11. Tidak Ingin Sendiri

12 8 0
                                    

Pukul setengah tujuh. Aku mencoba menghabiskan waktu untuk belajar, bukan belajar tapi hanya mengerjakan PR. Setelah kejadian tadi siang yang cukup membuatku sangat merinding dan hampir gila sendiri.  Seharusnya aku menonton TV, tapi malah mengerjakan PR.

“Argh!” Karena kesal, aku langsung melempar bukuku ke pojok dinding. “Susah sekali! Lama-lama, aku bisa gila!” 

Aku sejenak merenungkan jadwal besok. Kalau dipikir-pikir, besok tidak ada jadwal untuk matematika. Besok ada IPA, dan itu pun masih membahas materi tumbuhan. 

Menghembuskan nafas kemudian berlanjut bergumam, “Kenapa ibu belum pulang-pulang? Lama sekali berada di rumah saudara.” 

Lalu, tak berselang lama, Ayah datang dan langsung berkata, “Hei, makan malam sudah siap. Ayah memasaknya untukmu,” sambil berdiri di depan pintu yang terbuka. 

Aku menoleh dan membalas dengan nada ragu, “Maaf, Ayah. Aku tidak ingin makan. Pasti masakan Ayah tidak enak.” 

Namun, balasannya malah menyenangkan, “Hahahaha, jangan begitu. Mentang-mentang Ayah sering keluar untuk bekerja dari pagi hingga larut malam, Ayah tidak pintar untuk memasak. Cobalah sedikit, kasihan lambungmu.” 

Setelah bujukan yang ternyata begitu lembut, akhirnya aku mau. Aku bangkit dari kursi, mendekatinya dengan ekspresi wajah yang murung, lalu berkata, “Baiklah, aku mau.” 

“Kenapa lagi?” tanya Ayah sambil melihatku berjalan menunduk, “Karena ibu tidak ada di rumah, kau merasa tidak semangat?” 

Aku berhenti, mengangkat wajahku ke arahnya, lalu berkata dengan tegas, “Tidak, aku tidak hanya menyayangi Ayah. Aku juga sangat menyayangi Ayah.”  

"Kalau begitu, angkat senyummu. Ayah tidak suka melihatmu seperti itu," perintahnya dengan suara gembira. 

Aku langsung tersenyum, meskipun terasa dipaksakan. Dalam hati, aku berpikir, "Ini takkan mengubah perasaan burukku," sambil mencoba menyembunyikan ekspresi sebenarnya. 

"Baiklah, ayo kita turun," ujar Ayah sambil menggenggam tanganku, menuju ke bawah untuk makan malam. 

Di ruangan bawah, saat aku berjalan mendahului Ayah, tiba-tiba aku melihat sehelai rambut yang langsung mengikat kakiku. Aku terkejut, mataku membulat sempurna melihat kejadian itu, dan tanpa dapat menghindar, aku tersandung dan jatuh tersungkur. Wajahku dengan indah mencium lantai, Ya Tuhan… sebenarnya apa itu? 

“Astaga, Youngjae,” Ayah segera mendekatiku dan langsung menuntut agar aku bangkit, “Kau tidak apa-apa? Astaga, bagaimana bisa kau terjatuh?” tanya Ayah dengan nada cemas melanda. 

Aku masih terkejut dan dengan gemetar berkata, "Sehelai rambut itu muncul lagi, Ayah. Mengikat kakiku dan membuatku terjatuh.” 

"Youngjae," tegur Ayah dengan suara tegas. "Tidak mungkin ada rambut di sini, apalagi rambut setan. Tidak ada setan di rumah ini. Ayo, tenanglah," ujarnya mantap sambil menarikku untuk duduk di kursi dekat meja makan. 

Setelah duduk, aku langsung melanjutkan, “Tapi aku sungguh melihatnya,” jelasku dengan keras, “Rambutnya hitam sekali.”

“Apa kau mau minum?” tanya Ayah.

“TIDAK! UNTUK APA AKU MINUM?! AKU TIDAK HAUS! AKU HANYA INGIN AYAH PERCAYA SAJA PADAKU!” Jawabku dengan keras, penuh emosi. Tanpa ragu, aku melihat gelas yang terpampang di depanku dan dengan gerakan tiba-tiba, aku memukulnya dengan keras sampai jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, mengisi ruangan dengan suara gemuruh dan serpihan pecahan yang berserakan. 

“Tidak usah menawarkan aku makan!” ujarku dengan tegas. Aku segera bangkit dari kursi dan meninggalkan area dapur, berjalan mantap kembali ke kamar. Langkahku mantap menuju anak tangga, meninggalkan Ayah yang masih mematung di tempat. Minum air tidak akan menyelesaikan apapun, malah hanya tawaran yang tidak relevan.  

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang