Hidup Dalam Halusinasi?

353 49 17
                                    

Tidak ada yang merasa baik-baik saja setelah kepergian Kara Altair Senja. Terlebih Kavi Aries Senja. Pemuda kelahiran Bandung itu terperosok ke dalam jurang penyesalan yang begitu dalam. Duka itu datang, memborbardirnya dengan penderitaan tak berkesudahan.

"Kav, lo harus melanjutkan hidup lo."

Kavi mengernyitkan dahinya. Menatap ke arah di mana dalam bayangannya ada Kara yang menatapnya dengan pandangan pilu. Kavi yang sejak tadi diam dengan pandangan kosongnya kini terfokus ke depan.

"Maksud lo apa, Kar?"

Dalam pandangan Kavi, tampak Kara tengah menunjukkan raut pilunya. Ia melangkah ke arah Kavi, mengusap helaian rambut kakak kembarnya yang tampak berantakan tertiup angin malam. Jendela kamar Kavi memang terbuka, membuat angin malam berembus memasuki kamarnya.

"Kav, lo harus mulai bahagia bareng Nathan. Kalian berhak bahagia tanpa gue."

Mendengar perkataan Kara, hati Kavi berdesir. Seakan baru saja mendapat sengatan menyakitkan yang menghantam. Pemuda itu meremat jemarinya, meluapkan segala emosi dan ketakutan yang tiba-tiba saja meluap tanpa mampu ia cegah.

Tanpa ragu, Kavi meraih sebuah gunting yang ada di atas meja. Matanya yang memancarkan ketakutan memandang kosong ke depan. Di mana dalam pandangannya ada Kara yang tampak terkejut dengan tindakannya.

"Kav, jangan nekat!"

Kavi menggeleng ribut. Gunting itu ada di depan perutnya yang siap ia tusukkan. Kehilangan ini membuat pikiran sehatnya sirna.

"Kalau lo pergi dari gue, mending gue nyerah."

"Kav, oke. Gue nggak akan pergi. Tapi please buang gunting itu."

Kavi menautkan kedua alisnya. Masih ada keraguan dalam hatinya mendengar ucapan Kara. Namun dengan apiknya, Kara mampu meruntuhkan kebimbangan sang kakak dengan tutur kata dan tatapan lembutnya.

"Lo bisa pegang janji gue. Gue nggak akan ninggalin lo."

Jari kelingking itu terulur di depan wajah Kavi. Dalam pandangan kosongnya, tampak Kara yang tersenyum dengan lembut dan teduh. Hal yang membuat sudut bibir Kavi berkedut, menciptakan senyuman yang jarang ia tunjukkan semenjak kepergian Kara.

"Gue pegang kata-kata lo." Kavi membalas dengan menautkan jari kelingkingnya pada Kara.

***

Nathan tak berhenti menatap Kavi dari balik kaca spion. Hatinya diselimuti kegelisahan. Ucapan Biru tempo lalu menimbulkan kemelut di hatinya. Semakin lama, psikis kakak tirinya kian parah. Pemuda pecinta basket itu mana mungkin membiarkan Kavi semakin terpuruk bersama duka yang tak pernah pergi. Dengan diantar oleh supir, mereka akan pergi ke suatu tempat.

"Nath, lo nggak bohong kan? Kita akan makan bertiga?"

Nathan menelan salivanya kasar. Sang Kakak di belakang duduk seperti biasa. Namun tatapannya sesekali menoleh ke samping, seolah ada seseorang di sebelahnya. Bahkan kakaknya melempar senyum yang selama ini sudah jarang ia lihat.

"I-Iya, Kav. Gue, lo, dan ... dan Kara makan bertiga di resto."

Seakan ada belati tak kasatmata mengoyak hatinya, Nathan merasakan sesak. Perasaan bersalah itu kembali menghantuinya. Pikir Nathan, kehadirannya di hidup Kavi dan Kara adalah malapetaka bagi keduanya.

Nathan berusaha mengenyahkan rasa tak nyaman itu. Matanya kembali fokus ke depan. Sang supir membelokkan kemudi ke arah sebuah bangunan yang cukup besar, bercorak putih. Rumah sakit jiwa. Iya, menyetujui usul Biru, Nathan nekat membawa kakaknya ke tempat ini.

I'M SORRY, BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang