Penyesalan Mereka

176 33 9
                                    

Pendek dulu ya. Soalnya lupa banget aku punya cerita ini. Harus bangun feel lagi buat cerita ini. Semoga next part lebih baik

***

Kavi hanya seorang diri di ruangan ini. Seharusnya satu ruang rawat VIP kelas satu diisi oleh 2 pasien. Hanya saja Nathan ingin yang terbaik untuk sang kakak. Apalagi Kavi bukan orang yang nyaman dengan orang baru.

Kini cowok beralis tebal itu tentah menatap lurus ke depan. Lagi-lagi sedang dalam pandangannya ada Kara yang tengah menggenggam tangannya.

"Kav, jangan sedih. Gue kan nggak pergi."

Kavi mendengkus kesal. Sejak tadi cowok itu memang tengah mengabaikan atensi Kara. Sebuah perdebatan kecil tadi terjadi di mana Kavi berniat kabur dari rumah sakit jiwa ini. Namun Kara menentang keras keinginan sang kakak.

"Kav, kalau lo kabur, kasihan Nathan nanti."

Mendengar nama Nathan entah kenapa membuat emosi Kavi memuncak. Cowok itu tanpa sadar meluruhkan air matanya. Ada emosi dan penyesalan yang semakin memeluk hati. Kenangan masa lalu di mana ia mulai menggores luka di hati Kara kembali menguar.

"Gue benci Nathan, Kara. Gue juga benci diri gue sendiri!"

Kara dalam pandangan Kavi mulai menunjukkan raut panik. Namun kali ini Kavi tak mampu menguasai emosinya. Tangannya dengan kasar memukul kepalanya. Seolah berusaha mengenyahkan segala kabut yang kini membayangi otaknya.

"Gue pantes mati, Kara. Mending mati aja."

Mata Kavi bergerak gelisah. Berusaha mencari sesuatu untuk mewujudkan pemikiran gilanya. Tak ada apa pun yang bisa membuatnya terbebas membuat Kavi semakin merasa frustrasi.

"Kavi, ada gue di sini. Gue nggak akan ninggalin lo. Please, jangan bikin gue makin ngerasa bersalah."

Suara Kara masih tak membuat Kavi tenang. Kini dalam otaknya hanya ada satu pemikiran. Dan hal itu membuat Kara semakin dibuat panik. Saudara kembarnya terlihat membenturkan kepalanya di tembok yang ada di belakang ranjangnya.

Seakan tak peduli oleh rasa sakit, Kavi masih tak berhenti menyakiti dirinya sendiri. Darah pun mulai keluar dari pelipisnya.

"Astaghfirullah, Mas. Ners, tolong bantu saja pegangin pasien."

Beruntung ada dokter dan ners yang datang di waktu yang tepat. Mereka berjibaku menangani Kavi yang masih berusaha memberontak. Hingga satu suntikan mendarat di lengan Kavi karena cowok itu tetap berusaha menyakiti dirinya sendiri.

"Suruh Mas Nathan datang besok, Ners. Kita perlu mendiskusikan keadaan kakaknya ini."

Mata Dokter Gian terpaku pada Kavi yang kini telah memejamkan mata. Sang ners mengangguk paham di sela ia yang mengobati luka di kening Kavi. Hati dokter itu ikut terluka melihat anak muda di depannya ini yang harus kehilangan masa depan karena menanggung sesalnya. Dokter Gian cukup tahu perjalanan hidup pasiennya yang satu ini.

Tentang nasib tragis yang menimpa Kara dan tentang penyesalan yang dipeluk Kavi.

***

"Buat apa lo ke sini?"

Nathan menelan salivanya sulit. Cowok yang tampak tampan dengan balutan celana jeans dan kemeja flanel itu mengusak helaian rambut kemerahannya. Nathan sengaja datang setelah pihak rumah sakit jiwa memberitahukan aksi nekat Kavi yang berniat bunuh diri.

"Kak, gue--"

"Gue bukan kakak lo. Adek gue cuman Kara."

Nathan mengangguk singkat. Cukup sadar diri karena memang dirinyalah sumber kehancuran sepasang saudara kembar itu. Matanya memandang sendu pada Kavi yang sesekali menoleh sembari tersenyun, seolah ada sosok lain yang ada di sampingnya.

I'M SORRY, BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang