80z

61 8 0
                                    

"Lu pikir ini bisa dilupain gitu aja?" Hongjoong mulai, suaranya nyaring kayak sirene ambulans, ngisi ruang tamu yang tadinya cuma diisi ketegangan. Seonghwa berdiri di depan pintu, kayak maling ketahuan tapi masih nyari alasan buat ngeles. Matanya nyari-nyari celah di ruangan, tapi yang ada cuma muka-muka serius tujuh orang yang lagi menunggu pembelaannya.

“Gue cuma... ya, gitu deh,” jawab Seonghwa dengan nada yang setengah mengundang tamparan. Dia nunduk sedikit, tangan masih pegang gagang pintu kayak pintunya bakal jadi penyelamat.

“Ya, gitu deh apaan? Itu jawaban apa, bro?” Jongho, yang duduk di sofa dengan kaki disilang, nyemburin kalimat itu kayak jurus terakhir di game fighting. "Lu tau nggak, kita semua di sini kayak tukang nunggu pesenan makanan yang nggak pernah sampe?"

Seonghwa ngangkat kepala, mencoba nyengir. “Ya gue lupa waktu aja. Kalian kan tau gue, kalau udah kerja suka kebawa asik.”

“Kerja? Asik?” Yeosang nyelutuk, berdiri di pojok ruangan dengan tangan disilang di dada. “Lu pikir kita semua di sini nggak punya kerjaan? Nih, gue kasih tau, ya. Bedanya, kita balik tepat waktu, Seonghwa. Karena kita inget ada orang yang nunggu di rumah.”

“Gue inget kok,” jawab Seonghwa lirih, tapi suaranya ketelen sama desahan napas panjang dari Yunho.

“Kalau inget, kenapa lu masih nyampe rumah lewat tengah malem?” Yunho berdiri, badannya yang jangkung bikin Seonghwa keliatan kayak anak kecil yang lagi dimarahin guru olahraga. “Kita nggak cuma ngomongin waktu, tapi ini soal prioritas. Soal kepercayaan.”

“Duh, gue ngerti. Sumpah gue ngerti. Gue salah, oke? Gue minta maaf,” Seonghwa akhirnya ngomong lebih tegas, meski jelas ada nada panik di suaranya.

“Maaf doang mah gampang,” San nyeletuk dari sofa, nadanya santai tapi matanya tajem kayak jarum pentul. “Masalahnya, lu bakal ngulangin ini nggak? Soalnya kalau iya, mending kita bahas sekarang sekalian. Biar nanti nggak pake drama lagi.”

“Gue nggak akan ngulangin!” Seonghwa hampir teriak, tapi langsung nurunin nada suaranya lagi. “Gue serius. Gue tau kalian marah, tapi gue cuma manusia. Kadang... ya, manusia bikin kesalahan, kan?”

Mingi, yang dari tadi cuma duduk sambil ngemut permen, akhirnya buka suara. “Gue nggak marah sih. Gue cuma bingung, lu nggak capek apa? Kita di sini nungguin, mikir yang nggak-nggak, sementara lu... ya, entah ngapain di luar sana.”

Wooyoung, yang duduk di sampingnya, melipat tangan di belakang kepala sambil bersandar santai. “Mungkin dia pikir kita nggak bakal ke mana-mana. Jadi dia bisa seenaknya. Gitu, ya?”

“Bukan gitu! Gue cuma—” Seonghwa kehabisan kata-kata, matanya memandang satu per satu orang di depannya. Mereka semua tampak kecewa, tapi juga... ya, tetep keliatan cakep. Ironisnya, itu malah bikin dia makin merasa bersalah.

Hongjoong mendekat, pelan-pelan. “Kita semua tau lu nggak sengaja, Seonghwa. Tapi kita butuh lebih dari sekedar maaf. Kita butuh bukti. Kalau nggak, gimana kita bisa percaya lu lagi?”

“Bukti?” Seonghwa ngerutin dahi. “Kayak gimana? Apa pun, gue bakal lakuin.”

Hongjoong berhenti persis di depan Seonghwa, jaraknya nggak lebih dari dua langkah. Dia melirik ke Yunho, lalu ke yang lain. “Gimana kalau... kita kasih pelajaran aja?”

Jongho langsung berdiri, nyengir lebar. “Gue suka idenya. Pelajaran yang bikin dia inget selamanya.”

“Gue juga,” kata Yeosang sambil melangkah ke depan, matanya bercahaya kayak nemu mainan baru. “Sekalian biar dia inget kalau kita semua ini nggak cuma figuran di hidupnya.”

Wooyoung berdiri juga, ngerenggangin badan kayak atlet mau tanding. “Gue dukung. Tapi... jangan terlalu cepet selesai, ya. Biar dia bener-bener ngerasain.”

Seonghwa cuma bisa melongo. “Eh, tunggu. Pelajaran apa, nih? Kenapa gue jadi agak was-was?”

“Kita semua sayang sama lu, Seonghwa,” kata Yunho sambil melangkah maju, senyum hangat tapi dengan tatapan yang bikin lutut Seonghwa goyah. “Dan pelajaran ini buat ngingetin lu betapa pentingnya kita semua buat lu. Lu ngerti, kan?”

“Ehm, gue nggak yakin gue suka arah pembicaraan ini,” gumam Seonghwa, tapi nggak ada yang denger—atau mungkin mereka pura-pura nggak denger.

Hongjoong tiba-tiba narik tangan Seonghwa, membimbingnya ke tengah ruangan. "Gue mulai, ya. Biar lu tau seriusnya kita." Tanpa banyak basa-basi, dia menarik wajah Seonghwa mendekat, dan sebelum Seonghwa sempet protes, bibir Hongjoong udah nempel di bibirnya. Dalam, panas, dan nggak ada ruang buat ngelawan.

Seonghwa terdiam, otaknya kayak komputer yang baru aja di-restart. Tapi badannya nggak bisa bohong. Dia membalas, meski masih setengah bingung.

“Eh, eh, jangan lama-lama!” Wooyoung nyeletuk, nyengir usil. “Gue juga mau dapet giliran.”

“Lu nggak sabaran banget sih,” Hongjoong melepas ciumannya, senyum tipis tapi matanya penuh makna. “Oke, Young. Giliran lu.”

Wooyoung langsung maju, ngerangkul Seonghwa dari belakang. Tangannya naik ke bahu Seonghwa, lalu turun perlahan ke pinggang. “Pelajaran ini bakal menyenangkan, bro,” bisiknya sebelum mencium leher Seonghwa, bikin Seonghwa mendesah pelan.

“Lu semua gila!” Seonghwa setengah teriak, tapi nggak ada niatan buat kabur. Dia malah diem di tempat, membiarkan Wooyoung terus menjelajah.

“Eh, jangan egois, lu!” Jongho maju, nyenggol Wooyoung ke samping. “Gue juga pengen ngingetin dia kenapa kita semua penting.”

Yang lain mulai mendekat satu per satu, membentuk lingkaran di sekitar Seonghwa. Sentuhan-sentuhan mereka semakin intens, membuat Seonghwa terperangkap dalam pusaran rasa yang sulit dijelaskan.

Yunho menarik Seonghwa ke sofa, membaringkannya perlahan. “Kita semua di sini buat lu, Seonghwa. Tapi lu harus inget satu hal...” Dia berhenti sejenak, mendekatkan wajahnya. “Lu milik kita. Dan kita nggak akan biarin lu lupa itu.”

Seonghwa nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Dia cuma bisa pasrah, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada mereka. Malam itu berubah jadi sesuatu yang aneh, panas, tapi juga penuh cinta. Setiap dari mereka memberikan bagian mereka, meninggalkan jejak di tubuh dan hati Seonghwa.

Ketika malam semakin larut, mereka semua akhirnya berbaring bersama di lantai ruang tamu, napas mereka masih tersengal, tubuh mereka saling melingkar dalam pelukan.

Seonghwa, meski kelelahan, akhirnya tersenyum kecil. “Oke, gue ngerti. Gue nggak akan telat lagi. Sumpah.”

Hongjoong mengusap rambutnya, senyum puas. “Bagus. Tapi kalau sampe lu ngelanggar lagi... ya, kita bakal ulang ini lagi.”

“Dan lebih intens,” tambah Wooyoung dengan senyum usil.

Semua tertawa kecil, sementara Seonghwa memejamkan mata, membiarkan kehangatan mereka menghapus rasa bersalahnya. Malam itu adalah pelajaran yang nggak akan pernah dia lupakan.

Exquisite Episode • All × SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang