Halusinasi

578 60 14
                                    

Alurnya maju mundur ya. Menceritakan masa lalu dan masa kini

★★★

Pemuda itu melakukan rutinitasnya selayaknya orang normal kebanyakan. Dan Kavi menjalani harinya dengan kabut suram yang terus berada di sisinya. Hidup memang harus terus berjalan. Dunia telah menghukumnya atas perbuatan yang ia lakukan di masa lalu. Pemuda kelahiran Bandung itu mengembuskan napas kasar. Matanya berpendar ke segala sisi ruang kamarnya. Ada beberapa foto kebersamaannya dengan seseorang yang kini tak mampu Kavi jangkau.

"Kara, gue pengin nyusul lo," lirihnya.

Kamar ini bukan miliknya, melainkan kamar milik Kara, saudara kembar yang kini pergi untuk selama-lamanya. Diraihnya bingkai fotonya bersama Kara. Hatinya selalu mencelos mendapati kenyataan bahwa tak ada satu pun foto terbaru mereka. Semua karena kejahatannya di masa lalu.

"Gue pergi ke sekolah dulu, Kara."

Kavi memeluk bingkai foto itu seakan ia tengah memeluk saudara kembarnya. Pemuda itu memang terlihat bersikap biasa saja di depan semua orang. Namun ketika dirinya mulai sendiri, Kavi akan terus merutuki segala kesalahan di masa lalu. Bahkan tak segan ia sering menyakiti dirinya sendiri. Hal itulah yang membuat Nathan menjauhkan segala jenis benda tajam yang bisa dijangkau saudaranya.

***

"Kav, gue pinjem catatan lo boleh, nggak?"

Seorang pemuda duduk di samping Kavi. Namanya Biru Anggara. Teman Kavi sejak duduk di bangku sekolah dasar. Pandangannya mengarah pada temannya yang sejak tadi hanya diam lengkap dengan raut datarnya.

"Biar gue ambil sendiri." Pemuda bertubuh jangkung itu menangkap raut suram di wajah sahabatnya. Dan ia sudah sangat terbiasa dengan perangai Kavi yang baru ini.

Biru Anggara tahu beban berat yang dipikul Kavi Aries Senja.  Tentang luka dan penyesalan seumur hidupnya.

Kavi tak menanggapi segala ocehan sahabatnya yang terkenal cerewet ini. Pikirannya kembali tertarik mundur dan dipaksa mengingat semua kenangan masa lalunya bersama Kara. Guru yang mengajar Matematika izin karena sakit, jadi pemuda berkulit putih pucat itu semakin dibuat hanyut dalam lamunannya. Tentang jutaan rasa sakit yang ia lemparkan pada sosok yang kini telah dipeluk damai oleh bumi.

***

"Biru, Kavi ada di rumah lo, nggak?"

Nathan menempelkan gagang telepon rumahnya. Pemuda itu melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Namun kakak tirinya belum menunjukkan batang hidungnya.

"Nggak ada. Lo udah cari di rumah Kara?"

Nathan menggeleng meski Biru di seberang sana tak melihatnya. "Gue udah cari di sana. Tapi Kavi nggak ada."

Perasaan gelisah mulai bergelayut di hati pemuda 16 tahun itu. Biasanya Kavi memang akan berlama-lama pergi ke rumah Kara. Namun ketika tadi Nathan mengecek, Kavi tak ada.

Hati Nathan tak tenang. Takut kakak tirinya kembali berbuat nekat lagi sama seperti beberapa minggu lalu. Ia nyaris kehilangan saudara satu-satunya karena Kavi nekat memotong urat nadinya.

"Ya udah kalau gitu. Ma--"

Ucapan Nathan terpotong saat mendengar bunyi pintu terbuka. Seseorang yang sejak tadi ia khawatirkan melangkah lunglai ke dalam rumah. Keadaannya tak jauh beda seperti hari-hari sebelumnya. Hanya saja jejak air mata masih bisa Nathan tangkap dari kedua manik kembar itu. Tapi ada yang janggal. Ada setitik lengkungan ke atas di bibir kakak tirinya.

Kavi senyum?

"Lo abis dari mana, Kav?"

Kavi menunduk. Bibirnya terasa kelu hanya untuk sekadar membuka suara. Dan Nathan tak berniat memaksa kakaknya untuk menjawab. Baginya, Kavi pulang dalam keadaan selamat itu sudah menjadi hal yang sangat ia syukuri. Pemuda itu membawa kakaknya menuju kamar untuk beristirahat.

I'M SORRY, BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang