Draco melangkahkan kakinya dengan berat. Menyusuri lorong gelap Malfoy Manor menuju kamarnya. Di belakangnya, Astoria--sang tunangan mengikuti dengan wajah gembira. Beberapa kali dia melemparkan pertanyaan ringan pada Draco. Namun laki laki itu bahkan tidak menoleh sama sekali kepadanya.
Astoria merengut, berjalan dengan menghentakkan kakinya agar si lelaki blonde mengerti bahwa dia sedang kesal. Dan sekali lagi, tampaknya sosok didepannya tak peduli akan eksistensinya.
"Draco!" Panggilnya menggebu-gebu.
"What?" Draco menjawab tanpa menoleh sama sekali. Langkah kakinya yang besar besar meninggalkan Astoria yang kini berusaha mengejarnya.
"Can we talk? You're so annoying right now."
"Aku tidak melakukan apapun."
"That's the point."
Diam-diam Draco menghela nafas kemudian berbalik untuk melihat kearah Astoria. Wajah gadis itu sudah memerah karena marah. Mungkin ia terbiasa untuk tidak pernah diabaikan oleh siapapun, kecuali Draco.
"Apa maksudmu?"
"Kamu mengabaikanku."
"Tidak. Aku hanya lelah."
"Apakah kamu lelah seharian? Kamu bahkan tidak melakukan apapun Draco! Kamu hanya diam sepanjang makan malam, kemudian pergi begitu saja!" Astoria membentak, yang tentu saja membuat ego Draco tidak senang. Laki-laki itu berusaha menahan emosinya.
Seharian berada di Malfoy Manor untuk sesi perjumpaan formal membuatnya muak. Another month, another dinner and another shit. Draco menghembuskan nafas dengan berat ketika matanya bertemu langsung dengan sorot angkuh gadis di depannya.
"Aku sudah katakan bahwa aku lelah--
Draco belum menyelesaikan kalimatnya ketika Astoria memotong ucapannya.
"Kau tidak senang dengan perjodohan ini?"
Draco bergeming untuk sesaat. Kemudian ia mendecih pelan dengan senyum sinis. Kilatan kebencian tersirat di matanya ketika ia berjalan mendekat kearah gadis itu. Tubuhnya begitu dekat hingga Astoria bisa merasakan deru nafas berat yang meniti setiap jengkal wajahnya. Kemudian laki laki itu berbicara dengan suara serak.
"Aku tidak pernah senang dengan perjodohan ini." Tangannya terulur untuk menyentuh anak rambut Astoria, menyibak helai itu dan meletakkannya di belakang telinga Astoria yang memerah.
"Pikirmu kenapa aku terus bersikap kasar padamu?"
"Drac--
"Aku membencimu, lebih dari yang bisa kau bayangkan."
Kalimat itu seolah menusuk hati Astoria, lebih dalam dari yang bisa dia bayangkan. Astoria tahu bahwa Draco membencinya. Namun mendengar kalimat itu secara langsung meluncur dari bibir Draco, rasanya terasa sulit untuk menelan kepahitan yang kian menggumpal di tenggorokannya.
Astoria menelan dengan susah payah, ia tidak pernah ingin menyerah untuk mendapatkan Draco untuk dirinya sendiri, meskipun dia tahu bahwa dia tidak akan memenangi laki laki itu.
Sekali lagi ekspresinya kembali angkuh, dia mendongak menatap Draco dengan dagu terangkat.
"Aku juga tidak senang dengan perjodohan ini."
"Bohong."
Sekali lagi, sebuah ucapan singkat memukul telak hingga membuatnya kembali terdiam.
Pada akhirnya, Astoria kembali ditinggalkan sendirian. Punggung kokoh berlapis Jas hitam mahal itu berjalan menjauh hingga tak lagi tampak pada ujung penglihatannya.
Astoria mengepalkan tangannya, mengutuk pelan saat giginya bergemeletuk.
"Aku bersumpah akan mendapatkanmu, sialan."
💐💐💐
Setelah mengunci pintu kamarnya, Draco melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Ia kelelahan secara fisik maupun mental karena seharian harus bersikap sopan dan formal.
Jari jarinya bergerak untuk melepas kancing kemeja yang terasa mencekik tubuhnya.
Seharian ini, ia terus memikirkan Tesla. Membayangkan wajah gadis itu yang tengah duduk di ruang rekreasi dengan buku ramuan ditangannya mampu membuat pikiran Draco lebih lunak.
Samar-samar Draco dapat mendengar suara Lucius dan Narcissa dari kejauhan. Mereka tampak berdebat akan sesuatu yang membuat laki-laki itu segera menghela nafas. Mau bagaimanapun, Narcissa tidak akan pernah menang dari pria keras kepala seperti Lucius. Draco tentu mengakui hal tersebut. Hidup selama 16 tahun di Manor menyeramkan ini tentu membuat Draco sudah terbiasa.
Kegelapan, pertengkaran, ketakutan.
Draco menggeram pelan.
Selama ini banyak sekali ketakutan yang muncul di benaknya, bayangan-bayangan masa depan yang abu-abu kerap kali berdatangan, menyisakan tanda tanya besar untuk dirinya sendiri.
Apakah ia akan terus seperti ini? Memakai topeng kesempurnaan demi reputasi keluarganya?
"Segalanya harus berjalan sebagaimana harusnya."
Begitu tegas Lucius setiap kali Narcissa mencoba bicara kepada suaminya.
Dan lagi-lagi yang bisa Draco lakukan hanyalah menghembuskan nafas dengan berat, menatap keluar dengan pendar mata yang meredup.
Suara pertengkaran itu tak lagi terdengar. Hanya suara burung hantu yang sesekali terdengar, selain itu sunyi. Atmosfer rumah yang dingin kembali menyergap. Membawa perasaan takut dan juga kesepian, lagi dan lagi.
Pada akhirnya, yang bisa Draco lakukan adalah bergelung dengan selimut. Membiarkan tubuhnya hanyut terbawa oleh mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Of Slytherin-Draco Malfoy
FanfictionTesla mencintai Draco, dan mereka membalas perasaan satu sama lain sebagaimana seharusnya. Namun, Tesla tidak mengetahui fakta. Bahwa Draco sudah terikat dengan seseorang tanpa sepengetahuannya . . . . . . . . 🐍Fanfic High rank #4 in astoriagreengr...