KEMATIAN TAIRA MEMBUAT seisi desa diselimuti kabut kesedihan yang teramat pekat. Semua orang memasang wajah sedih yang teramat kental. Tentu, keluarga yang ditinggalkan mengalami derita paling parah.
Harumi tak henti meneteskan air mata sejak melihat suaminya dalam bentuk sebujur bangkai. Sepasang matanya yang sipit dengan iris hitam itu terus memancarkan duka dan luka. Bibir tipisnya sudah memucat, tetapi tak henti melengkung ke bawah dengan bagian dalam yang digigit agar meredam isakan.
"Yang sabar ya, Nak," katanya pada sang putra.
Padahal yang harus lebih banyak bersabar itu dirinya, karena wanita bertubuh tinggi kurus itu terlihat amat terpukul. Sampai-sampai setiap warga yang melihatnya merasa begitu iba.
Kepergian Taira jelas sebuah pukulan besar. Sekarang untuk sementara, desa tak memiliki sosok pemimpin setangguh Taira, meskipun sudah ada yang menggantikannya—yang ditunjuk dengan keadaan terdesak.
"Nyonya, seluruh acara persiapan telah selesai dilakukan. Kita sudah bisa melanjutkan ke acara utama."
Laporan dari sang pemimpin pemakaman yang merupakan seorang pria tua berjanggut panjang, sedikit membuat Harumi terkejut. Wanita itu masih asyik bermain dengan Taira dalam khayalannya. Namun, kenyataan menampar dengan keras, membuatnya tersadar bahwa sosok yang dikagumi telah dijemput kematian.
Harumi menghela napas berat. "Baiklah. Kita bisa memulai acara," katanya.
Dia lalu mengajak Tomo untuk berjalan mengikuti sang pemimpin pemakaman.
Kediaman mereka telah dibersihkan dari mayat dan bercak darah yang mengotori. Meski begitu, jelas saja semua kekacauan itu seolah-olah masih ada, bahkan tak akan bisa terhapus meski ratusan tahun kemudian.
Sementara itu, jasad Taira dibawa dan disemayamkan di alun-alun desa. Dikunjungi oleh hampir seisi penduduk yang ingin menyampaikan bela sungkawa sekaligus melepas kepergian pemimpin yang mereka hormati.
Sebagian besar penduduk desa telah berkumpul, membuat barisan yang rapi dengan muka-muka tertunduk sedih.
Dengan hati yang teramat berat akan keikhlasan serta sesak oleh duka, Harumi mencoba menegarkan diri. Kedua tangannya memeluk leher Tomo yang berdiri diam di dekatnya, menyaksikan langsung prosesi kremasi sang ayah.
"Maaf, Nona," seorang penduduk menghampirinya, "ini merupakan benda peninggalan Ketua." Disodorkannya sebuah pedang bersarung hitam dengan corak yang amat dikenali Harumi.
Namun, kedua tangan Harumi sama sekali tak terulur untuk mengambil pedang milik mendiang suaminya. Dia hanya menatap kosong ke arah benda itu, menerawang jauh pada kenangan-kenangan yang begitu lekat.
"Tolong bakar saja bersamanya," kata Harumi usai memberi jeda cukup panjang.
Pria ber-hakama hitam yang menyodorkan pedang itu sedikit mengangkat pandangan, sebelum kembali menundukkan kepala dan mengangguk. "Baik, Nona, titahmu akan saya laksanakan."
Lantas, dia kembali undur diri sambil tetap membawa pedang andalan milik mendiang Taira. Pria itu berjalan mendekati jasad Taira yang sudah dibersihkan dan diletakkan tepat di atas kayu pembakaran yang dirapikan.
Jasad Taira sudah siap untuk melalui tahap penyucian. Maka, ketika api pertama dari obor yang dibawakan sang pemimpin pemakaman menjilat bagian kayu di bawah tubuh Taira dan mulai menciptakan kobaran, suasana mendadak hening.
Selamat jalan, suamiku.
Harumi jelas mati-matian menahan kesedihan yang bergejolak di dadanya. Kobaran api memantul di sepasang matanya yang bengkak dan memerah. Semua terlalu mendadak untuknya. Meski sebagai seorang istri pemimpin klan, dia harus menyiapkan diri untuk hal ini yang bisa kapan pun terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN
Fantasy[DUMAYSIA UNIVERSE PROJECT] Dumaysia Universe, tempat para Pure atau manusia berkekuatan super dan organisasi-organisasi elite bersemayam. Mereka mencari, melawan, merampas, dan terus bersaing demi ambisi-ambisi gila. Di antara keramaian kota, ters...