ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
ㅤ
Chapter VII: A Life"Kenapa, sih?"
Pergelangan tangan Karan terasa nyeri setelah ditarik paksa oleh Jero yang bahkan tak melihatnya sebagai perempuan. "Kenapa lo menghindar dari gue melulu?" tanyanya.
Pertanyaan barusan mampu mengundang tawa milik si puan. Ia pun heran keberanian macam apa yang digenggamnya sampai-sampai berani melontarkan pertanyaan konyol itu, "Masih bisa nanya, lo?"
Ya, mereka adalah sepasang kekasih—setidaknya sampai lima bulan lalu. Dan selama itu, ia bersembunyi dari orang itu dengan segala upaya yang dilakukannya. Hari-hari di sekolahnya hanya ia habiskan di kelas. Sering pula Jero datang ke kelasnya, namun dengan sigap, teman-teman Karan mencegahnya. Toh, Jero tak bakal bisa memaksa sebab dirinya adalah ketua OSIS. Jikalau berani bertingkah apalagi sampai rahasia yang dipegang Karan terbongkar, mampuslah reputasinya jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Just tell me! Lo kabur gitu aja, gue mana paham?"
"Tolol, masa iya gak paham? Gue udah tahu semuanya. Mulai dari lo yang incar banyak cewek cantik buat dipacarin at the same time. And than you forced them buat ikutin yang lo mau—bikin video syur atau apalah itu najis. Dan lo jual—"
Kalimatnya terhenti manakala Jero menamparnya kuat-kuat. Ia terhuyung begitu saja namun Jero tak mungkin bakal lepaskan ia begitu saja. Tangan kekarnya menarik rambut indah kepunyaan puan itu, "Lo lancang banget, Anjing. Tahu dari mana lo?"
Tak punya kekuatan apa pun, maka Karan meludahi rupanya yang kelewat tampan itu, "Penasaran? Lo penasaran sama itu, hah?"
Jero melepas cengkramannya begitu saja hingga gadis itu jatuh ke lantai. "Nggak penting, sih. Tapi apa jadinya kalau kabar tentang bokap lo yang suka main sana-sini gue sebarin saat ini juga?" ancamnya.
"Do it. Gue sama sekali gak peduli sama apa yang bakal lo lakuin. Kalian berdua 'kan nggak ada bedanya. Lo sebarin berita itu, me neither, Jero. I have plenty of evidence of that.”
Begitulah kalimat yang dilontarkannya untuk bajingan itu. Karan tak takut, ia lelah bersembunyi dari Jero yang terus berpura-pura lugu dan tak tahu apa salahnya pada Karan. Karan tak bisa lagi ditindas, ia tak mau.
***
"Itu luka, ya, Kak?" tanya Tina.
"Bukan."
Tina pun bungkam mendapati jawaban macam itu. Karan macam tak berselera diajaki bicara. Ia pun memilih untuk diam dan terus menunduk—dirinya tak berani buat menatap wajah Karan yang nampaknya sedang tak ada dalam perasaan yang baik. Apa pun itu, pasti ada yang terjadi padanya dan dirinya mesti menanyakan itu nanti.
Berulang kali ia mencoba mengendarai sepeda milik yang lebih tinggi, maka berulang kali juga ia jatuh dan membentur tanah. Sekali lagi ia mencoba, tangan Karan pun membantunya dari belakang, "Pelan-pelan aja, jangan takut."
Nihil, ia jatuh kembali dan kini lututnya malah merembaskan darah. Tina mendudukkan dirinya dan mengecek luka di kakinya. Kedua lututnya betul-betul berdarah. Perlahan, ia menangis sembari menunduk supaya tak diketahui oleh Karan. Perempuan tinggi itu menghampirinya dan duduk di sampingnya, "Sakit?"
Bibirnya terasa kelu—yang ia tangisi bukanlah sebab luka di lututnya, ia terus memikirkan Karan dan itu buat dirinya tak fokus dalam belajar mengendarai sepeda itu. Ia hanya mengangguk sebagai responnya.
Mendapati respon macam itu, Karan pun menghela napasnya dan mengambil plester yang ia beli di warung tadi. Dirinya hendak memasangkankannya, namun bocah yang tengah menangis itu menginterupsinya, "Tapi yang bikin aku nangis bukan karena sakit." Ia tampak kebingungan, maka Tina kembali berucap, "aku nangis karena kayaknya Kakak kesal dan nggak mood buat ajarin aku hari ini."
Karan terkejut bukan main, ia membeku sejenak mendengarkan semua kalimat yang keluar dari mulut mungilnya itu. Ia lantas menghela napasnya lalu mengusap wajahnya, "Memang ada yang bikin gue kesal hari ini, tapi itu bukan karena lo, kok." Tangannya bergerak menempelkan plester di lutut Tina lalu tersenyum canggung dan mengacak rambut bocah pendek itu, "gue minta maaf, ya?"
Tina ikut mengangguk dan menyeka air matanya, "Aku juga minta maaf karena susah diajarin."
"Nggak apa-apa, ayo coba lagi."
***
Langit telah menggelap, maka Karan menyegerakan diri buat pulang ke rumah. Sepedanya melaju dengan cepat sedang di telinga sepeda itu tergantung plastik putih yang berisikan tiga buah jeruk. Ia menghentikan laju sepedanya manakala sepasang netranya dapati seorang wanita berpakaian minim tengah berusaha buat menyeret badan ayahnya dari dalam mobil hitam ayahnya.
Ia berjalan perlahan menghampiri mereka dengan plastik putih yang mencengkram tangannya. Wanita berbibir merah itu menatap Karan dan mengharap bantuan darinya, namun dirinya masih membeku memperhatikan mereka.
"Nak, tolong bantu saya," pintanya sambil menyengir. Namun setelah melihat raut wajah gadis yang ada di hadapannya, ia pun lebih memilih buat menyeret badan pria itu seorang diri sedang Karan yang masih berdiam diri pun mulai menangis.
Wanita itu menyisir rambutnya dengan tangannya dan berjalan ke arah Karan. Ia lantas menyodorkan sepotong sapu tangan putih untuknya. Dengan segera, tangan yang lebih kurus itu menepisnya hingga lembar kain itu jatuh menyentuh tanah, Karan pergi begitu saja meninggalkan wanita itu dengan seribu kebingungan dalam kepalanya.
Karan langsung menutup pintunya tanpa memedulikan ayahnya yang masih ada di teras rumahnya. Begitu pintu tertutup, tangisnya makin pecah walau tanpa suara. Jaketnya tak lagi menutupi bahunya—hanya sebatas sikunya, ikat rambutnya tak lagi rapi, pun dengan wajahnya yang jadi kacau bukan main sebab tangisnya.
Ia menutupi mulut dengan tangan kanannya yang masih terbalut jaket. Susah hati ia menahan agar suaranya agar tidak lolos, hatinya malah berusaha keras buat berteriak.
Karan menyandarkan punggungnya pada dinding yang ada di belakangnya dan perlahan menjatuhkan bokongnya di atas lantai. Dadanya ia pukuli sekuat tenaga dengan harap, sesak di dadanya cepat menghilang. Seharusnya Karan tak merasa kecewa apalagi sesak dada sampai macam ini, entah mengapa menyaksikan itu dengan mata kepalanya sendiri membuat hatinya jadi meledak.
Sebetulnya, siapa yang memimpikan kehidupan macam ini?