Bandung, Februari 2010
Tawa itu menggema. Sepasang anak kembar tengah asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah. Meski sesekali salah satu dari mereka terjatuh, namun tak ada air mata yang mengalir. Seperti sudah terbiasa.
"Adek! Kamu nggak akan bisa ngalahin Abang!"
Bocah bernama Kara yang dipanggil dengan sebutan adek itu mengerucutkan bibirnya kesal saat mendengar sang kembaran meremehkan kemampuan bermain sepak bolanya. Dengan kaki kecilnya, Kara berusaha berlari demi merebut bola yang kini dikuasai kakak kembarnya.
Namun baru beberapa langkah, pandangannya tiba-tiba saja memburam. Bocah itu berhenti sejenak demi menghalau pandangannya yang mengabur. Namun bukannya membaik, justru rasa sakit itu datang memeluknya. Kepalanya terasa pening. Kara adalah bocah yang membenci rasa sakit. Bahkan ketika flu saja, ia akan menangis.
Dan kini bocah 8 tahun itu jatuh tersungkur karena tubuhnya yang semakin melemas. Tangis bocah itu menggema hingga membuat kedua orang tuanya berlari menghampirinya. Sang kembaran pun ikut menangis sambil datang untuk memberi pelukan hangat.
"Abang, sakit. Sakit!" lirihnya sambil terisak.
Kedua tangan Kara berusaha menjambak rambutnya. Namun sang kakak menahannya dengan sekuat tenaga. Pikirnya, Kara akan semakin sakit.
"Jangan dijambak, Adek. Entar makin sakit."
"Nak, ini Adek kenapa?"
Kedua orang tua mereka datang. Sang kepala keluarga berusaha mengangkat tubuh si bungsu untuk ia bawa masuk ke kamar. Namun matanya sontak terbelalak saat melihat aliran darah telah menetes dari hidung Kara.
"Ya Allah, Dek?!" teriaknya, "Sayang, ayo bawa Adek ke rumah sakit!"
Sang istri mengangguk patuh. Wanita bernama Rosalia itu melangkah cepat menuju ke kamar si kembar untuk mengambil jaket milik Kara. Meski rasa khawatir itu semakin membuncah, namun Rosalia tak boleh runtuh. Wanita itu sesegera mungkin menyusul sang suami yang telah menunggunya di garasi mobil. Tak lupa ia mengambil tissu untuk membersihkan noda darah yang keluar dari hidung sang putra.
***
Tak ada orang tua yang kuat melihat buah hatinya merasakan kesakitan. Kata hancur telah menyambut Rosalia dan sang suami, Julian. Mereka bungkam. Di hadapan mereka terbaring Kara yang kini telah terpejam sempurna. Lengkap dengan nasal kanula yang menghiasi hidung si kecil.
"Mama, Papa. Adek kenapa?"
Kavi tak mau melepas genggaman tangannya pada jemari sang adik yang terbebas dari jarum infus. Bocah itu memang menyukai saat Kara terlelap damai karena sang adik akan terlihat menggemaskan. Namun kini Kavi membenci ketika mata itu tertutup. Kavi ingin Kara bangun dan membalas genggaman tangannya.
"Adek sakit, Bang. Adek butuh semangat dari kita. Abang mau temenin Adek terus, kan?"
Kavi menangis. Tak ada isakan di sana. Bocah itu masih mencerna kata sakit yang diucapkan Rosalia. Matanya tak berhenti menatap wajah Kara yang pucat seolah tanpa ada aliran darah.
"Abang janji. Abang bakal temenin Adek terus."
Rosalia dan Julian tersenyum samar. Sesak yang membelenggu tak mampu membuat hati keduanya membaik. Penjelasan dokter beberapa waktu lalu masih sangat membekas dalam ingatan. Putra kecilnya yang menggemaskan kini harus berjuang melawan monster. Obat-obatan akan menjadi teman Kara mulai sekarang.
Kara mungkin sudah merasakan gejalanya beberapa waktu ke belakang. Tapi sepertinya putra Bapak dan Ibu menganggap gejala itu nggak serius.
Julian mengecup lembut kening Kara. Tak pernah ada dalam bayangannya ia harus melihat si bungsu hidup bersama penyakit yang sewaktu-waktu akan merenggut nyawanya. Jika saja Julian bisa memohon, pria itu rela menanggung rasa sakit yang harus dipikul sang buah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M SORRY, BROTHER
Teen FictionJutaan kata maaf dariku pun tak akan pernah mengembalikanmu ke dalam hidupku. Penyesalan ini membunuhku secara perlahan. Kesempatan itu berulangkali kauberi agar aku mampu menggenggamnya. Namun dengan bodohnya aku sia-siakan. Saat itu aku justru sib...