Tak Ingin Mama Baru

171 27 5
                                    

🅺🅾🅼🅴🅽 🆈🅰, 🆂🅰🆈 ^^

♡♡♡

Bandung, 27 September 2014

"Kamu kenapa keliatan sedih?"

"Mama pergi karena aku. Kalau aku nda sakit, Mama pasti nggak pergi."

"Tapi kata papaku, sakit kan bukan mau kita."

Mereka duduk depan kantin SD. Obrolan itu bermula saat salah satu bocah berlesung pipi menggemaskan melihat ada bocah yang duduk sendiri sembari memasang wajah muram. Tentu saja ia penasaran dan ingin menghiburnya. Kata sang papa, ketika ada orang yang bersedih kita harus menghiburnya. Maka inilah yang akan coba ia lakukan.

"Tapi semenjak aku sakit mama selalu sedih dan marah-marah sama aku. Terus dia pergi dua tahun lalu."

Bocah polos itu berbicara sembari menunduk. Kara merasa kehadirannya adalah beban bagi semua orang. Hal itu sudah ia rasakan sejak pertama kali ia pingsan. Mama Rosalia jadi sering menangis dan marah-marah. Sang papa tak pernah beristirahat dengan puas karena mengurusnya. Kavi pun tak dapat bermain dengan teman sebayanya karena sang kakak kembar yang selalu menemaninya.

"Tuhan itu sayang kamu. Buktinya kamu dikasih sakit. Kata papaku, sakit itu bikin dosa kita hilang."

Kara sontak mendongak. Dilihatnya bocah seumurannya itu tengah menatapnya hangat. Cukup dewasa untuk anak seusianya. Bocah menggemaskan dengan lengkungan kecil menghiasi pipi itu menyodorkan tangan kanannya hingga membuat Kara bingung.

"Ayo temenan. Namaku Jean. Aku baru aja pindah sekolah di sini."

Kara tercenung. Selama ini memang tak pernah ada yang menawarkan pertemanan karena tak ada yang mau berteman dengannya. Bocah 10 tahun itu harus dipaksa menjalani masa kecil yang suram.

"N-Nama aku Kara," Kara membalas uluran tangan Jean, "kamu serius mau temenan sama aku?"

Keraguan tentu saja ada dalam hati Kara. Bocah itu merasa tak memiliki kelebihan apa pun. Kara takut Jean akan bosan bermain dengannya.

"Serius. Kita bisa main bareng-bareng. Main game, belajar bareng juga."

Dan keduanya, detik itu juga telah berhasil menjalin sebuah ikatan persahabatan. Jean yang dewasa dan pengertian berteman dengan Kara. Keduanya bahkan saling mengaitkan jari kelingkingnya sebagai awal dari persahabatan.

"Adek, ayo pulang."

Pandangan Kara beralih pada kakak kembarnya yang kini berdiri di sampingnya. Si sulung dengan sigap mengambil tas milik adiknya. Agar Kara tak membawa beban apa pun. Ini memang telah ia lakukan sejak Kara sering sakit.

"Jean, aku pulang dulu, ya."

"Oke. Sampai jumpa besok, Kara!"

Kavi merasa cukup penasaran dengan sosok bocah yang bersama Kara. Namun bocah itu menelan rasa penasarannya dalam hati. Ia bisa menanyakannya saat sampai di rumah.

***

Begitu kedua kaki kecil Kavi dan Kara menginjak lantai rumah, keduanya langsung disambut sebuah pemandangan asing. Sang papa tengah duduk di samping seorang anak laki-laki yang kira-kira sebaya dengan mereka. Di samping kanan bocah itu juga ada seorang wanita dewasa.

"Kara! Kavi! Sini!"

Sang papa melambaikan tangan ke arah keduanya. Dan entah kenapa perasaan Kara tak enak. Seperti ada yang mengganjal di hati, begitu juga dengan Kavi yang setia menggandeng tangannya.

Tak mau membuat papa menunggu, kedua bocah itu melangkah mendekat ke arah mereka. Kara duduk di pangkuan sang papa. Sedangkan Kavi diminta duduk di samping anak laki-laki tadi.

I'M SORRY, BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang