"NAK, TOLONG SELAMATKAN Ibu!"
Tomo mengerjap membuka mata. Dia turun dari tempat rebahannya sambil mengucek mata. Suara ibunya barusan terdengar begitu jelas.
"Nak, leher Ibu sakit."
Suara itu berasal dari ruang tengah, terdengar pelan dan menyayat.
"Nak, balaskan dendam Ibu terhadap mereka!"
Wanita itu tampak masih ada di sudut ruangan, dengan kondisi yang masih sama saat hari kematiannya.
"Ibu ....."
Tangan Tomo terulur ke udara, menangkap sesuatu yang kosong, yang di bayangannya barusan adalah wajah kesakitan sang ibu—dalam bentuk sepenggal kepala.
Pria itu menghela napas, lantas beranjak bangun dan meninggalkan pembaringannya. Dia menggeser pintu kayu yang masih bergaya sama seperti ibunya masih ada.
Beberapa tahun telah berlalu, tetapi setiap patahan kenangan itu begitu melekat dan abadi dalam kepala, bahkan dalam benda-benda yang pernah bersinggungan dengan mendiang sang ibu.
Tomo mengusap wajah dengan kasar. "Bu, aku merindukanmu," bisiknya pilu.
Kalimat itu entah sudah berapa kali dia sebutkan. Hanya saja, setiap malam sekarang terasa berat baginya. Bayangan kematian sang ibu terus menghantui kepalanya, membuat setiap detiknya tak tenang. Hatinya pun hanya dilingkupi kesedihan, duka, dendam, dan ratapan.
Sekarang rumah luas yang dulu terasa hangat ini telah begitu sepi. Tak ada lagi sosok yang menghangatkan. Tak ada lagi aroma masakan lezat yang membuat cacing-cacing di perut berdemo. Tak ada pula suara lembut seorang wanita yang selalu melantunkan larik-larik kesedihan. Setiap ruangan sekarang terasa begitu kosong dan hanya dipenuhi kesedihan.
Kejadian pembantaian desa beberapa tahun lalu makin menambah derita yang ditanggungnya. Selain ibu, rekan-rekannya pun turut menjadi korban. Sekarang tak ada lagi panggung pementasan, decakan kagum penonton, atau sanjungan dari orang-orang yang mengagumi dirinya.
Namun, meski ada pun, Tomo tak akan bisa kembali ke panggung untuk melakukan kegiatan yang disukai ibunya. Dia tak akan pernah bisa karena seluruh semangatnya telah terenggut. Harapannya untuk hidup pun telah tiada.
Kehilangan sosok ibu membuatnya begitu terpuruk.
Suara ketukan membuat Tomo yang baru saja tertidur dengan menyandar ke dinding, sigap terjaga. Refleks pria itu mengambil pedang White Oni yang tak pernah jauh dari tubuhnya.
Ada yang datang dan Tomo menganggap itu musuh. Maka, dia setengah mengendap dengan pedang siap terayun saat melangkah ke pintu depan.
"Tuan Tomo?"
Tomo terkaget, sama kagetnya dengan pria yang ada di depannya itu. Ah, ternyata dia hanya penduduk biasa yang sepertinya memiliki kepentingan padanya.
"Ada apa?" tanya Tomo usai berdeham canggung. Hampir saja pedang yang dia pegang menyabet leher seorang pria tak berdosa.
"Maaf mengganggu pagi-pagi," katanya sungkan.
Hari memang telah berganti. Suara burung-burung yang berkicau terdengar di atas sana. Langit pun membiru cerah, tanpa awan-awan putih tipis yang biasa menghiasi. Udara terasa segar saat menyapa penciuman. Namun tetap saja, semua itu tak memberi energi positif pada Tomo.
Tomo mengangguk. Wajah suramnya membuat pria itu tampak makin sungkan.
"Tuan Daisuke meminta Anda untuk datang ke kediamannya," lanjut pria ber-hakama hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN
Fantasy[DUMAYSIA UNIVERSE PROJECT] Dumaysia Universe, tempat para Pure atau manusia berkekuatan super dan organisasi-organisasi elite bersemayam. Mereka mencari, melawan, merampas, dan terus bersaing demi ambisi-ambisi gila. Di antara keramaian kota, ters...