Janji Kavi

342 46 30
                                    

Bandung, April 2012

Dua tahun berlalu sejak vonis mengerikan itu. Si kembar kini telah berusia 10 tahun. Kavi tumbuh menjadi anak yang aktif. Meski masih bocah, namun lingkungan pertemanannya cukup luas. Banyak anak seusianya yang ingin berteman dengannya. Itu semua karena pembawaannya yang ceria dan ramah. Siapa pun pasti ingin berdekatan dengannya.

Berbanding terbalik dengan Kara yang harus menelan nasibnya tanpa mampu melawan. Bocah itu hidup dalam keterbatasan. Setiap saat bisa saja menjadi detik terakhir dalam hidupnya. Kara sudah mencoba untuk mengajak bermain teman sekelasnya, namun mereka memilih menjauh karena ia seringkali pingsan saat kelelahan. Hanya ada satu orang yang mau berteman tulus dengannya.

"Obat kamu udah diminum, Kar?"

Dia Daffa Adrianata, bocah manis yang memiliki lekuk manis di kedua pipinya itu yang kini menjadi teman satu-satunya Kara. Bocah itu bahkan yang menawarkan sebuah persahabatan.

'Kamu Kara kan? Ayo jadi sahabat aku.'

Tentu saja Kara dengan senang hati menerima permintaan ikatan persahabatan itu. Terhitung sudah satu tahun mereka bersama.

"Aku males minum obat. Bosen sama pahitnya."

Kara mengerucutkan bibirnya. Mata bulatnya telah berkaca-kaca. Sudah dua tahun lamanya obat menjadi teman setia bocah itu. Bahkan sudah sejak lama kedua orang tuanya mengatur semua makanan yang harus ia konsumsi. Keduanya memang kini ada di taman dekat rumah Kara. Beruntung izin dikantongi asal bersama Daffa.

"Jangan gitu, Kar. Nanti Tante Rosalia marah loh."

Air mata Kara akhirnya menetes juga. Disinggung soal Rosalia, tentu saja hati kecil bocah itu kembali menjerit. Ingin memberontak. Sejak vonis itu, sang mama seolah berubah padanya. Amarah menjadi satu-satunya wanita itu luapkan saat Kara mulai bandel tak mau menurutinya.

"Gini, deh. Kalau kamu mau minum obat, nanti aku beliin alat gambar lagi. Kamu mau?"

Mendengar kata alat gambar membuat mata Kara berbinar. Bocah itu memang sangat suka menggambar apa pun. Kebosanan karena kedua orang tuanya membatasi aktivitasnya membuatnya memilih mengisinya dengan gambar.

"Mau!"

Daffa tersenyum puas. Bocah itu pun meraih sebuah tas kecil yang Kara bawa. Isinya hanya obat-obat yang biasa dikonsumsi. Dalam hati Daffa tak tega melihat sahabatnya harus menelan pil-pil ini setiap hari.

"Ini minum dulu. Abis itu langsung cepet-cepet minum air putihnya."

Kara mengangguk. Bocah itu dengan cepat berusaha menelan 3 obat yang diberikan Daffa. Lantas setelahnya buru-buru meminum air putih yang disodorkan Daffa. Kara adalah bocah yang memang belum begitu bisa menelan obat. Bahkan terkadang ia akan memuntahkannya.

"Adek, ayo pulang. Mama udah nyariin."

Saat keduanya kembali akan menikmati waktu sorenya, Kavi datang menjemput. Raut suram pun terlukis di wajah Kara. Padahal bocah itu belum puas bermain di taman. Namun jika mengingat mamanya yang pasti akan marah jika ia bandel, bocah itu pun hanya menurut.

"Sini Abang gendong, biar Adek nggak kecapekan."

Sejujurnya Kara memang cukup lelah. Padahal ia tak banyak melakukan aktivitas. Sedikit merutuk betapa payah tubuhnya. Bocah itu lantas naik ke atas punggung sang kakak kembar.

"Daff, kita pulang dulu ya. Makasih udah ajak main adek aku."

Kavi pun mulai melangkah santai sembari menggendong sang adik. Sepanjang perjalanan, mereka asyik mengobrol. Menceritakan aktivitas mereka hari ini. Walau Kara dalam hati menyimpan rasa iri karena mendengar cerita kakaknya yang bisa bermain bebas di luaran sana, namun bocah itu tak berniat untuk mengutarakan. Bahagianya Kavi adalah bahagianya juga.

I'M SORRY, BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang