Hujan deras menggguyur bumi tepat setelah Alia dan Rozan selesai makan malam.
"Kali ini giliran saya yang cuci piring, Nduk. Sampean kan sudah sejak tadi mengerjakan pekerjaan rumah." Rozan mengambil piring dari tangan Alia yang hendak dibawa ke wastafel.
"Ini kan juga bagian dari tugas saya, Mas. Njenengan malah lebih capek seharian bekerja. Belum istirahat, to?" Alia mengelak.
"Sudah, kamu duduk manis saja di situ, biar saya yang cuci piring. Ibu hamil tidak boleh terlalu lelah. Kasihan adik."
Kalau sudah membawa jabang bayinya, Alia mengalah. Perempuan itu membiarkan suaminya mencuci piring.
Takdir yang Tuhan berikan memang selalu indah, meski pada awalnya kita sering kali enggan menerima atas jalan cerita yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Tapi, di sinilah Alia sekarang. Berada di dalam rumah yang benar-benar nyaman karena di dalamnya terdapat seorang imam yang paham akan makna saling. Alia tidak tahu bagaimana hidupnya saat ini jika saja waktu itu ia menolak permintaan abah.
"Mas," panggil Alia.
"Iya, dalem, Nduk." Rozan menoleh sebentar ke belakang lalu kembali menggosok piring dan gelas kotor dengan spons.
"Tadi Mbak Ratih telpon."
"Lalu, apa kata Mbak Ratih?"
"Ya seperti biasa, menanyakan kabar. Sama nanya acara buat tujuh bulanan adik bagaimana? Jadi dilaksanakan bulan depan atau tidak? Karena Mbak Ratih kepengen kesini."
Rozan menyelesaikan pekerjannya lalu mencuci tangan. "Kalau menurut perhitungannya sih bulan depan sudah memasuki bulan ketujuh kehamilan sampean ya. Kemungkinan besar tetap jadi diadakan bulan depan. Tapi untuk tanggal pastinya saya belum bisa tentukan. Coba besok saya matur sama bude dulu, ya," tutur Rozan sembari mengelap tangannya yang basah.
Alia mengangguk. "Iya, Mas. Besok kita kabari Mbak Ratih lagi kalau sudah ketemu harinya."
"Iyaa.."
Rozan menghampiri Alia yang masih duduk di kursi makan. "Ini tempe gorengnya saya makan lagi, ya," ucap Rozan yang langsung mencomot tempe goreng tepung di meja makan.
"Mas, duduk.." Alia mengingatkan. Pasalnya, Rozan memasukkan potongan tempe goreng itu ke dalam mulutnya dengan keadaan berdiri. Rambutnya juga acak-acakan, sepertinya belum disisir sejak selesai mandi tadi.
"Iya sayang." Rozan duduk berhadapan dengan istrinya.
"Mas masih lapar?"
"Tidak. Hanya saja sayang sekali kalau tempe goreng seenak ini harus dibiarkan dingin, nanti kalau kelamaan bisa basi.."
Alia mengangguk sambil terus memandangi suaminya.
"Kenapa melihat saya seperti itu? Saya ganteng, ya?" tanya Rozan sembari menyisir rambutnya dengan jari.
"Apa sih, Mas? Sejak kapan jadi narsis banget?"
"Tapi memang saya ganteng, kan? Tolong jangan jawab enggak."
Alia berdiri untuk menghampiri suaminya, lalu menyisir rambut Rozan dengan jarinya. "Mas jangan potong rambut dulu, ya. Saya suka kalau rambut mas sedikit panjang seperti ini."
Rozan berhenti mengunyah tempe, dia merasa heran dengan sikap istrinya. Padahal biasanya perempuan itu akan mengomel jika rambunya sudah mulai menyentuh telinga.
"Tumben, Nduk."
"Nggak tahu juga, Mas. Tapi saya lagi suka sama model rambut mas yang seperti ini. Kalau mau ke salon jangan dipotong dulu, ya. Cukup dirapihin sedikit aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Alia 2
Teen FictionJika Tuhan tidak pernah keliru dalam menentukan takdir, lalu apakah bertahan dalam keadaan ini adalah pilihan yang paling baik?