LANGKAH (7)

19 9 6
                                    


HAPPY READING!!

-
-

--

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-
-


Di sudut sekolah yang seharusnya dipenuhi dengan keramaian, kantin hari ini tampak sunyi. Hanya ada beberapa kursi yang diisi oleh siswa yang duduk sambil mengunyah makanan dengan perlahan. Tiada suara gelak tawa atau percakapan yang menggema, hanya ada bunyi dentingan sendok dan garpu yang terdengar sesekali.

Pemandangan ini sangat berbeda dari kantin kantin pada umumnya, di mana kantin selalu dipenuhi dengan riuh rendah obrolan dan antrian panjang di depan stan makanan.

Meja-meja yang berjejer rapi terlihat lebih luas tanpa tumpukan tas dan kerumunan siswa. Suasana hening ini memberikan kesan asing dan sedikit menegangkan, seolah ada yang hilang dari jantung kehidupan sekolah.

Di luar jendela kantin, pohon-pohon bergoyang perlahan ditiup angin, menambah kesan tenang yang mendominasi hari ini. Matahari memancar hangat, tetapi sinarnya tidak cukup untuk menghidupkan suasana yang terasa datar dan membosankan.

Tidak ada aroma makanan yang menggugah selera menyambut dari pintu masuk, hanya ada bau sabun pembersih yang samar-samar tercium. Biasanya, kantin dipenuhi dengan wangi gorengan, sup panas, dan berbagai hidangan lainnya yang menggoda perut kosong siswa.

Namun,  kantin ini terasa seperti tempat yang kehilangan jiwanya.

Jaka duduk sendirian di pojok kantin yang sepi, tampak asyik mengunyah makanannya perlahan. Sesekali, ia meletakkan sendoknya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin yang seharusnya ramai dengan siswa lain.

Matanya yang tajam dan penuh rasa ingin tahu mengamati setiap sudut ruangan, dari meja-meja kosong hingga jendela besar yang memancarkan cahaya matahari pagi.

Di hadapannya, meja panjang tanpa penghuni menambah kesan kosong dan hampa. Pemuda itu menghela napas perlahan, seolah mengisi kekosongan dengan napasnya sendiri. Ia meneguk minumannya dengan perlahan, memperhatikan gelembung-gelembung kecil di dalam gelas plastiknya.

Pandangannya kembali mengitari kantin, mencari tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya dan beberapa siswa lain yang berada di belakang mejanya dan ada pula yang di depannya hanya ada lima siswa saja itupun di dominasi oleh kakak kelasnya.

“Inikah yang di namakan kantin? Sepi, senyap?” gumamnya, rasanya sangat berbeda sekali dengan kantin kantin pada umumnya yang selalu ramai dengan murid murid.

Padahal jam istirahat sudah di mulai sejak tadi, tetapi sampai sekarang pun kantin tidak ramai. Kantin ini pun terlihat membuat Jaka merinding saat melihatnya. Sebuah ruangan di dominasi oleh warna putih entah meja, kursi dan semuanya berwarna putih. Wajah wajah para penjual pun terlihat ramah sekali tidak ada wajah judes, lelah, cape yang tergurat di wajahnya.

Kedua mata Jaka menyipit melihat sebuah papan tulisan cukup besar di pintu keluar kantin, Jaka merutuki dirinya sendiri karena tidak melihat tulisan angka itu sejak tadi.

11 1 23 1 19 1 14 4 9 1 13

“Apaan? Angka lagi angka lagi, nih sekolah mau ngeledek gua apa gimana sat?” gumamnya sebal, mengapa semuanya selalu terlibat dengan angka angka.

Tiba-tiba, suasana tenang di sekitar gedung B berubah drastis. Suara ribut mulai terdengar, diawali dengan bunyi kaca pecah yang keras. Tidak lama kemudian, suara jeritan dan teriakan panik memenuhi udara.

"Tolong! Tolong!" teriak seseorang dengan suara penuh ketakutan, disusul oleh suara lain yang berteriak, "Kebakaran! Ada api!"

Di tengah keributan, suara kobaran api mulai terdengar, mendesis dan menggeram dengan ganas, menelan apa saja yang ada di hadapannya. Lantai gedung B bergetar oleh langkah-langkah terburu-buru, dan suara derak kayu terbakar menambah kengerian suasana. Asap tebal mulai mengepul, mengaburkan pandangan dan membuat sulit bernapas.

Jaka, melebarkan kedua bola matanya. Ia melihat jelas api yang berkobar dari Gedung B, gedung dari kelas 11 IPA 3. Telinganya tertuju pada suara-suara teriakan minta tolong. Jaka, mengalihkan pandangannya ke arah sekeliling kantin yang tampak santai dan tidak terganggu sama sekali dengan suara jeritan mereka semua.

“Mereka tuli?” gumam Jaka, rasanya aneh jika kantin yang tidak berjarak jauh dengan gedung B tidak mendengar teriakan mereka semua.

Jaka mengerutkan alisnya, matanya terbelalak, menatap tajam pintu kantin yang baru saja tertutup sendiri. Kedua matanya kembali teralihkan melihat seseorang mendekatinya dan memberikan sebuah surat.

“Anak kelas empat, heh.” Seorang pemuda berbandana merah tersenyum mengejek, sembari menyerahkan sebuah kertas di atas meja Jaka, lalu berlalu pergi dari sana.

“Aneh banget.” gumam Jaka, menatap punggung kakak kelasnya yang menjauh.

Start

Jaka, meremas kertas di telapak tangannya. “Gua bodoh banget sampai engga tau sudah di mulai gamenya.” gumamnya.

--

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-
-

Seseorang berdiri tegak di rooftop gedung A, matanya terbelalak memandang ke arah Gedung B yang terbakar. Perhatiannya lebih tertuju pada dentuman api yang memancar tinggi dari gedung di seberang. Seseorang itu tidak bisa mengabaikan aroma asap yang mulai tercium, membuatnya semakin sadar akan bahaya yang mengancam.

“Hidup seperti di dalam bara api itu seperti berada di tengah-tengah badai yang tak pernah reda. Segalanya terasa panas, menyengat, dan penuh tantangan. Namun di tengah panasnya api, kita bisa menemukan kekuatan untuk bertahan dan tumbuh. Dalam setiap ujian dan kesulitan, kita belajar untuk menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana. Seperti batu yang diuji dalam api, kita menjadi lebih baik dan lebih bersinar setelah melewati cobaan.”

Seseorang itu merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dari dalam. Jari-jarinya bergerak dengan gesit menekan nomor darurat yang sudah dihafalnya: 119. Suara desahan api yang terusik oleh angin terdengar samar-samar di latar belakang, mempercepat detak jantungnya.

"Saya melihat kebakaran di Serenity Grove School," ucapnya dengan suara tenang, saat telfonnya sudah tersambung.

-TBC

-

“Jangan anggap seorang figuran tidak penting.”

-

Salam hangat dari Paii 🥧🤎

SECRET FIGURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang