia siapkan tadi malam. Dadanya masih berdegup bukan main. Ia pun kembali duduk dan mengatur napasnya.

Presipitasi cair hujami tanah nan belum diinjak Karan pagi ini. Ia belum keluar dari kamarnya sejak makan malam itu. Pikirnya, kedua orang tuanya telah pergi kerja, namun nyatanya, ibunya masih sibuk berkutat di dapur. Rupa-rupanya ialah yang bangun lebih pagi di hari libur ini.

Ia pun bergegas membersihkan badan lalu mengecek ponselnya. Lonceng dari gelang pemberian Nien pun berbunyi manakala kaki basah yang dipeluknya menjejak keluar dari kamar mandi.

ㅤㅤㅤJose

Lo masih di sana?ㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤMasih
ㅤㅤㅤTumben lu udah
ㅤㅤㅤbuka hp jam segini

Berisik, deh.ㅤㅤㅤ
Gue ke sana, ya?ㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤMau tukeran
ㅤㅤㅤshif skrg?

Iya.ㅤㅤㅤ

Yah, ketimbang berdiam diri di rumah dan sarapan ocehan ibunya, lebih baik ia minggat lebih dulu.

Do You Know My Name? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang